Keesokan paginya, Louis dan Emily masih membicarakan keseruan tadi malam. Bahkan di dalam bus sebelum berpisah dengan sang ibu, suara lucu mereka masih bergema. Kara tidak bisa berhenti tersenyum mengingatnya. "Setelah keluar dari sini, aku harus mencari pekerjaan yang mapan. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan lebih banyak keinginan mereka," pikir Kara sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan pena.Ia bisa merasakan tekadnya untuk menjadi orang tua yang lebih baik semakin membara. "Apa kau sedang kerasukan? Mengapa kau senyum-senyum sendiri tanpa sebab?" Kara spontan bangkit dari kursi. Ia benar-benar tidak sadar kapan Frank tiba di hadapannya.Para pengawal bahkan sudah standby di posisi masing-masing. Hanya Jeremy yang belum terlihat. "Selamat pagi, Tuan. Sarapan Anda sudah saya letakkan di meja, begitu juga dengan rangkuman email." Frank tidak menjawab. Ia terus mengamati Kara dari balik kacamata hitamnya. Emily m
Sedetik kemudian, Frank mendesah remeh. “Kau tidak sabar ingin mendapat akses ke email perusahaan, hmm?” “Bukan begitu!” Kara menggeleng sigap. “Saya hanya tidak ingin produktivitas perusahaan menurun karena pekerjaan yang tumpang-tindih. Kalaupun Anda belum bisa memercayai saya mengenai akses, mengapa tidak berikan tugas lain yang lebih berguna? Meskipun jabatan saya rendah, saya tetap punya harga diri. Saya tidak ingin bekerja di Savior Group malah memperburuk resume saya. Saya juga ingin berkembang.” Tiba-tiba, sudut bibir Frank bergerak naik. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. “Kebetulan sekali, Jeremy sedang ada urusan di luar kota. Kau bisa menggantikan posisinya selama dia tidak ada. Apakah kau bersedia?” Kara berubah ragu. Sorot mata abu-abu itu tampak mencurigakan. Namun, ia sudah berprinsip untuk selalu memberikan usaha terbaik dalam setiap pekerjaan. “Tentu saja.” Frank tanpa sadar tertunduk menahan tawa.
Mendengar perintah tersebut, sang peneliti terbelalak. “Anda yakin, Tuan?” “Tentu,” jawab Frank seringan desah tawanya. Sang peneliti ingin menolak. Namun, ia sadar bahwa dirinya tidak punya kuasa. Dengan sangat terpaksa, ia menekan tombol danger pada remote control di tangannya. Sebuah palang seketika muncul menghadang jalan. Hanya tersisa sedikit ruang di sisi kanan untuk bisa lolos tanpa menabraknya. Menyaksikan hal itu, seluruh urat dalam tubuh Kara menegang. Napasnya pun tertahan. “Tidak, aku belum mau mati ...!” Mobil tiba-tiba melambat dan berbelok mengambil ruang sempit yang tersedia. Bagian bodinya berderit bergesekan dengan ban pengaman. Kara tidak mampu lagi memproses keadaan. Ketika mobil berhenti, ia hanya bergeming dengan tatapan hampa. Kesadarannya hilang entah terlempar ke sudut mana. “Bravo! Bravo!” Frank bertepuk tangan bangga. Sang peneliti sontak melupakan ketegangan dan tersenyum semringah
“Bukankah kemarin saya sudah menjadi pelayan pribadi Anda saat menggantikan Jeremy?” Suara Kara serak. Kerongkongannya panas. “Itu asisten pribadi. Yang sedang kita bahas adalah pelayan pribadi. Dari detik aku membuka mata hingga detik aku memejamkan mata, aku ingin kau selalu siaga.” Kara berusaha memaksakan senyum, tetapi sudut bibirnya terlalu berat. Tangisan si Kembar telah membayangi pikirannya. Ia tidak mungkin mendedikasikan seluruh waktu untuk Frank, sementara anak-anaknya dititipkan 24 jam kepada sang ibu. “Saya harus selalu melayani Anda selama tiga bulan ke depan? Tidakkah Anda merasa itu berlebihan?” “Kau tidak bersedia? Kalau begitu, nikmatilah tiga bulanmu sebagai sekretaris bodoh yang tidak digaji.” Kara tanpa sadar melipat tangan dan mencengkeram siku. Gayanya persis seperti Emily saat berhadapan dengan Frank. Beruntung, laki-laki itu tidak menyadarinya. Ia sudah dibutakan oleh rasa kesal terhadap sekretarisnya itu.
