Share

9. Erangan Frank Harper

Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. 

"Maafkan saya, Tuan! Maaf!" 

Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya.

Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata.

"Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan.

Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. 

"Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?"

Tisu di tangan Kara pun terlepas. Sambil meringis ngeri, ia memegangi tangan Frank dan menggeleng sebisanya. 

"Tidak, Tuan. Saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya takut Anda marah karena saya menumpahkan kopi di celana Anda," terang Kara lewat kerongkongannya yang tersekat. Entah karena malu, sakit yang tak seberapa, atau ketakutan, wajahnya memerah seperti tomat.

"Jelas aku marah! Aku tidak habis pikir mengapa Nyonya Bell bisa mempekerjakan sekretaris tak becus sepertimu," hardik Frank tepat di depan muka Kara. Gadis malang itu sampai terpejam demi menghindari tatapannya yang mengerikan. 

"Maaf, Tuan, tapi saya sudah berusaha semampunya. Kalau kinerja saya masih mengecewakan, saya sudah siap dipecat."

Tiba-tiba, Kara merasakan embusan napas panas di pipinya. Begitu ia mengintip, mata abu-abu itu seperti sudah siap menerkamnya. 

"Kau pikir, semudah itu mempertanggungjawabkan kesalahan?" 

Jantung Kara nyaris meledak. Itu yang diperingatkan oleh Jeremy. Hukuman selain pemecatan.

Membayangkan dirinya dimasukkan ke dalam karung lalu dilempar ke laut, wajahnya semakin pucat.

“K-kalau bukan dipecat, lalu apa?” tanyanya nyaris tak terdengar. Ia masih mengharapkan ada jawaban selain dilempar ke laut atau dijadikan makanan hiu.

“Mulai detik ini, setiap kau melakukan kesalahan, gajimu akan dipotong 10 persen!”

Kara spontan menghela napas. Ia masih punya kesempatan hidup dan bertemu anak-anak. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih! Saya berjanji tidak akan membuat kesalahan lagi.”

Melihat ekspresi lega Kara, kemarahan Frank langsung berubah menjadi keheranan. Di hari pertama saja, sekretaris barunya itu sudah tiga kali memancing emosi. Dengan pemotongan gaji sebesar itu, Kara tidak akan mendapat sepeser pun dalam empat hari. Apa yang membuatnya masih sanggup tersenyum?

“Tidak hanya itu!” Frank menambahkan. “Setiap hari, kau harus menyortir email yang masuk secara manual. Tim administrasi akan mencetaknya untukmu. Jika pagi berikutnya, hasil kerjamu tidak ada di mejaku, masa kerja minimalmu akan ditambahkan sepuluh hari.”

Lengkung bibir Kara kembali menghadap bawah. Untuk perusahaan sebesar Savior Group, ia yakin email yang masuk pasti ratusan dan yang harus diteruskan kepada CEO bisa puluhan. Bagaimana  ia bisa menyelesaikannya tepat waktu? Frank pasti sengaja membuatnya bekerja melebihi batas.

“Dan mulai besok pagi,” alis Kara kembali bergerak naik, “siapkan sarapan untukku! Jika menu yang kau bawakan tidak sesuai, aku sungguh akan melumatmu. Mengerti?”

Kara mengangguk kaku. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud ucapan Frank itu. Semakin banyak skenario mengerikan yang terbayang olehnya, semakin besar penyesalan bertumbuh. Sebelum pikiran negatif menghancurkan semangatnya, ia menarik napas dalam-dalam.

“Aku tidak boleh menyerah. Ini hanya tiga bulan. Aku harus bisa bertahan demi si Kembar.”

“Baiklah! Saya tidak akan mengecewakan Anda, Tuan.”

Sejak detik itu, Kara tidak lagi mendebat perintah Frank. Ia hanya fokus dengan tumpukan kertas email di mejanya.

Bahkan, ketika Frank memintanya untuk merapikan dokumen di rak, menyusun buku-buku, ataupun tugas-tugas kecil lainnya yang tak berguna, ia melaksanakannya dengan sigap. Ia hanya ingin pulang tepat waktu dan merayakan pekerjaan barunya dengan si Kembar.

Malangnya, saat jam pulang tiba, tugasnya masih menumpuk. Kara terpaksa lembur. Anak-anak berkata bahwa mereka bisa menunggu. Namun, ketika Kara tiba di rumah, mereka sudah terlelap.

Pagi berikutnya, Emily masuk dapur sambil menggosok mata. Rambut tebalnya agak berantakan. Di tangannya, terselip sebuah boneka lemon yang memiliki wajah, kaki, dan tangan.

“Mama ....”

"Halo, Madu Kecil." Kara meletakkan pisau lalu menyambut Emily dalam dekapan. "Apakah tidurmu nyenyak?"

Emily mengangguk malas. "Semalam Mama pulang jam berapa? Kenapa terlambat?" 

"Apakah CEO menyebalkan itu menyulitkan Mama?" sambung Louis sambil memasuki dapur dengan mata setengah terbuka. Tanpa aba-aba, ia ikut masuk ke dekapan Kara.

Mendengar celetukan putranya, Kara tertawa kecut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi malaikat kecilnya kalau tahu bahwa Frank Harper adalah ayah mereka.

"Mama baru masuk kerja. Wajar kalau pekerjaan Mama banyak. Apakah kalian kesal kita gagal berpesta?"

"Aku tidak kesal, hanya sedikit sedih," Emily menjepit udara dengan telunjuk dan ibu jarinya yang mungil. "Tapi Louis marah-marah. Dia terus mengatakan kalau CEO jahat itu yang melarang Mama pulang."

"Mama, kalau CEO itu jahat kepada Mama, katakan saja kepadaku. Aku bisa menghajarnya," Louis mengepalkan tangan di depan muka. Otot kecilnya sukses membuat Kara tertawa. 

"Kamu sering menyebut CEO itu. Memangnya kamu tahu dia siapa?" Kara mengelus pipi tembam putranya. 

"Tahu.” Louis mengangguk tanpa terduga.

Comments (42)
goodnovel comment avatar
عذيذة داني
bagus ceritanya,,
goodnovel comment avatar
Grace Luhulima Mahulete
sayang pake koin
goodnovel comment avatar
Pixie
Kakak klik profil, terus top up, pilih paket yang Kakak mau belii
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status