Pagi, all! Agak adem dulu, ya. Jangan panas terus. :)
Frank menarik napas berat. "Papa tidak tahu. Papa tidak pernah mendengar cerita apa pun tentangnya. Papa bahkan tidak tahu namanya." Alis Emily bergerak turun. Sebelah tangannya terangkat menyangga pipi. "Itu sangat menyedihkan. Papa pasti merindukannya." "Ya." Tatapan Frank mulai menerawang. "Dulu ketika Papa seusia kalian, Papa sering mengira-ngira seperti apa nenek buyut kalian." "Dia pasti sangat cantik," angguk Louis. Frank tertawa lirih. Sambil mengamati wajah Louis dan Emily, ia berbisik, "Papa juga berpikir begitu. Tapi karena Papa tidak bisa bertemu untuk memastikannya, Papa hanya bisa berdoa. Semoga Nenek bahagia di mana pun dia berada." "Amin." Si Kembar merapatkan tangan di depan dada dan terpejam sesaat. Saat matanya kembali terbuka, Emily langsung meninggikan alisnya. "Louis, bagaimana kalau kita berdoa untuk Bibi juga? Semoga dia tidak terlalu sedih karena orang tuanya berpisah.” Mata Louis sontak melebar. “Itu ide bagus, Emily.” Gadis mungil itu tersenyum man
Louis terkekeh. "Aku tidak sengaja melihatnya." "Bukan tidak sengaja, Mama. Louis mengikuti Philip karena dia pikir gerak-gerik Philip aneh. Dia bahkan menguping. Padahal, itu sudah jam tidur." Kara melirik Louis, menyatakan teguran. Balita itu langsung membulatkan mata. "Itu tidak lama, Ma. Aku cuma terlambat lima menit masuk ke kamar." Merasa gemas, Kara mencubit pipi sang putra. "Lain kali, jangan diulangi lagi. Mengerti? Menguping pembicaraan orang lain itu tidak sopan, Sayang." "Baiklah, Ma. Aku akan mencoba untuk mengingatnya. Sekarang, bagaimana pendapat Mama tentang animasi kami? Ada yang perlu diubah?" Mata Kara menyipit. Ia tahu Louis sengaja mengalihkan pembicaraan. Namun, nasihat yang berulang juga tidak berguna. Jadi, ia kembali menatap layar. "Mama rasa animasi ini sudah sempurna. Kapan kalian mau mengirimnya kepada Bibi?" Tiba-tiba, raut si Kembar manyun. Emily tertunduk, sedangkan Louis mengetuk jam tangan canggihnya. "Nomor Bibi pasti masih belum aktif. Dia be
Rahang Philip mengeras. "Maaf, Nyonya. Bukannya saya melarang, tapi Barbara sendiri yang tidak mau berbicara dengan Anda." "Serahkan!" Melanie menyentak lengan Philip. Merasa risih, pria itu terpaksa merelakan ponselnya. Saat Melanie memeriksa, Barbara ternyata sudah mengakhiri panggilan. "Kau sengaja menutupnya?" hardiknya, tepat di depan muka Philip. Kara mendesah iba. Sambil mengeratkan kepalan tangan, ia akhirnya memasang raut tegas. "Tolong dengarkan dulu, Ma. Kami sama sekali tidak bermaksud untuk menjauhkan Mama dan Barbara. Sebaliknya, kami ingin membantunya agar bisa kembali bersama Mama." Tiba-tiba, Melanie meruncingkan telunjuk di depan muka Kara. "Diam kau! Aku tidak butuh sandiwaramu." Kemudian, sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Melanie menelepon balik. Namun, beberapa detik berselang, Barbara tidak juga menjawab panggilan. "Sial," umpatnya samar. Dengan gigi terkatup rapat, Melanie menelepon Barbara menggunakan ponselnya sendiri. Ketika operator
Kara kembali tertawa. Sementara si Kembar terus meledek Philip, ia berkata, "Semoga berhasil, Barbara. Kami menantikan kedatanganmu di sini." "Ya! Cepat datang, Bibi. Philip sudah tidak sabar." Telinga Philip sangat merah. Tak sanggup lagi membendung rasa malunya, ia membekap mulut Louis. "Jangan mengada-ada, Tuan Kecil." “Tapi itu ben—” Philip menekuk lutut dan mengunci Louis dengan lengannya. Sang balita tidak lagi berkutik. Tangannya menggapai-gapai kea rah ponsel seolah mengharapkan bantuan dari Barbara. Melihat itu, Emily tertawa terpingkal-pingkal. "Bibi, Philip kesal kami ledek terus. Dia menangkap Louis. Sekarang, mukanya sudah seperti kepiting rebus!" Dengan tangannya yang lain, Philip menangkap Emily. Gadis mungil itu langsung meleyot di pelukannya. Tawanya semakin menjadi. "Philip menyukai Bibi. Philip ...." Pria itu akhirnya berhasil menutup mulut Emily. Namun, Emily masih berusaha untuk bicara, ia ikut menggapat-gapai, meniru Louis. Kara hanya bisa menggeleng mel
"Setelah Mama dan Papa berpisah, kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah membuat keputusan besar." Barbara mengangguk mantap. "Apa?" Mata Paul bertambah cekung. Barbara tersenyum simpul. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku mau hidup mandiri. Aku akan mencari pekerjaan dan mengurus diri sendiri. Aku mau belajar mengepakkan sayap." Paul tercengang. Sambil menurunkan tangannya dari pundak Barbara, ia mundur selangkah. "Itu bukan keputusan bagus, Sayang. Bagaimana kamu bisa bertahan? Dan kalau kamu mau bekerja, kenapa tidak membantu Papa mengurus perusahaan saja? Kita bisa berbenah bersama, dan Papa bisa membantu kalau kamu kesulitan." Barbara menggeleng tegas. "Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menggali potensiku sendiri." Paul ternganga tanpa kata. Akal sehatnya terguncang dan hatinya masih menolak percaya. Tiba-tiba, Barbara meraih tangannya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan mengunjungi Papa di hari libur dan akhir pekan, bergantian dengan mengunjungi Mama. Nanti ka
Emily menoleh. Namun, saat ia memeriksa, taksi sudah menghilang di kejauhan. "Apakah ada yang baru pulang berbelanja?" Philip tersenyum simpul. "Tidak ada jadwal belanja sore ini, Nona." Dalam sekejap, si Kembar ternganga. "Apakah itu Bibi?" "Bibi sudah datang?" Sedetik kemudian, pekik girang mereka mengudara. Saat limo berhenti, Louis dan Emily berlomba-lomba untuk turun lebih cepat. "Bibi .... Bibi ...!" Mereka tidak peduli lagi dengan Philip yang tertinggal atau Kara yang meneriaki mereka untuk memperhatikan langkah. Namun, saat memasuki ruang tamu, mereka terkesiap. Bola mata mereka bergetar menyaksikan betapa kerasnya Melanie menampar Barbara. "Berbulan-bulan Mama mengandungmu. Bertahun-tahun Mama membesarkanmu. Ini balasanmu untuk Mama?" Usai mendengus, Melanie mulai menggeleng. Matanya semakin dipenuhi guratan merah. "Bisa-bisanya kamu bilang ingin lepas dari Mama? Kamu pikir Mama senang kalau kamu hidup mandiri setelah mengucapkan satu kalimat terima kasih? Tid
"Tidak!” seru Melanie, memekakkan telinga. “Sebelum kau kembali tinggal di sini dan satu bulan berlalu, Mama tidak akan menandatangani surat itu. Titik."Akan tetapi, Barbara tidak menggubris. Ia malah memungut kertas-kertas dan menyerahkannya kepada Melanie. "Kita sudah melanggar persyaratan, Ma. Lupakan aset itu. Sekarang, tolong tanda tangani surat ini. Kasihan Papa kalau Mama mendadak berubah pikiran. Papa sudah cukup sibuk dengan perusahaannya."Merasa geram, Melanie pun merebut lembaran kertas itu. Tanpa berpikir panjang, ia menggulungnya, lalu mulai memukul Barbara. "Dasar anak yang tak tahu diuntung! Aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu. Tapi ini balasanmu terhadapku?"Sementara itu, Barbara tidak lagi fokus dengan kata-kata sang ibu. Ia mencoba mengelak dan menangkis serangan. Namun, malah lengannya yang terkena pukulan. "Hentikan, Ma! Sakit!"Menyaksikan hal itu, si Kembar tidak bisa lagi diam. Mereka lompat dari balik pilar dan berlari menyelamatkan Barbara. Namun,
Mata Melanie membulat. Sambil beranjak dari sofa, ia berteriak, “Tidak! Saya tidak melanggar ketentuan. Lihatlah! Barbara ada di sini. Dia masih bertahan di rumah ini bersamaku!” Morris menyentak alis. Ia menoleh ke arah keluarga kecil di sisi kirinya. Mendapati kerut alis yang sama, ia mencondongkan kepalanya ke depan. “Sebagai informasi,” nada bicaranya melandai, “Nyonya Harris dapat mengklaim warisan jika dia dan putrinya bisa bertahan di rumah ini selama satu bulan. Mendiang Rowan sepertinya berharap kalian bisa akur.” “Kami akur!” angguk Melanie cepat. “Anda lihat bagaimana gadis kecil itu menarik tanganku tadi? Dia mengajakku duduk! Itu bukti kalau ada kedekatan di antara kami.” Morris kembali meluruskan badan. Sambil menatap Melanie lekat-lekat, ia mendesah samar. “Maaf, Nyonya. Bukan itu yang menjadi permasalahan di sini. Ada hal lain yang telah Anda langgar, terlepas dari keberadaan Anda dan putri Anda di sini.” Kekusutan di wajah Melanie seketika terurai. Dengan gelenga