Barbara mau ikut siapa hayoo ....
"Setelah Mama dan Papa berpisah, kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah membuat keputusan besar." Barbara mengangguk mantap. "Apa?" Mata Paul bertambah cekung. Barbara tersenyum simpul. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku mau hidup mandiri. Aku akan mencari pekerjaan dan mengurus diri sendiri. Aku mau belajar mengepakkan sayap." Paul tercengang. Sambil menurunkan tangannya dari pundak Barbara, ia mundur selangkah. "Itu bukan keputusan bagus, Sayang. Bagaimana kamu bisa bertahan? Dan kalau kamu mau bekerja, kenapa tidak membantu Papa mengurus perusahaan saja? Kita bisa berbenah bersama, dan Papa bisa membantu kalau kamu kesulitan." Barbara menggeleng tegas. "Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menggali potensiku sendiri." Paul ternganga tanpa kata. Akal sehatnya terguncang dan hatinya masih menolak percaya. Tiba-tiba, Barbara meraih tangannya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan mengunjungi Papa di hari libur dan akhir pekan, bergantian dengan mengunjungi Mama. Nanti ka
Emily menoleh. Namun, saat ia memeriksa, taksi sudah menghilang di kejauhan. "Apakah ada yang baru pulang berbelanja?" Philip tersenyum simpul. "Tidak ada jadwal belanja sore ini, Nona." Dalam sekejap, si Kembar ternganga. "Apakah itu Bibi?" "Bibi sudah datang?" Sedetik kemudian, pekik girang mereka mengudara. Saat limo berhenti, Louis dan Emily berlomba-lomba untuk turun lebih cepat. "Bibi .... Bibi ...!" Mereka tidak peduli lagi dengan Philip yang tertinggal atau Kara yang meneriaki mereka untuk memperhatikan langkah. Namun, saat memasuki ruang tamu, mereka terkesiap. Bola mata mereka bergetar menyaksikan betapa kerasnya Melanie menampar Barbara. "Berbulan-bulan Mama mengandungmu. Bertahun-tahun Mama membesarkanmu. Ini balasanmu untuk Mama?" Usai mendengus, Melanie mulai menggeleng. Matanya semakin dipenuhi guratan merah. "Bisa-bisanya kamu bilang ingin lepas dari Mama? Kamu pikir Mama senang kalau kamu hidup mandiri setelah mengucapkan satu kalimat terima kasih? Tid
"Tidak!” seru Melanie, memekakkan telinga. “Sebelum kau kembali tinggal di sini dan satu bulan berlalu, Mama tidak akan menandatangani surat itu. Titik."Akan tetapi, Barbara tidak menggubris. Ia malah memungut kertas-kertas dan menyerahkannya kepada Melanie. "Kita sudah melanggar persyaratan, Ma. Lupakan aset itu. Sekarang, tolong tanda tangani surat ini. Kasihan Papa kalau Mama mendadak berubah pikiran. Papa sudah cukup sibuk dengan perusahaannya."Merasa geram, Melanie pun merebut lembaran kertas itu. Tanpa berpikir panjang, ia menggulungnya, lalu mulai memukul Barbara. "Dasar anak yang tak tahu diuntung! Aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu. Tapi ini balasanmu terhadapku?"Sementara itu, Barbara tidak lagi fokus dengan kata-kata sang ibu. Ia mencoba mengelak dan menangkis serangan. Namun, malah lengannya yang terkena pukulan. "Hentikan, Ma! Sakit!"Menyaksikan hal itu, si Kembar tidak bisa lagi diam. Mereka lompat dari balik pilar dan berlari menyelamatkan Barbara. Namun,
Mata Melanie membulat. Sambil beranjak dari sofa, ia berteriak, “Tidak! Saya tidak melanggar ketentuan. Lihatlah! Barbara ada di sini. Dia masih bertahan di rumah ini bersamaku!” Morris menyentak alis. Ia menoleh ke arah keluarga kecil di sisi kirinya. Mendapati kerut alis yang sama, ia mencondongkan kepalanya ke depan. “Sebagai informasi,” nada bicaranya melandai, “Nyonya Harris dapat mengklaim warisan jika dia dan putrinya bisa bertahan di rumah ini selama satu bulan. Mendiang Rowan sepertinya berharap kalian bisa akur.” “Kami akur!” angguk Melanie cepat. “Anda lihat bagaimana gadis kecil itu menarik tanganku tadi? Dia mengajakku duduk! Itu bukti kalau ada kedekatan di antara kami.” Morris kembali meluruskan badan. Sambil menatap Melanie lekat-lekat, ia mendesah samar. “Maaf, Nyonya. Bukan itu yang menjadi permasalahan di sini. Ada hal lain yang telah Anda langgar, terlepas dari keberadaan Anda dan putri Anda di sini.” Kekusutan di wajah Melanie seketika terurai. Dengan gelenga
“Berdasarkan surat wasiat ini, Melanie Harris berhak atas apartemen yang berada di N City dengan catatan,” Morris menekankan nada bicaranya, “dia harus tinggal di sana.” Lengkung bibir Melanie menciut. “Aku harus tinggal di sana?” Matanya melebar. Morris meruncingkan telunjuk, menyatakan bahwa ia belum selesai dengan kalimat barusan. “Dan mengelolanya. Jika dalam tiga bulan terjadi penurunan harga maupun kualitas secara berturut-turut, aset tersebut akan ditarik dan diserahkan kepada pihak selanjutnya. Dan jika Melanie Harris meninggalkan apartemen tersebut lebih dari seminggu atau bahkan pindah ke tempat lain, aset juga dialihkan kepada pihak tersebut.” “Siapa lagi pihak selanjutnya?” Leher Louis meninggi. “Maaf, Tuan Kecil. Itu tidak bisa saya jawab sekarang.” Tiba-tiba, Melanie mengibaskan tangan. “Selanjutnya juga tidak! Apartemen itu sudah tepat berada di genggamanku. Itu tidak akan berpindah tangan.” Morris mengangguk. Dalam hati, ia bersyukur Melanie menerima keputusan i
“Kalau dipikir-pikir, Mama sempat tega memasukkan obat kemo ke dalam makanan Kara,” tutur Frank lirih. “Apakah sebelumnya Mama sudah pernah melakukan hal yang lebih keji dari itu?” “Nenek, tolong katakan kalau itu tidak benar,” Emily menggeleng pelan. Dua tangannya terkepal di depan dada. “Aku tidak mau punya seorang nenek yang jahat.” Tiba-tiba, Melanie menggebrak meja. “Hentikan!” Matanya mulai memerah dan basah. “Tega kalian menuduhku sebagai penjahat? Aku ini orang tua kalian, nenek kalian. Kalian senang punya keluarga seorang penjahat?” Emily menggeleng. Alisnya berkerut tipis. “Karena itulah, aku berharap isi surat itu tidak benar. Aku berharap Nenek adalah orang baik yang tidak pernah melanggar undang-undang.” “Tapi kalau Nenek memang melakukan kejahatan, kita tetap harus melaporkannya, Emily. Kita tidak boleh menyembunyikan kejahatan.” Bisikan Louis membuat darah Melanie semakin mendidih. Sambil menjatuhkan telapak tangannya di meja sekali lagi, ia berdiri. “Kalau memang
Seperginya Morris, semua orang masuk ke kamar masing-masing, kecuali Barbara. Gadis itu malah pergi ke beranda belakang. Ia melamun sejenak sebelum mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. "Papa ...." "Halo, Sayang. Apakah misimu berjalan lancar?" Barbara mengangguk lemah walau Paul tak dapat melihatnya. "Ya, Mama sudah menandatangani suratnya." "Wah, itu di luar dugaan," desah Paul, setengah tak percaya. "Sekarang kau sedang dalam perjalanan pulang?" Barbara tertunduk. Telunjuknya mulai menggaruk kuku jempol. "Maaf, Pa. Aku tidak bermaksud mengecewakan Papa, tapi aku tidak bisa meninggalkan Mama sekarang. Ada insiden tak terduga tadi. Mama sangat terguncang." "Insiden apa?" Barbara pun menceritakan tentang kedatangan Morris. Begitu laporannya selesai, dadanya sudah sangat sesak. "Kejahatan yang disebut dalam surat wasiat itu," Barbara menelan ludah, "itukah yang Papa maksud d
"Dulu, aku berpikir kalau kau adalah gadis paling menyebalkan sedunia. Kau apatis, tidak punya belas kasihan, ataupun rasa kemanusiaan. Kau tidak lebih dari gadis manja yang merepotkan." Kerutan kecil muncul di alis Barbara. "Kau menganggapku separah itu? Bukankah terakhir kau bilang kalau kau mengira aku ini egois dan manja?" "Tapi itu dulu," tegas Philip, lirih. "Sekarang?" Philip menaikkan sudut bibirnya yang lain. "Ternyata waktu itu, aku hanya belum mengenalmu. Karena itulah, aku meminta maaf. Maaf kalau aku baru menyadari kalau kau adalah gadis manis yang menyenangkan." Pipi Barbara mulai bersemu. Degup jantungnya terasa begitu kencang sehingga ia terpaksa berdeham demi meredamnya. "Aku tahu kau sedang berusaha menghibur. Tapi, mengulang pujian itu tidak berpengaruh bagiku." Tiba-tiba, jemari Philip menyelinap ke sela-sela jemarinya. Barbara tidak bisa lagi bernapas. Sekujur tubuhnya membeku menerima kehangatan itu. "Aku bukan memujimu, hanya menyampaikan pengakuan. Se
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum