"Selamat datang di Savior Group, Nona Martin. Senang bisa melihat Anda di sini."
Kara tersenyum menyambut salam Vivian. Ia kagum dengan kerendahhatian wanita itu. Sepanjang pengetahuannya, belum pernah ada komisaris yang bersedia menyambut karyawan, selain Vivian.
Tidak hanya itu, Vivian juga mengajak Kara mengunjungi setiap lantai. Dari tingkat terbawah hingga tingkat teratas, semangat wanita itu tidak pernah padam.
Hanya dalam waktu singkat, Kara sudah merasa akrab dengan Savior Group. Diam-diam, ia merasa bangga dapat bekerja di sana. Perusahaan barunya jauh lebih besar dari perusahaan Miller.
"Dan ini adalah meja kerja Anda. Berhati-hatilah dengan kaca itu karena Tuan CEO dapat melihat Anda dari kursinya." Vivian menunjuk sekat cermin yang memisahkan ruang sekretaris dengan sang pimpinan.
"Itu kaca satu arah?" bisik Kara seolah takut terdengar oleh bosnya.
"Benar. Kaca itu sudah memicu banyak pemecatan. Para pendahulu Anda kurang berhati-hati sehingga kesalahan mereka teramati oleh Tuan CEO."
Kara menelan ludah. Tanpa sadar, ia menarik pundak agar berdirinya lebih tegak. Bukankah bos barunya seorang perfeksionis?
Pria itu pasti menuntut karyawan untuk berdiri dengan cara yang sempurna serta berpenampilan maksimal. Karena itulah, Kara mengenakan blouse terbaiknya dan menguncir rambut dengan gaya ekor kuda.
Ia bahkan mengenakan kacamata untuk menambah kesan profesional, dan tak lupa ... contact lens cokelat untuk menutupi warna matanya yang terlalu memikat.
Kara Martin sudah siap menaklukkan si bos dan mendulang pujian darinya.
"Jadi, apa saja yang boleh dan tidak boleh saya lakukan, Nyonya?"
Vivian tersenyum simpul. Selang satu kedipan lembut, tatapannya tertuju pada tumpukan map di dekat komputer.
"Saya harap Anda penghafal yang cerdas, Nona. Anda punya waktu satu hari untuk mengingat semua informasi."
Raut Kara berubah beku. Dengan gerak kaku, ia meruncingkan telunjuk ke arah map. "Itu semua panduan tentang menjadi sekretaris di sini?"
"Panduan untuk bertahan menghadapi Tuan CEO, lebih tepatnya."
Sebelum pikiran negatif menguasai otaknya, Kara menarik napas panjang lalu mengembuskannya samar. Dengan langkah yang mantap, ia mengambil dokumen teratas.
"Frank Harper?" Ia membaca biodata yang tertera di sana.
"Ya, itulah CEO Savior Group. Dia memang masih muda, tapi kemampuannya tidak perlu diragukan. Ini tahun keenam dia memimpin perusahaan."
Kara terdiam. Bukan usia sang CEO yang membuatnya heran, melainkan nama belakangnya.
"Harper? Kenapa rasanya tidak asing? Apakah dulu Finnic pernah bekerja sama dengannya?"
Tiba-tiba, pintu lift terbuka. Sembilan pria berjas hitam langsung keluar dan mengambil posisi. Koridor timur, barat, dan utara masing-masing dijaga oleh dua orang, dua lagi bersiaga di samping pintu ruang CEO, sedangkan satu masih menunggu di pintu lift.
Sesaat kemudian, seorang pria berjas abu-abu keluar disusul pria lain yang berpenampilan seperti pengawal. Aura mencekam seketika mengisi ruangan. Langkah kakinya yang tegas mampu mengintimidasi siapa saja yang melihat, termasuk Kara. Gadis itu tanpa sadar menurunkan dagu dan menahan napas.
"Kenapa aku gugup begini? Apakah karena sudah terlalu lama tidak berurusan dengan orang penting?"
Kara terpejam sesaat, mengumpulkan keberanian. Sambil mengatur napas, ia membayangkan wajah lucu Louis dan Emily setiap menyambutnya pulang. Setelah debar jantungnya mereda, ia kembali menegakkan kepala.
Saat itu pula, sang CEO berhenti tepat di hadapannya. Ketika pandangan mereka bertemu, letupan besar langsung menghentikan detak jantung Kara. Ia tidak bisa mendengar apa-apa. Telinganya berdenging. Otaknya pun gagal mengawasi suasana. Perhatiannya terpaku pada mata abu-abu yang dingin itu.
"Laki-laki ini .... Bukankah dia ayah si Kembar? Setan yang meniduriku di Hotel Harper? Harper? Astaga! Kenapa aku baru menyadarinya?"
Melihat ekspresi Kara seperti sedang berhadapan dengan hantu, Frank Harper mengerutkan alis. Ia tidak suka tatapan itu, seperti ada yang salah dengan wajahnya. Padahal, ia merasa sudah sempurna.
“Inikah sekretaris baru yang Anda ceritakan itu, Nyonya Bell?” tanya Frank tanpa mengalihkan pandangan. Nada bicaranya rendah, tetapi menusuk jiwa. “Bukankah Anda mengatakan kalau dia profesional dan cerdas? Kenapa sekarang dia malah melotot seperti burung hantu yang dungu? Apakah dia baru saja kehilangan moral dan IQ-nya?”
Kara mengerjap. Ia baru sadar bahwa mulutnya sedikit terbuka dan cepat-cepat menutupnya.
