Sudah tepatkah tindakan Frank?
Frank menoleh. Mulutnya terkatup rapat sejenak. "Tidak ada. Biarkan saja Barbara tetap pada keputusannya. Kalian masih bisa bersabar menghadapi ibuku?" Philip menghela napas lelah. Kara pun menepuk-nepuk lengannya. "Tolong bersabarlah, Phil. Demi Barbara." Alis Philip terangkat maksimal. "K-kenapa demi Barbara?" Frank dan Kara saling lirik. Senyum mereka berubah misterius. "Bersemangatlah." Frank menepuk pundak Philip, lalu merangkul pinggang Kara. Bersama-sama, mereka masuk ke rumah. Philip berkedip-kedip mencerna keadaan. "Apakah mereka sudah tahu?" gumam pria muda itu. Selang beberapa saat, ia mendesah pasrah. "Louis tidak bisa dipercaya." Sementara yang lain mulai melupakan apa yang tadi terjadi, Melanie mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali ia menggigit jari, sesekali ia mendesah. "Gawat! Ini benar-benar gawat." Sambil menggertakkan gigi, Melanie membanting dirinya di kursi. "Kalau Barbara tidak di sini malam ini, aku bisa gagal mendapat warisan." Sambil berkedip-k
Frank menarik napas berat. "Papa tidak tahu. Papa tidak pernah mendengar cerita apa pun tentangnya. Papa bahkan tidak tahu namanya." Alis Emily bergerak turun. Sebelah tangannya terangkat menyangga pipi. "Itu sangat menyedihkan. Papa pasti merindukannya." "Ya." Tatapan Frank mulai menerawang. "Dulu ketika Papa seusia kalian, Papa sering mengira-ngira seperti apa nenek buyut kalian." "Dia pasti sangat cantik," angguk Louis. Frank tertawa lirih. Sambil mengamati wajah Louis dan Emily, ia berbisik, "Papa juga berpikir begitu. Tapi karena Papa tidak bisa bertemu untuk memastikannya, Papa hanya bisa berdoa. Semoga Nenek bahagia di mana pun dia berada." "Amin." Si Kembar merapatkan tangan di depan dada dan terpejam sesaat. Saat matanya kembali terbuka, Emily langsung meninggikan alisnya. "Louis, bagaimana kalau kita berdoa untuk Bibi juga? Semoga dia tidak terlalu sedih karena orang tuanya berpisah.” Mata Louis sontak melebar. “Itu ide bagus, Emily.” Gadis mungil itu tersenyum man
Louis terkekeh. "Aku tidak sengaja melihatnya." "Bukan tidak sengaja, Mama. Louis mengikuti Philip karena dia pikir gerak-gerik Philip aneh. Dia bahkan menguping. Padahal, itu sudah jam tidur." Kara melirik Louis, menyatakan teguran. Balita itu langsung membulatkan mata. "Itu tidak lama, Ma. Aku cuma terlambat lima menit masuk ke kamar." Merasa gemas, Kara mencubit pipi sang putra. "Lain kali, jangan diulangi lagi. Mengerti? Menguping pembicaraan orang lain itu tidak sopan, Sayang." "Baiklah, Ma. Aku akan mencoba untuk mengingatnya. Sekarang, bagaimana pendapat Mama tentang animasi kami? Ada yang perlu diubah?" Mata Kara menyipit. Ia tahu Louis sengaja mengalihkan pembicaraan. Namun, nasihat yang berulang juga tidak berguna. Jadi, ia kembali menatap layar. "Mama rasa animasi ini sudah sempurna. Kapan kalian mau mengirimnya kepada Bibi?" Tiba-tiba, raut si Kembar manyun. Emily tertunduk, sedangkan Louis mengetuk jam tangan canggihnya. "Nomor Bibi pasti masih belum aktif. Dia be
Rahang Philip mengeras. "Maaf, Nyonya. Bukannya saya melarang, tapi Barbara sendiri yang tidak mau berbicara dengan Anda." "Serahkan!" Melanie menyentak lengan Philip. Merasa risih, pria itu terpaksa merelakan ponselnya. Saat Melanie memeriksa, Barbara ternyata sudah mengakhiri panggilan. "Kau sengaja menutupnya?" hardiknya, tepat di depan muka Philip. Kara mendesah iba. Sambil mengeratkan kepalan tangan, ia akhirnya memasang raut tegas. "Tolong dengarkan dulu, Ma. Kami sama sekali tidak bermaksud untuk menjauhkan Mama dan Barbara. Sebaliknya, kami ingin membantunya agar bisa kembali bersama Mama." Tiba-tiba, Melanie meruncingkan telunjuk di depan muka Kara. "Diam kau! Aku tidak butuh sandiwaramu." Kemudian, sambil meletakkan sebelah tangan di pinggang, Melanie menelepon balik. Namun, beberapa detik berselang, Barbara tidak juga menjawab panggilan. "Sial," umpatnya samar. Dengan gigi terkatup rapat, Melanie menelepon Barbara menggunakan ponselnya sendiri. Ketika operator
