Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai.
"Maafkan saya, Tuan! Maaf!"
Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya.
Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata.
"Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan.
Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan.
"Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?"
Tisu di tangan Kara pun terlepas. Sambil meringis ngeri, ia memegangi tangan Frank dan menggeleng sebisanya.
"Tidak, Tuan. Saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya takut Anda marah karena saya menumpahkan kopi di celana Anda," terang Kara lewat kerongkongannya yang tersekat. Entah karena malu, sakit yang tak seberapa, atau ketakutan, wajahnya memerah seperti tomat.
"Jelas aku marah! Aku tidak habis pikir mengapa Nyonya Bell bisa mempekerjakan sekretaris tak becus sepertimu," hardik Frank tepat di depan muka Kara. Gadis malang itu sampai terpejam demi menghindari tatapannya yang mengerikan.
"Maaf, Tuan, tapi saya sudah berusaha semampunya. Kalau kinerja saya masih mengecewakan, saya sudah siap dipecat."
Tiba-tiba, Kara merasakan embusan napas panas di pipinya. Begitu ia mengintip, mata abu-abu itu seperti sudah siap menerkamnya.
"Kau pikir, semudah itu mempertanggungjawabkan kesalahan?"
Jantung Kara nyaris meledak. Itu yang diperingatkan oleh Jeremy. Hukuman selain pemecatan.
Membayangkan dirinya dimasukkan ke dalam karung lalu dilempar ke laut, wajahnya semakin pucat.
“K-kalau bukan dipecat, lalu apa?” tanyanya nyaris tak terdengar. Ia masih mengharapkan ada jawaban selain dilempar ke laut atau dijadikan makanan hiu.
“Mulai detik ini, setiap kau melakukan kesalahan, gajimu akan dipotong 10 persen!”
Kara spontan menghela napas. Ia masih punya kesempatan hidup dan bertemu anak-anak. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih! Saya berjanji tidak akan membuat kesalahan lagi.”
Melihat ekspresi lega Kara, kemarahan Frank langsung berubah menjadi keheranan. Di hari pertama saja, sekretaris barunya itu sudah tiga kali memancing emosi. Dengan pemotongan gaji sebesar itu, Kara tidak akan mendapat sepeser pun dalam empat hari. Apa yang membuatnya masih sanggup tersenyum?
“Tidak hanya itu!” Frank menambahkan. “Setiap hari, kau harus menyortir email yang masuk secara manual. Tim administrasi akan mencetaknya untukmu. Jika pagi berikutnya, hasil kerjamu tidak ada di mejaku, masa kerja minimalmu akan ditambahkan sepuluh hari.”
Lengkung bibir Kara kembali menghadap bawah. Untuk perusahaan sebesar Savior Group, ia yakin email yang masuk pasti ratusan dan yang harus diteruskan kepada CEO bisa puluhan. Bagaimana ia bisa menyelesaikannya tepat waktu? Frank pasti sengaja membuatnya bekerja melebihi batas.
“Dan mulai besok pagi,” alis Kara kembali bergerak naik, “siapkan sarapan untukku! Jika menu yang kau bawakan tidak sesuai, aku sungguh akan melumatmu. Mengerti?”
Kara mengangguk kaku. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud ucapan Frank itu. Semakin banyak skenario mengerikan yang terbayang olehnya, semakin besar penyesalan bertumbuh. Sebelum pikiran negatif menghancurkan semangatnya, ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku tidak boleh menyerah. Ini hanya tiga bulan. Aku harus bisa bertahan demi si Kembar.”
“Baiklah! Saya tidak akan mengecewakan Anda, Tuan.”
Sejak detik itu, Kara tidak lagi mendebat perintah Frank. Ia hanya fokus dengan tumpukan kertas email di mejanya.
Bahkan, ketika Frank memintanya untuk merapikan dokumen di rak, menyusun buku-buku, ataupun tugas-tugas kecil lainnya yang tak berguna, ia melaksanakannya dengan sigap. Ia hanya ingin pulang tepat waktu dan merayakan pekerjaan barunya dengan si Kembar.
Malangnya, saat jam pulang tiba, tugasnya masih menumpuk. Kara terpaksa lembur. Anak-anak berkata bahwa mereka bisa menunggu. Namun, ketika Kara tiba di rumah, mereka sudah terlelap.