“Ternyata dia belum berubah? Dia masih setan angkuh yang dingin dan tidak berperasaan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menjambak rambutnya atau mencolok matanya? Dia penyebab hidupku menderita!”
“Tapi bagaimana kalau dia marah dan langsung membunuhku? Si Kembar pasti akan sangat sedih. Mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Haruskah aku melarikan diri? Mumpung setan abu-abu ini belum menyadari identitasku.”
“Benar! Aku tidak boleh membiarkan setan cabul ini menindasku lagi. Dia sudah membuangku dari hidupnya. Akan kubuktikan bahwa aku mampu bertahan tanpa sepeser pun uang darinya.”
“Kau!”
Kara meruncingkan telunjuk tepat di depan hidung sang CEO. Semua yang melihat pun terbelalak.
Untuk pertama kalinya, seseorang berani menentang Frank Harper selantang dan sedekat itu. Bahkan, Frank sendiri tanpa sadar menaikkan alis dan menahan napas. Ia baru menghina sedikit, tetapi sekretaris baru itu sudah berani menyalak?
“Kalau saja aku tahu CEO Savior Group sekasar dan sesombong ini, aku tidak akan mau menandatangani kontrak!”
Frank memeriksa ekspresi para pengawal dan Vivian. Mereka semua tegang. Tidak ada satu pun yang berani bergerak. Memang hanya gadis di hadapannya itu yang tidak tahu diri dan berani cari mati.
Frank menatap Kara lekat-lekat. Sudut bibirnya berkedut kecil. “Jadi menurutmu, aku ini kasar dan sombong?”Sebelum gadis itu sempat menjawab, ia mendengus dan menepis telunjuk lentik yang tergantung di ujung hidungnya.“Memangnya kau ini siapa? Berani-beraninya memberiku penilaian. Kau tidak punya rasa malu dan tata krama, heh?!”“Maaf, Tuan Harper.” Vivian menarik Kara mundur. “Nona Martin baru saja menandatangani kontrak dan ini hari pertama dia mengunjungi perusahaan. Dia sama sekali belum mendapat pelatihan ataupun membaca buku panduan.”“Itu bukan alasan untuk dia boleh bersikap tidak sopan kepadaku,” bantah Frank dengan suara dingin. Sedetik kemudian, kakinya melangkah maju.Sambil menyempal tangan ke dalam saku, Frank membungkuk hingga matanya sejajar dengan Kara. Ia sudah siap untuk membentak. Namun, begitu hidungnya menangkap aroma citrus yang familiar, ia mematung.“Aroma ini? Apakah dia gadis itu? Karena itukah dia berani denganku? Kalau diingat-ingat, dia memang agak miri
"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus.""Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar."Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan. "Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya."Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu. "Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu
Jeremy diam-diam mengulum senyum. Ia sudah sering mengamati gelagat Frank Harper saat menghadapi wanita. Pria itu selalu menjaga jarak, sekalipun dengan Isabela.Namun, dengan Kara Martin tadi, jarak mereka terlalu dekat. Jeremy bahkan sempat mengira bahwa Frank akan mencium Kara. "Nona Martin, Tuan Harper memanggil Anda," ujar Jeremy dengan senyum lebar. Ia agak kesulitan menahan tawa karena imajinasi singkatnya itu.Melihat keramahan Jeremy, mata Kara melebar. Pria itu terlihat lebih sangar dari si Setan Cabul. Ia sempat mengira bahwa Jeremy adalah kepala pengawal. Namun ternyata, pria itu jauh lebih hangat. Dengan permintaan sesopan itu, Kara tidak perlu banyak waktu untuk mewujudkannya. Ia melangkah ringan menuju ruangan CEO.Namun, begitu melihat tampang dingin Frank, hatinya kembali berat. Sulit dipercaya bahwa dirinya akan sering bertemu mata abu-abu itu."Kau pikir aku membayarmu hanya untuk bersantai?" Nada bicara pria itu sama mengganggu dengan tatapan sinisnya."Saya memb
"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang melanggarnya." Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana. "Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?" "Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?" Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menuduhnya menyimpan rasa. "Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan sapu tangan. "Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan? Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis je
Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. "Maafkan saya, Tuan! Maaf!" Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya. Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata. "Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan. Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. "Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?" Tis
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?" Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini." “Kami?” “Aku dan saudara laki-lakiku.” Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya. "Nenekmu pustakawan di sini?" Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut. "Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi." Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya. "Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sud
“Emily! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas tentang Papa. Kalau Mama tahu, Mama bisa sedih,” tegur Louis sembari mengguncang tangan adiknya. Pundak Emily mendadak lunglai. Kepalanya pun tertunduk. Ia ingat betul perasaannya saat dipeluk oleh pria asing itu, begitu tenang dan hangat walau diselingi ketegangan. Ia sampai lupa bahwa ayah mereka adalah orang jahat yang tega menelantarkan anak-anaknya. Laki-laki di perpustakaan tadi tidak mungkin memaafkannya kalau memang ia ayah mereka. Setiap kali Louis dan Emily bertanya, Kara selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah di surga. Awalnya, si Kembar percaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka sadar bahwa itu tidak benar. Kara tidak pernah menunjukkan makam sang ayah ataupun fotonya. Ayah mereka menghilang tanpa jejak dan ibu mereka tidak tega mengatakan kebenaran. “Louis, Emily, kita sudah sampai. Ayo turun!” Emily terbelalak. Sambil menurunkan kacamata ke hidung, ia menoleh ke luar jendela. Itu bukan halte dekat ruma