Halo semuaaa! Lagi pada senyum gak niiih?
"Sekarang,” Philip menelusuri anak rambut Barbara dengan jemarinya, “tunggulah sebentar. Aku harus mengabari perawat kalau kau sudah sadar." Philip menegakkan badan, hendak menekan tombol intercom. Namun, belum sempat ia bergeser, Barbara menggenggam tangannya erat. "Tolong ... jangan pergi. Aku takut." Philip bergeming melihat sorot mata yang tak berdaya itu. Sebagian hatinya pedih, sebagian lagi luluh. "Aku tidak akan ke mana-mana. Hanya perlu menekan tombol itu." Namun, Barbara menggeleng samar. "Aku takut. Jangan tinggalkan aku." Tangannya mulai gemetar. Philip tersenyum sendu. Sambil membungkuk, ia membelai rambut gadis itu. "Baiklah, aku tidak akan ke mana-mana." "Jangan melepas tanganku." Philip mengerutkan bibir. Tatapan Barbara telah menawan pikirannya. "Kamu begitu penakut. Tapi kenapa kamu berani menghentikan ibumu?" Kedipan mata Barbara melambat. Kerutan alisnya sedikit terurai. "Aku tidak mau ibuku menyakitimu." Philip mengembuskan napas samar. "Kau seharu
Sementara yang lain mengulum senyum, Philip mendesah malu. "Barbara sempat terbangun tadi. Dia ketakutan dan memintaku untuk terus memegang tangannya." Bibir Emily kembali maju. Lengkung alisnya turun. "Kasihan Bibi. Dia pasti tidak mau ditinggal sendiri." Tiba-tiba, Emily menyandarkan pipi gembulnya ke badan Philip. Tangannya menepuk-nepuk perut sang asisten. "Terima kasih sudah menemani Bibi, Philip." Louis tidak mau ketinggalan. "Ya, terima kasih sudah memperhatikan Bibi. Aku yakin, Bibi pasti sangat senang memiliki teman sepertimu." Philip tersenyum kecut. Penolakan halus dari Barbara masih tergambar jelas dalam benaknya. "Sama sekali bukan masalah, Tuan dan Nona Kecil." Ia menepuk-nepuk punggung mereka dengan sebelah tangan. Si Kembar tidak boleh mengetahui keresahannya. Tiba-tiba, Philip merasakan pergerakan tangan Barbara. Saat menoleh, Barbara mulai membuka mata. "Bibi kalian sudah bangun." "Benarkah?" Sementara Louis dan Emily berjinjit, Frank dan Kara menghampiri dar
"Itu karena Papa dan Mama adalah pasangan suami istri. Kami sudah menikah. Nanti kalian akan mengerti setelah beranjak dewasa," jelas Frank lembut. Bibir Louis mengerucut. Tangannya terlipat di depan dada. "Kupikir Mama tidak malu karena Papa menutup mata. Kehidupan orang dewasa memang membingungkan." "Ya," angguk Emily lucu, "terlalu banyak aturan. Tapi kalau Bibi lebih nyaman bersama Nora, apa boleh buat?" Frank tersenyum simpul. "Baiklah, nanti Papa akan meminta Nora datang menggantikan Philip. Mungkin setelah jam makan siang. Philip kamu tidak keberatan, kan?" Pria itu mengerjap. "Saya? Tentu saja tidak, Tuan." Philip berusaha terdengar biasa. Namun, semua orang tahu ia sedang membendung kekecewaan. Barbara diam-diam merasa tidak enak hati. Namun, itulah satu-satunya cara agar dirinya punya waktu menjauh dari Philip. Ia perlu menetralkan perasaan demi menjernihkan pikiran. Sayangnya, Barbara salah. Sejak Frank sekeluarga pergi dan ia selesai menjalani pemeriksaan ulang, Ph
Barbara termenung. Sebagian hatinya ditumbuhi bunga, sebagian lagi dipenuhi semak. Sayang, logikanya memilih bagian yang semrawut."Kau masih memainkan kebohongan itu?" Philip tersentak. "Kau tidak percaya kalau aku jujur?" "Karena itu mustahil. Apa yang membuatmu terpikat padaku? Apakah rasa iba?" Philip menggeleng. "Ke mana perginya Barbara yang percaya diri?" "Coba sebutkan," tantang Barbara lirih. "Apa alasan logis untukmu tertarik padaku?" Philip terdiam, memberi kesempatan Barbara untuk lanjut meluapkan kegundahan. "Tidak ada, Philip. Keadaan sudah berubah. Aku bukan lagi Barbara yang dulu, yang selalu percaya diri dan tidak peduli pada apa pun. Aku sekarang tidak lebih dari gadis pengecut yang rapuh." "Justru karena kau begitu rapuh, aku terpanggil untuk menjagamu. Dan karena kau pengecut, aku punya lebih banyak kesempatan untuk melindungimu." Sebelum Barbara menggeleng, Philip menangkup wajahnya. "Selama ini, aku dilatih untuk tidak punya rasa takut. Aku selalu berpa