Pagi berikutnya, Emily masuk dapur sambil menggosok mata. Rambut tebalnya agak berantakan. Di tangannya, terselip sebuah boneka lemon yang memiliki wajah, kaki, dan tangan.
“Mama ....”
"Halo, Madu Kecil." Kara meletakkan pisau lalu menyambut Emily dalam dekapan. "Apakah tidurmu nyenyak?"
Emily mengangguk malas. "Semalam Mama pulang jam berapa? Kenapa terlambat?"
"Apakah CEO menyebalkan itu menyulitkan Mama?" sambung Louis sambil memasuki dapur dengan mata setengah terbuka. Tanpa aba-aba, ia ikut masuk ke dekapan Kara.
Mendengar celetukan putranya, Kara tertawa kecut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi malaikat kecilnya kalau tahu bahwa Frank Harper adalah ayah mereka.
"Mama baru masuk kerja. Wajar kalau pekerjaan Mama banyak. Apakah kalian kesal kita gagal berpesta?"
"Aku tidak kesal, hanya sedikit sedih," Emily menjepit udara dengan telunjuk dan ibu jarinya yang mungil. "Tapi Louis marah-marah. Dia terus mengatakan kalau CEO jahat itu yang melarang Mama pulang."
"Mama, kalau CEO itu jahat kepada Mama, katakan saja kepadaku. Aku bisa menghajarnya," Louis mengepalkan tangan di depan muka. Otot kecilnya sukses membuat Kara tertawa.
"Kamu sering menyebut CEO itu. Memangnya kamu tahu dia siapa?" Kara mengelus pipi tembam putranya.
"Tahu.” Louis mengangguk tanpa terduga.
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?" Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini." “Kami?” “Aku dan saudara laki-lakiku.” Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya. "Nenekmu pustakawan di sini?" Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut. "Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi." Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya. "Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sud
“Emily! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas tentang Papa. Kalau Mama tahu, Mama bisa sedih,” tegur Louis sembari mengguncang tangan adiknya. Pundak Emily mendadak lunglai. Kepalanya pun tertunduk. Ia ingat betul perasaannya saat dipeluk oleh pria asing itu, begitu tenang dan hangat walau diselingi ketegangan. Ia sampai lupa bahwa ayah mereka adalah orang jahat yang tega menelantarkan anak-anaknya. Laki-laki di perpustakaan tadi tidak mungkin memaafkannya kalau memang ia ayah mereka. Setiap kali Louis dan Emily bertanya, Kara selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah di surga. Awalnya, si Kembar percaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka sadar bahwa itu tidak benar. Kara tidak pernah menunjukkan makam sang ayah ataupun fotonya. Ayah mereka menghilang tanpa jejak dan ibu mereka tidak tega mengatakan kebenaran. “Louis, Emily, kita sudah sampai. Ayo turun!” Emily terbelalak. Sambil menurunkan kacamata ke hidung, ia menoleh ke luar jendela. Itu bukan halte dekat ruma
Helaan napas tak percaya lolos dari mulut Frank. Ia tidak menduga bahwa anak sekecil itu berani melawannya. "Apa yang salah dengan hari ini? Kenapa aku terus dihadapkan dengan anak kecil? Apakah takdir sedang menguji kesabaranku?" "Apa kau tahu ruangan apa ini?" tanya Frank dengan nada menantang. "Tahu," Louis mengangguk dengan percaya diri. Sedetik kemudian, telunjuknya teracung ke arah plat emas yang tertempel pada dinding. "Ini ruang VVIP, tempat untuk orang-orang penting." "Kau tahu kalau orang-orang penting biasanya membicarakan proyek rahasia di ruangan ini, bukan?" Louis berkedip lugu. "Aku tidak peduli dengan obrolan kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat." Mendapat jawaban seberani itu, mata Frank menyipit. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia memperhatikan Louis. Ia baru sadar bahwa mata anak itu juga berwarna abu-abu, sama seperti Emily dan dirinya. Ya, Louis tampak seperti potret Frank Kecil. "Apakah seseorang sengaja menerorku lewat anak-anak bermata abu-abu? Mu