Kara kembali tertawa. Sementara si Kembar terus meledek Philip, ia berkata, "Semoga berhasil, Barbara. Kami menantikan kedatanganmu di sini." "Ya! Cepat datang, Bibi. Philip sudah tidak sabar." Telinga Philip sangat merah. Tak sanggup lagi membendung rasa malunya, ia membekap mulut Louis. "Jangan mengada-ada, Tuan Kecil." “Tapi itu ben—” Philip menekuk lutut dan mengunci Louis dengan lengannya. Sang balita tidak lagi berkutik. Tangannya menggapai-gapai kea rah ponsel seolah mengharapkan bantuan dari Barbara. Melihat itu, Emily tertawa terpingkal-pingkal. "Bibi, Philip kesal kami ledek terus. Dia menangkap Louis. Sekarang, mukanya sudah seperti kepiting rebus!" Dengan tangannya yang lain, Philip menangkap Emily. Gadis mungil itu langsung meleyot di pelukannya. Tawanya semakin menjadi. "Philip menyukai Bibi. Philip ...." Pria itu akhirnya berhasil menutup mulut Emily. Namun, Emily masih berusaha untuk bicara, ia ikut menggapat-gapai, meniru Louis. Kara hanya bisa menggeleng mel
"Setelah Mama dan Papa berpisah, kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah membuat keputusan besar." Barbara mengangguk mantap. "Apa?" Mata Paul bertambah cekung. Barbara tersenyum simpul. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku mau hidup mandiri. Aku akan mencari pekerjaan dan mengurus diri sendiri. Aku mau belajar mengepakkan sayap." Paul tercengang. Sambil menurunkan tangannya dari pundak Barbara, ia mundur selangkah. "Itu bukan keputusan bagus, Sayang. Bagaimana kamu bisa bertahan? Dan kalau kamu mau bekerja, kenapa tidak membantu Papa mengurus perusahaan saja? Kita bisa berbenah bersama, dan Papa bisa membantu kalau kamu kesulitan." Barbara menggeleng tegas. "Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menggali potensiku sendiri." Paul ternganga tanpa kata. Akal sehatnya terguncang dan hatinya masih menolak percaya. Tiba-tiba, Barbara meraih tangannya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan mengunjungi Papa di hari libur dan akhir pekan, bergantian dengan mengunjungi Mama. Nanti ka
Emily menoleh. Namun, saat ia memeriksa, taksi sudah menghilang di kejauhan. "Apakah ada yang baru pulang berbelanja?" Philip tersenyum simpul. "Tidak ada jadwal belanja sore ini, Nona." Dalam sekejap, si Kembar ternganga. "Apakah itu Bibi?" "Bibi sudah datang?" Sedetik kemudian, pekik girang mereka mengudara. Saat limo berhenti, Louis dan Emily berlomba-lomba untuk turun lebih cepat. "Bibi .... Bibi ...!" Mereka tidak peduli lagi dengan Philip yang tertinggal atau Kara yang meneriaki mereka untuk memperhatikan langkah. Namun, saat memasuki ruang tamu, mereka terkesiap. Bola mata mereka bergetar menyaksikan betapa kerasnya Melanie menampar Barbara. "Berbulan-bulan Mama mengandungmu. Bertahun-tahun Mama membesarkanmu. Ini balasanmu untuk Mama?" Usai mendengus, Melanie mulai menggeleng. Matanya semakin dipenuhi guratan merah. "Bisa-bisanya kamu bilang ingin lepas dari Mama? Kamu pikir Mama senang kalau kamu hidup mandiri setelah mengucapkan satu kalimat terima kasih? Tid
"Tidak!” seru Melanie, memekakkan telinga. “Sebelum kau kembali tinggal di sini dan satu bulan berlalu, Mama tidak akan menandatangani surat itu. Titik."Akan tetapi, Barbara tidak menggubris. Ia malah memungut kertas-kertas dan menyerahkannya kepada Melanie. "Kita sudah melanggar persyaratan, Ma. Lupakan aset itu. Sekarang, tolong tanda tangani surat ini. Kasihan Papa kalau Mama mendadak berubah pikiran. Papa sudah cukup sibuk dengan perusahaannya."Merasa geram, Melanie pun merebut lembaran kertas itu. Tanpa berpikir panjang, ia menggulungnya, lalu mulai memukul Barbara. "Dasar anak yang tak tahu diuntung! Aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu. Tapi ini balasanmu terhadapku?"Sementara itu, Barbara tidak lagi fokus dengan kata-kata sang ibu. Ia mencoba mengelak dan menangkis serangan. Namun, malah lengannya yang terkena pukulan. "Hentikan, Ma! Sakit!"Menyaksikan hal itu, si Kembar tidak bisa lagi diam. Mereka lompat dari balik pilar dan berlari menyelamatkan Barbara. Namun,
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum