Hai, haaai! Terima kasih udah ngikutin sampai sini. Pixie harap kalian suka dengan pengemasan ceritanya dan bisa mengambil banyak pelajaran. Maaf kalau bab ini lebih mahal, jumlah katanya lebih banyak soalnya. Konflik utama di season 2 udah terselesaikan, ya. Untuk penyelesaian konflik berikutnya, kita lanjut di season 3. Bakal lebih panas membara, loh. Tapi sebelum itu, bakal ada 3 special chapters buat kalian. Kita happy-happy dulu. Pixie jamin kalian bakal gemesh maksimal. Terus dukung Pixie, ya. Semakin banyak komentar/gems yang kalian kasih, semakin semangat Pixie ngetiknya. Jangan lupa foll akun pixielifeagency di mana pun. Hehe .... Sehat-sehat dan bahagia selalu, Teman-Teman! Love you all! P.S. Louis Emily mau adain fan service lagi, nih. Duo bocil itu bakal balas komentar kalian di bab ini dan bab spesial nanti. See you!
Si Kembar tercengang melihat kuda-kuda yang berlari di hamparan salju. Mata mereka sama sekali tidak berkedip, enggan berpaling dari pemandangan yang berlalu di luar mobil. "Papa, apakah itu peternakan kuda milik Nenek Diana?" Emily menempelkan ujung telunjuknya pada kaca jendela. "Ya, Tuan Putri." Mulut si Kembar terbuka lebih lebar. Binar mata mereka bertambah terang. "Keren! Kupikir kita akan ke panti asuhan dulu. Ternyata tidak!" Louis semakin bersemangat. "Ingat, Louis. Kita harus menemui Nenek Diana dulu. Setelah itu, baru kita boleh bermain dengan kuda," tutur Emily dengan bibir mengerucut. Louis pun mencebik, berpura-pura sedih. Yang lain tertawa melihat tingkahnya. Setibanya di peternakan, si Kembar turun dengan penuh semangat. Mereka terlihat lucu dengan mantel kuning. Apalagi, tudung yang menutupi kepala membuat wajah mereka semakin bulat. "Uuuh, dingin." Emily bergidik, lalu merapat pada Louis. Sambil terkikik, ia meniru sang ibu, menggosok-gosokkan tangannya ya
"Aduh!" erang Emily ketika dirinya terjatuh. Bocah laki-laki di hadapannya spontan menurunkan kamera dari depan wajah. Ia ternyata sangat tampan dan menggemaskan. "Maaf, aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku lupa mematikan flash-nya." Setelah membiarkan kamera bergantung di lehernya, ia mengulurkan tangan kepada Emily. "Ayo, cepat berdiri! Nanti celanamu basah." Emily malah menyimpan tangannya dan menggeleng. "Mama bilang, aku tidak boleh bicara dengan orang asing." "Aku bukan orang asing. Aku Cayden Evans, calon temanmu. Dan aku anak baik, bukan orang jahat." Alis Emily berkerut ragu. "Kalau kamu bukan orang jahat, kenapa kamu memotretku?" "Karena kamu sangat cantik. Kamu dan mantel kuningmu terlihat kontras dengan Casper dan salju. Itu pemandangan yang sempurna." "Casper?" Emily memiringkan kepala. "Kuda putih itu. Dia memang unik. Dia suka bermain dengan salju dan pura-pura tidur." "Jadi, dia tidak sakit?" Bocah tampan itu tertawa kecil. "Tidak. Beberapa kuda memang
Sambil menggembungkan pipi, Louis merangkul pundak Emily. "Tunjukkan di mana anak kuda itu. Aku juga mau lihat," tuturnya dengan nada garang. Cayden mengangguk. Dengan santai, ia memimpin jalan. "Anak kuda ini baru berusia beberapa minggu dan dia sangat kurus. Abigail takut dia kedinginan. Jadi, dia jarang diperbolehkan keluar kandang." Emily berhenti menyeruput cokelat. "Oh, kasihan sekali." "Dia sudah memakai selimut tebal, Emily. Dia pasti baik-baik saja," celetuk Louis, tak mau kalah. "Sebetulnya, selimut itu tipis. Kuda punya kulit yang mampu melindungi mereka dari dingin. Suhu saat ini belum ekstrem. Kalau selimutnya terlalu tebal, itu malah tidak baik." Louis mengerutkan alis. Bibirnya mengerucut, malu karena dirinya sudah sok tahu. Emily terkikik menyadari itu. "Sudahlah, Louis. Tidak apa-apa. Cayden satu tahun lebih tua dari kita dan dia sudah beberapa kali datang ke sini. Wajar kalau dia lebih tahu." "Tadi Emily sempat menyebutkan kalau kau menekuni bisnis apartem
Kara terkesiap ketika Frank mendorongnya mundur, kembali ke kamar mandi. Apalagi, saat sang suami menutup pintu yang baru saja dibukanya "Ada apa, Frank?" "Mumpung tidak ada Anak-Anak, kita bisa melakukannya satu sesi." Sementara sang pria menggelitik lehernya, Kara mendesah tak percaya. "Tolong jangan gila, Frank. Kita sedang menunggu nenekmu datang." Kara menepuk-nepuk pundak bidang di hadapannya, mengisyaratkan Frank untuk mengembalikan jarak. Namun, sang suami malah menaikkan bibir, menggigit telinganya dengan mesra. "Kita masih sempat. Nenekku sudah tua. Jalannya pasti lambat." Kara menggeleng, tertawa geli. "Abigail bilang nenekmu naik traktor. Dia bisa saja tiba dalam lima menit. Lagi pula, jarak panti ke sini tidak jauh." Sebelah sudut bibir Frank terangkat tipis. "Kalau begitu," jemarinya menelusup ke bawah sweater sang istri, "kita bermain saja." Kara tersentak. Tubuhnya seperti dikejutkan oleh sengatan listrik kecil. "Kau bilang hanya bermain. Yang barusan itu ser
"Baiklah," Frank mendesah samar, "kita memang tidak saling mengenal. Kita tidak pernah bertemu, apalagi berbincang." Diana berpaling ke arah lain, seolah tak tahan menatap Frank lebih lama lagi. Hati Frank semakin terbebani. "Tapi dilihat dari sorot mata Anda barusan, Anda jelas mengetahui kalau saya adalah cucu Rowan Harper—cucu Anda." Diana memutar kepala lebih jauh. Air matanya menebal. "Aku tidak tahu nama itu. Tolong berhentilah mengaku-ngaku sebagai cucuku. Aku tidak pernah punya cucu." Frank menelan ludah pahit. Ia ditinggal mati oleh ayah dan kakeknya. Lalu ia ditinggalkan oleh ibunya. Sekarang ia tidak diakui oleh neneknya? Sebelum ia menyadari betapa kejam kenyataan hidupnya, Kara membekukan kesedihannya. "Frank," ia menoleh, "kurasa kamu lebih baik tidak membahas itu dulu. Beri Nyonya Johnson waktu, hmm?" Diana melirik Kara dengan alis berkerut. "Aku tidak butuh waktu. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengakui orang yang memang bukan cucuku. Jadi, berhentilah mengga
Frank dan Kara akhirnya mendaratkan lutut ke lantai. Masing-masing dari mereka memeluk satu balita. Sementara pasangan itu menenangkan si Kembar, Philip melirik Abigail yang ikut memasang tampang muram. "Abi, kalau kau tidak keberatan, bisa kau siapkan empat kamar untuk kami?" Philip tahu rumah penginapan itu cukup untuk menampung mereka. Dan ia menduga si Kembar menjadi sensitif karena lelah. "Baiklah." Setelah memandang balita-balita itu sekali lagi, Abigail bergegas masuk. Saat itu pula, Diana merapatkan pintu kamarnya. Hatinya terasa aneh mendengar kepedihan si Kembar. Namun, lagi-lagi, ia mengepalkan tangan kiri untuk menopang siku kanan. Sambil duduk di tepi kasur, ia mengusap leher seperti ada yang salah dengan kerongkongan. "Aku tidak boleh terpengaruh," ucapnya gersang. Kemudian, ia terpejam dan terus mengulang mantra itu. *** "Hei," Kara mengusap pundak Frank, lalu ikut duduk di tangga. Frank pun mendongak, menggosok-gosok punggung tangan istrinya. "Anak-Anak
"Mama, apakah Nenek Diana tidak apa-apa kita makan bersamanya? Bagaimana kalau dia tidak senang dan mengusir kita?" bisik Emily dengan alis berkerut. Langkah kecilnya tampak ragu. Louis memajukan kepala, melihat sang adik yang terhalang oleh tubuh Kara. "Jangan takut, Emily. Fokus saja pada misi kita. Kita harus bersikap manis dan menjadi anak baik." "Aku juga tahu soal itu. Hanya saja ...." Emily kembali melirik Kara. Genggaman tangannya bertambah erat. "Aku tidak janji bisa menahan tangis kalau Nenek mengabaikanku lagi."Kara ikut mencebik. Sambil mengelus-elus punggung tangan Emily, ia berbisik, "Maaf kamu harus menghadapi cobaan seberat ini. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan mendapat hadiah yang sangat baik.""Kasih sayang dari Nenek Diana?" Suara kecil Emily terdengar manis. Kara mengangguk. Sambil sesekali membagikan pandangannya kepada Louis, ia mendesah lirih, "Dan mungkin ... pelajaran berkuda eksklusif. Kalian tahu kalau nenek buyut kalian pandai berkuda, ka
"Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Nyonya." Kara berusaha mengontrol nada bicaranya. "Saya mengambilkan makanan sedikit karena Louis dan Emily tidak suka piring mereka terlalu penuh. Mereka jadi punya ruang untuk memotong dan menyendoki makanan." "Ya, aku tidak suka piringku terlalu penuh. Makanannya bisa tumpah," celetuk Louis dengan raut serius. "Ya, aku juga." Emily mengangguk. Akan tetapi, Diana mendengus. "Kau tidak terbiasa mengurus dapur dan kurang cekatan dalam mengurus anak-anakmu. Apa yang membuat suamimu tahan denganmu?" "Kara tidak seperti itu," suara Frank mulai naik, meskipun ia sudah berusaha mendatarkannya. "Tapi itulah kenyataannya." Diana meletakkan pisau dan garpu di atas sisa makanan pada piringnya. "Dia memberi sedikit makanan untuk anak-anak dan terlalu banyak untuk orang tua. Dia bukan hanya ibu rumah tangga yang kurang cekatan, tapi juga seorang wanita yang kurang memperhatikan orang lain. Apakah kerjanya selama ini hanya merias diri dan bersenang-