"Papa," panggil Barbara lemah. "Kumohon, berhentilah menyudutkan Philip. Apakah Papa datang ke sini hanya untuk memarahinya?" Paul melunak. "Tidak, Sayang. Tadi pagi, Frank menelepon Papa. Dia menceritakan semuanya. Papa datang ke sini karena cemas. Bagaimana kondisimu sekarang?" Kerut alis Barbara kini ditemani senyum. "Jauh lebih baik. Berkat Philip." Paul melirik ke samping. Ekspresinya kembali sinis. "Dia bukan dokter. Kenapa kau malah membaik karenanya?" "Aku bisa selamat karena pertolongan dari Philip. Dialah yang membawaku ke rumah sakit, menungguku operasi, dan merawatku semalaman. Aku belum tentu bertahan kalau tidak ada dia." Paul mengembuskan napas panjang, tetapi sorot matanya masih sama. "Bukankah kau penyebab putriku terluka? Kalau bukan karenamu, Melanie tidak mungkin membawa pisau." Bibir Philip menciut. Dua tangannya merapat sopan di depan perut. "Maaf, Tuan. Saya sadar saya kurang tegas semalam. Kalau saja saya langsung merebut pisau dari istri Anda, Barbara
"Papa, terima kasih telah menerima Philip," desah Barbara, penuh haru. Paul tersenyum kecil. Dengan hati-hati, ia memeluk putrinya."Apa pun akan Papa lakukan demi kebahagiaanmu, Sayang." Sembari terpejam, Barbara meresapi kehangatan. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya berbeda dengan sang ibu."Maaf aku sudah membuat Papa khawatir," bisiknya. "Ini bukan salahmu, Sayang. Mama-mu yang keterlaluan. Pantas saja Frank mengirimnya ke pusat rehabilitasi. Dia memang butuh penyembuhan mental." Senyum Barbara seketika lenyap. Bola matanya bergetar menanti penjelasan."Pusat rehabilitasi?" Sementara Philip mendesah berat, Paul mematung. Ia baru sadar dirinya telah membongkar rahasia. "Kakakmu belum menceritakannya?" Sambil menautkan alis, Paul membelai rambut putrinya."Mungkin Frank tidak mau membuatmu terbebani. Dia terpaksa mengirim Mama ke sana. Tindakan Mama sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dia bisa saja mence
Paul mundur lagi selangkah. "Selamat tinggal, Melanie. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.” "Apa maksudmu?" Wajah Melanie mendadak menua beberapa tahun. "Kau datang untuk menjemputku, kan? Kau tidak mungkin tega membiarkan istrimu mendekam di dalam sini." Paul meraih gagang pintu. Sorot matanya iba. "Sudah tidak ada kesempatan lagi, Melanie. Rasa cintaku padamu sudah musnah." "Tidak mungkin! Kau bahkan menjaga rapat rahasiaku. Kalau kau tidak mencintaiku lagi, kau pasti sudah menyebarkan bukti-bukti itu. Aku akan berakhir di penjara, bukan di sini!" "Kau masih mengira aku menyimpan bukti-bukti itu?" Paul menaikkan alis. Tawa kecil lolos dari senyum miringnya. "Dari mana aku bisa mendapat bukti-bukti itu? Aku tidak sehebat itu, Melanie. Jadi, katakan kepada orang suruhanmu itu untuk berhenti menggeledah barang-barangku. Bukti itu tidak akan pernah ketemu." Mulut Melanie terbuka lebar. Kepalanya menggeleng menolak percaya. "Tidak mungkin. Kau tidak mungkin berbohong." P
"Tuan Morris?" desah Barbara lirih. Morris mengangguk. "Selamat siang, Nona Harris. Anda tampaknya sudah sehat." Saat itu pula, Philip muncul di pintu yang sama. Melihatnya, Morris tersenyum simpul. "Oh, maaf menginterupsi kalian." Rona di pipi Barbara semakin kentara. "Itu tidak seperti yang Anda bayangkan, Tuan Morris. Dia hanya membantu saya memasang resleting." Ia mengangguk-angguk meyakinkan. Perawat di situ spontan menutupi tawa. Morris pun terkekeh. "Seperti yang saya bayangkan juga tidak apa-apa. Kalian pasangan serasi. Philip ternyata memang penuh kejutan." Bibir Barbara mengerucut. Ia melirik Philip sinis. Namun, pria itu melangkah maju tanpa beban. "Silakan duduk, Tuan Morris. Anda pasti punya hal penting yang harus dibicarakan." Sementara sang perawat izin meninggalkan ruangan, Morris menempati sofa yang ditunjuk Philip. "Terima kasih. Saya memang perlu menyampaikan hal terkait wasiat kepada Nona Harris." Alis Barbara berkerut. "Saya?" Morris mengembangkan se