“Itu karena kau terlihat sangat keren,” tutur Louis tulus. “Auramu seperti seorang CEO sukses yang dikagumi semua orang. Tapi, setelah tahu sifatmu yang tidak rasional ini, aku tidak lagi mengagumimu.”Frank tertegun. Baru kali ini, seseorang berani menyindirnya dan itu seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun.Harga dirinya terluka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak mungkin memasukkan bocah itu ke dalam karung lalu melemparnya ke laut. Dunia bisa gempar!Sementara itu, Ben terkesima mendengar bagaimana Louis mengutip potongan kalimatnya. Sambil berdecak kagum, ia menekuk lutut agar pandangan mereka sejajar.“Kau mengerti artinya rasional?” ujinya.Louis mengangguk. “Berpikiran logis. Tuduhan dari Tuan berjas biru itu sama sekali tidak masuk akal. Mana mungkin anak selucu diriku ini dibilang mata-mata?”Tawa Ben sontak mengudara. Tangannya pun tergerak untuk mengelus rambut Louis. “Tolong maafkan Tuan yang tidak rasional itu, Pria Kecil. Terkadang, dia memang
Keesokan paginya, Louis dan Emily masih membicarakan keseruan tadi malam. Bahkan di dalam bus sebelum berpisah dengan sang ibu, suara lucu mereka masih bergema. Kara tidak bisa berhenti tersenyum mengingatnya. "Setelah keluar dari sini, aku harus mencari pekerjaan yang mapan. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan lebih banyak keinginan mereka," pikir Kara sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan pena.Ia bisa merasakan tekadnya untuk menjadi orang tua yang lebih baik semakin membara. "Apa kau sedang kerasukan? Mengapa kau senyum-senyum sendiri tanpa sebab?" Kara spontan bangkit dari kursi. Ia benar-benar tidak sadar kapan Frank tiba di hadapannya.Para pengawal bahkan sudah standby di posisi masing-masing. Hanya Jeremy yang belum terlihat. "Selamat pagi, Tuan. Sarapan Anda sudah saya letakkan di meja, begitu juga dengan rangkuman email." Frank tidak menjawab. Ia terus mengamati Kara dari balik kacamata hitamnya. Emily m
Sedetik kemudian, Frank mendesah remeh. “Kau tidak sabar ingin mendapat akses ke email perusahaan, hmm?” “Bukan begitu!” Kara menggeleng sigap. “Saya hanya tidak ingin produktivitas perusahaan menurun karena pekerjaan yang tumpang-tindih. Kalaupun Anda belum bisa memercayai saya mengenai akses, mengapa tidak berikan tugas lain yang lebih berguna? Meskipun jabatan saya rendah, saya tetap punya harga diri. Saya tidak ingin bekerja di Savior Group malah memperburuk resume saya. Saya juga ingin berkembang.” Tiba-tiba, sudut bibir Frank bergerak naik. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. “Kebetulan sekali, Jeremy sedang ada urusan di luar kota. Kau bisa menggantikan posisinya selama dia tidak ada. Apakah kau bersedia?” Kara berubah ragu. Sorot mata abu-abu itu tampak mencurigakan. Namun, ia sudah berprinsip untuk selalu memberikan usaha terbaik dalam setiap pekerjaan. “Tentu saja.” Frank tanpa sadar tertunduk menahan tawa.
Mendengar perintah tersebut, sang peneliti terbelalak. “Anda yakin, Tuan?” “Tentu,” jawab Frank seringan desah tawanya. Sang peneliti ingin menolak. Namun, ia sadar bahwa dirinya tidak punya kuasa. Dengan sangat terpaksa, ia menekan tombol danger pada remote control di tangannya. Sebuah palang seketika muncul menghadang jalan. Hanya tersisa sedikit ruang di sisi kanan untuk bisa lolos tanpa menabraknya. Menyaksikan hal itu, seluruh urat dalam tubuh Kara menegang. Napasnya pun tertahan. “Tidak, aku belum mau mati ...!” Mobil tiba-tiba melambat dan berbelok mengambil ruang sempit yang tersedia. Bagian bodinya berderit bergesekan dengan ban pengaman. Kara tidak mampu lagi memproses keadaan. Ketika mobil berhenti, ia hanya bergeming dengan tatapan hampa. Kesadarannya hilang entah terlempar ke sudut mana. “Bravo! Bravo!” Frank bertepuk tangan bangga. Sang peneliti sontak melupakan ketegangan dan tersenyum semringah
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum