Halo, Emily di sini. Terima kasih Tante dan Om yang masih setia jadi penggemar Emily. Emily doakan semuanya bahagia dan selalu sehat. Kalau Tante sama Om suka cerita kami, jangan lupa kasih komentar, like, dan gems yaaa. Ikutin terus season 3 karena bakal ada lebih banyak keseruan di sana. Peluk cium, Emily
Kara terkesiap ketika Frank mendorongnya mundur, kembali ke kamar mandi. Apalagi, saat sang suami menutup pintu yang baru saja dibukanya "Ada apa, Frank?" "Mumpung tidak ada Anak-Anak, kita bisa melakukannya satu sesi." Sementara sang pria menggelitik lehernya, Kara mendesah tak percaya. "Tolong jangan gila, Frank. Kita sedang menunggu nenekmu datang." Kara menepuk-nepuk pundak bidang di hadapannya, mengisyaratkan Frank untuk mengembalikan jarak. Namun, sang suami malah menaikkan bibir, menggigit telinganya dengan mesra. "Kita masih sempat. Nenekku sudah tua. Jalannya pasti lambat." Kara menggeleng, tertawa geli. "Abigail bilang nenekmu naik traktor. Dia bisa saja tiba dalam lima menit. Lagi pula, jarak panti ke sini tidak jauh." Sebelah sudut bibir Frank terangkat tipis. "Kalau begitu," jemarinya menelusup ke bawah sweater sang istri, "kita bermain saja." Kara tersentak. Tubuhnya seperti dikejutkan oleh sengatan listrik kecil. "Kau bilang hanya bermain. Yang barusan itu ser
"Baiklah," Frank mendesah samar, "kita memang tidak saling mengenal. Kita tidak pernah bertemu, apalagi berbincang." Diana berpaling ke arah lain, seolah tak tahan menatap Frank lebih lama lagi. Hati Frank semakin terbebani. "Tapi dilihat dari sorot mata Anda barusan, Anda jelas mengetahui kalau saya adalah cucu Rowan Harper—cucu Anda." Diana memutar kepala lebih jauh. Air matanya menebal. "Aku tidak tahu nama itu. Tolong berhentilah mengaku-ngaku sebagai cucuku. Aku tidak pernah punya cucu." Frank menelan ludah pahit. Ia ditinggal mati oleh ayah dan kakeknya. Lalu ia ditinggalkan oleh ibunya. Sekarang ia tidak diakui oleh neneknya? Sebelum ia menyadari betapa kejam kenyataan hidupnya, Kara membekukan kesedihannya. "Frank," ia menoleh, "kurasa kamu lebih baik tidak membahas itu dulu. Beri Nyonya Johnson waktu, hmm?" Diana melirik Kara dengan alis berkerut. "Aku tidak butuh waktu. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengakui orang yang memang bukan cucuku. Jadi, berhentilah mengga
Frank dan Kara akhirnya mendaratkan lutut ke lantai. Masing-masing dari mereka memeluk satu balita. Sementara pasangan itu menenangkan si Kembar, Philip melirik Abigail yang ikut memasang tampang muram. "Abi, kalau kau tidak keberatan, bisa kau siapkan empat kamar untuk kami?" Philip tahu rumah penginapan itu cukup untuk menampung mereka. Dan ia menduga si Kembar menjadi sensitif karena lelah. "Baiklah." Setelah memandang balita-balita itu sekali lagi, Abigail bergegas masuk. Saat itu pula, Diana merapatkan pintu kamarnya. Hatinya terasa aneh mendengar kepedihan si Kembar. Namun, lagi-lagi, ia mengepalkan tangan kiri untuk menopang siku kanan. Sambil duduk di tepi kasur, ia mengusap leher seperti ada yang salah dengan kerongkongan. "Aku tidak boleh terpengaruh," ucapnya gersang. Kemudian, ia terpejam dan terus mengulang mantra itu. *** "Hei," Kara mengusap pundak Frank, lalu ikut duduk di tangga. Frank pun mendongak, menggosok-gosok punggung tangan istrinya. "Anak-Anak
"Mama, apakah Nenek Diana tidak apa-apa kita makan bersamanya? Bagaimana kalau dia tidak senang dan mengusir kita?" bisik Emily dengan alis berkerut. Langkah kecilnya tampak ragu. Louis memajukan kepala, melihat sang adik yang terhalang oleh tubuh Kara. "Jangan takut, Emily. Fokus saja pada misi kita. Kita harus bersikap manis dan menjadi anak baik." "Aku juga tahu soal itu. Hanya saja ...." Emily kembali melirik Kara. Genggaman tangannya bertambah erat. "Aku tidak janji bisa menahan tangis kalau Nenek mengabaikanku lagi."Kara ikut mencebik. Sambil mengelus-elus punggung tangan Emily, ia berbisik, "Maaf kamu harus menghadapi cobaan seberat ini. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan mendapat hadiah yang sangat baik.""Kasih sayang dari Nenek Diana?" Suara kecil Emily terdengar manis. Kara mengangguk. Sambil sesekali membagikan pandangannya kepada Louis, ia mendesah lirih, "Dan mungkin ... pelajaran berkuda eksklusif. Kalian tahu kalau nenek buyut kalian pandai berkuda, ka
"Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Nyonya." Kara berusaha mengontrol nada bicaranya. "Saya mengambilkan makanan sedikit karena Louis dan Emily tidak suka piring mereka terlalu penuh. Mereka jadi punya ruang untuk memotong dan menyendoki makanan." "Ya, aku tidak suka piringku terlalu penuh. Makanannya bisa tumpah," celetuk Louis dengan raut serius. "Ya, aku juga." Emily mengangguk. Akan tetapi, Diana mendengus. "Kau tidak terbiasa mengurus dapur dan kurang cekatan dalam mengurus anak-anakmu. Apa yang membuat suamimu tahan denganmu?" "Kara tidak seperti itu," suara Frank mulai naik, meskipun ia sudah berusaha mendatarkannya. "Tapi itulah kenyataannya." Diana meletakkan pisau dan garpu di atas sisa makanan pada piringnya. "Dia memberi sedikit makanan untuk anak-anak dan terlalu banyak untuk orang tua. Dia bukan hanya ibu rumah tangga yang kurang cekatan, tapi juga seorang wanita yang kurang memperhatikan orang lain. Apakah kerjanya selama ini hanya merias diri dan bersenang-
Diana menatap Frank dari ekor matanya. Sorotnya menajam. "Aku tidak ada hubungannya dengan kakekmu. Aku bahkan tidak mengenalnya." "Lalu apa alasan Nenek sangat membenciku? Nenek bahkan berusaha memecah-belah keluargaku, tak peduli kalau Louis dan Emily masih kecil. Nenek tidak kasihan kepada mereka?" Diana bungkam. Bibirnya gemetar melawan nurani. "Kalau kau tidak suka mendengar pendapatku, sebaiknya jangan datang ke sini. Mengusik ketenanganku saja." Wanita tua itu bangkit, lalu meninggalkan ruang makan. Frank menatap punggungnya dengan perasaan kacau. "Frank, bersabarlah. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah." Jeremy menepuk pundak Frank. "Tapi Nenek sudah keterlaluan! Dia tega menyakiti perasaan Louis dan Emily. Dia mau membuat mereka trauma atau apa?" "Mungkin Nyonya Johnson dihantui oleh masa lalunya?" tutur Barbara, hati-hati. Frank mendengus. "Sekalipun begitu, tidak adil kalau dia juga menargetkan Anak-Anak. Seseorang perlu mengingatkannya." Dengan raut kaku, Phil
Mendengar suara berisik dari beranda depan, Frank pergi memeriksa bersama Jeremy dan Abigail. Ternyata, Diana sedang menyambut seorang tamu. Kemarahannya tidak lagi terdengar. "Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Abigail, sedikit terusik. Namun, begitu wajah sang tamu tidak lagi terhalang oleh Diana, ia terkesiap. "Sophia?" Diiringi tawa gembira, ia berlari menyambut tamunya. "Sophia! Aku sungguh tidak menduga kau benar-benar di sini. Nenek tidak bilang apa-apa tentang rencanamu kemari." "Nenek juga tidak tahu," tutur Sophia lembut. "Lihat! Nenek sampai tidak mau berhenti melepas tanganku." Sementara ketiga wanita itu melepas rindu, Frank mendesah samar. "Apakah aku tidak salah lihat? Itu Sophia? Sophia Miller?" Philip mengangguk. "Ya, aku juga terkejut." "Kenapa dia bisa datang ke sini?" Frank berkedip tanpa mengubah ekspresi. "Yang lebih membingungkan, kenapa dia bisa akrab dengan Nenek?" bisik Philip dengan nada serius. Kemudian, Philip dan Jeremy saling lirik. W
"Selamat pagi, Mama," sapa si Kembar ketika memasuki dapur. Kara menoleh. Melihat dua balita berpiama yang bergandengan tangan, bibirnya melengkung indah. "Halo, Malaikat Kecil. Bagaimana tidur kalian?" "Aku tidur nyenyak. Mungkin karena kelelahan. Tidak biasanya aku menangis seperti kemarin. Mataku sampai perih." Louis menggosok mata. "Kalau aku, tidurku tidak nyenyak, Mama. Aku bermimpi buruk." "Oh ya?" Kara mematikan kompor lalu mengecup satu per satu anaknya. "Kamu mimpi apa?" Ia membelai pipi Emily yang gembul. "Aku bermimpi ada nenek sihir menyerang istana kita. Dia naik sapu terbang sambil mengayunkan tongkatnya ke mana-mana." Mata Louis membulat. Ia sudah lupa dengan kantuknya. "Lalu apa yang terjadi? Apakah kita berhasil mengalahkannya?" "Untung Papa dan Louis punya perisai penangkal sihir. Mantranya berbalik menyerangnya. Tapi kasihan Nenek Diana. Dia terluka karena berusaha kabur lewat tangga." "Ada Nenek Diana di istana kita?" Emily mengangguk lucu. Tampang