Siang harinya, Kara mengikuti Frank ke sebuah tempat yang menyerupai pabrik tekstil mini. Seorang wanita paruh baya berpakaian rapi menyambut mereka di sana. Ia dengan sigap menjelaskan tentang perkembangan prototipe B-16. Mengetahui produk itu hanya sebuah kemeja biotekstil, Kara diam-diam lega. “Haruskah kita memulai uji cobanya sekarang, Tuan? Peragawati yang bekerja sama dengan kita sudah siap.” “Peragawati?” Tatapan Frank menyipit dan bergeser ke arah Kara. “Untuk apa menyewa peragawati dari luar? Sekretarisku bisa melakukannya.” Sang manajer menaikkan alis. Dengan mata lebar, ia memperhatikan tubuh Kara. “Tapi—” “Baiklah, saya akan melakukannya,” sahut Kara dengan percaya diri. Ia yakin bahwa prototipe itu tidak akan membahayakan nyawanya seperti kemarin. Mendengar persetujuan itu, sang manajer mulai panik. Namun, ia tidak berkutik. Frank Harper telah memberinya isyarat untuk mulai lewat gerak jari. Awalnya, Kara tidak menganggap
"Nyonya Swan." Sang manajer bergegas mendekat. Ia sesungguhnya sempat heran mengapa sang CEO meminta satu orang saja untuk mengurus uji coba. Namun, setelah menyaksikan kemalangan Kara, ia mengerti. Gadis itu pasti sudah membuat Frank Harper murka sehingga dihukum sedemikian "sadis". "Kerah tegak ternyata tidak cocok untuk bahan selembut ini. Gantilah dengan model lain. Lalu, kancing-kancing ini ...." Frank menelusuri garis kancing dengan bayangan jari. Meski pria itu tidak menyentuh, Kara tetap tertunduk menahan napas. Wajahnya sudah lebih merah dari tomat. "Carilah cara agar pemasangannya tidak terkesan berantakan, dan sediakan beberapa variasi lingkar dada untuk wanita." Saat itulah, sebuah kancing terempas dari benangnya. Keseksian sang sekretaris langsung terekspos dan Frank tidak sempat mengalihkan pandangan. Ia seketika berdebar dan tanpa sadar menahan napas. Kara tidak mampu lagi mengatasi rasa malunya. Ia bergegas lari ke balik tirai. Air mata menetes di pipinya. Seka
Wajah Frank merah padam. Dari semua serangan yang pernah ia alami, belum pernah ada yang menargetkan titik itu. Sekarang, ia harus marah kepada siapa? Para pengawal yang mengiringinya di mobil lain, sopir yang entah menghindar dari apa, atau gadis yang sedang berada dalam cengkeramannya? “M-maaf, Tuan! Saya sungguh tidak sengaja!” Pita suara Kara nyaris rusak tercekik ketakutan. Frank Harper memang layak dihajar sekeras itu. Namun, dengan posisinya yang sedang terdesak, bukankah itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri? “Tidak sengaja, katamu?” Frank menjambak rambut Kara sehingga gadis itu mendongak. “Tunggu saja! Sebentar lagi, akan kubuat kau tidak bisa bangun lagi!” Sambil meringis, Frank menekan sebuah tombol di sisi meja. “Ubah haluan! Aku ingin pulang sekarang.” Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Kara, bukan karena sakit, melainkan ngeri. Ia tidak sanggup membayangkan dirinya ditindih oleh Setan Cabul itu lagi.
“Kalau begitu, buanglah saya dari kehidupan Anda!” seru Kara lugas. “Saya akan dengan senang hati angkat kaki dari kehidupan Anda.” Saat ini, Kara tidak peduli jika dirinya akan dilempar ke laut atau ditinggalkan di hutan belantara bersama hewan-hewan buas. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan laki-laki yang selalu meredupkan dunianya. Sambil mengeraskan rahang, Frank pun beranjak dari ranjang. Kedua tangannya terkepal erat, seperti ada banyak hal yang harus ia jaga erat di dalamnya. “Mulai detik ini, kau bukan sekretaris ataupun pelayanku lagi. Dan sekeluarnya dari pintu ini, jangan pernah menampakkan batang hidungmu di hadapanku! Aku ... tidak mau lagi ... berurusan denganmu.” Napas Kara mendadak tertahan. Hatinya pedih dan pandangannya kabur terhalang memori. Ia seperti tersedot ke masa lalu. Frank Harper juga melontarkan kata-kata itu saat meninggalkannya empat tahun lalu. Pria itu tidak sedikit pun berubah. Ia tetap arogan dan tidak berperasaan. Kara pun masih sama. Ia tid
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum