Wajah Frank merah padam. Dari semua serangan yang pernah ia alami, belum pernah ada yang menargetkan titik itu. Sekarang, ia harus marah kepada siapa? Para pengawal yang mengiringinya di mobil lain, sopir yang entah menghindar dari apa, atau gadis yang sedang berada dalam cengkeramannya? “M-maaf, Tuan! Saya sungguh tidak sengaja!” Pita suara Kara nyaris rusak tercekik ketakutan. Frank Harper memang layak dihajar sekeras itu. Namun, dengan posisinya yang sedang terdesak, bukankah itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri? “Tidak sengaja, katamu?” Frank menjambak rambut Kara sehingga gadis itu mendongak. “Tunggu saja! Sebentar lagi, akan kubuat kau tidak bisa bangun lagi!” Sambil meringis, Frank menekan sebuah tombol di sisi meja. “Ubah haluan! Aku ingin pulang sekarang.” Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Kara, bukan karena sakit, melainkan ngeri. Ia tidak sanggup membayangkan dirinya ditindih oleh Setan Cabul itu lagi.
“Kalau begitu, buanglah saya dari kehidupan Anda!” seru Kara lugas. “Saya akan dengan senang hati angkat kaki dari kehidupan Anda.” Saat ini, Kara tidak peduli jika dirinya akan dilempar ke laut atau ditinggalkan di hutan belantara bersama hewan-hewan buas. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan laki-laki yang selalu meredupkan dunianya. Sambil mengeraskan rahang, Frank pun beranjak dari ranjang. Kedua tangannya terkepal erat, seperti ada banyak hal yang harus ia jaga erat di dalamnya. “Mulai detik ini, kau bukan sekretaris ataupun pelayanku lagi. Dan sekeluarnya dari pintu ini, jangan pernah menampakkan batang hidungmu di hadapanku! Aku ... tidak mau lagi ... berurusan denganmu.” Napas Kara mendadak tertahan. Hatinya pedih dan pandangannya kabur terhalang memori. Ia seperti tersedot ke masa lalu. Frank Harper juga melontarkan kata-kata itu saat meninggalkannya empat tahun lalu. Pria itu tidak sedikit pun berubah. Ia tetap arogan dan tidak berperasaan. Kara pun masih sama. Ia tid
“Siapa yang membayarnya untuk menjebakku?” tanya Frank dengan mata lebar. Ia tanpa sadar menahan napas saat menantikan jawaban. “Dugaan Anda salah, Tuan. Tidak ada yang bermaksud menjebak Anda. Kedua obat itu ditujukan untuk orang lain.” Frank terkesiap. Mulutnya terbuka lebar, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kebingungan masih menyumbat otak dan tenggorokannya. “Obat tidur itu diberikan kepada seorang gadis, sedangkan obat perangsang itu diberikan kepada rekan kerjanya. Namun, rencana itu tidak berjalan lancar. Sang pria tidak sedikit pun menyentuh minumannya.” “Lalu aku yang meminumnya?” desah Frank tak percaya. Jeremy menelan ludah. “Benar, Tuan. Saat Anda datang, Anda meminta penyajian kilat. Jadi, bartender lain yang kebetulan baru bekerja dengan ceroboh memberikan minuman itu kepada Anda.” “Dia memberiku minuman bekas?” tanya Frank dengan suara menggelegar. Kemarahan kembali menggumpal dalam darah. Tangannya terkepal erat meni
Kara tertunduk menatap kain kompres yang ditekankan ke kakinya. Dengan alis yang berkerut, ia terlihat sangat fokus pada bengkaknya. Padahal sesungguhnya, ia sibuk memikirkan hari esok. Belum satu minggu ia bekerja di Savior Group, tetapi ia sudah dipecat. Ia tidak mungkin mendapat sepeser pun dari perusahaan itu. Dengan sisa nominal di rekening dan biaya hidup yang lebih tinggi di L City, apakah mereka bisa bertahan hingga bulan depan? Pesta ulang tahun yang didambakan si Kembar sudah pasti terancam batal. Yang lebih buruk, malaikat kecilnya terpaksa didaftarkan ke sekolah sederhana."Tidak adakah keajaiban untuk anak-anak sebaik mereka?" desah Kara dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah lupa untuk memindahkan kain kompresnya. "Louis dan Emily selalu menyemangatiku. Mereka tak pernah berhenti menerangi duniaku. Apakah ini balasanku sebagai seorang ibu?"Kara terpejam dan menarik napas berat. Beban besar kini bertengger di pundaknya. Andai saja air matanya dapat berubah menjadi mutiara
Para wanita sontak berpandangan. Selang satu kedipan, mereka menutupi tawa dengan sebelah tangan. Balita berkacamata hitam itu ternyata bukan hanya lucu, tetapi juga pandai bicara. "Maaf, Adik Kecil. Kalian belum cukup umur. Beasiswa ini diperuntukkan bagi murid SD, SMP, dan SMA." "Tapi di sini disebutkan kalau beasiswa ini untuk anak berprestasi." Louis menunjuk standing banner di samping pintu. "Kami berprestasi. Orang-orang selalu memuji kami sebagai anak jenius." Emily mengangguk-angguk mendukung saudara kembarnya. "Sayang sekali, ketentuannya tidak bisa diubah. Bagaimana kalau kalian kembali beberapa tahun lagi?" "Tapi kami butuh beasiswa itu sekarang," desah Emily dengan suara manisnya. Alisnya melukiskan kekhawatiran yang mendalam. "Bagaimana kalau kalian mengizinkan kami ikut seleksi? Kami bisa membuktikan kalau kami tidak kalah dari anak-anak lain yang lebih tua." Mendengar tantangan yang berani it
Frank lagi-lagi mendapati dirinya melamun memandangi meja sekretaris. Padahal, tidak ada seorang pun di sana. Baik Vivian maupun tim HRD belum mengetahui soal pemecatan Kara. Mereka belum bergerak untuk mencari penggantinya. Haruskah ia meminta sekretaris baru? Mungkin, dirinya akan berhenti menatap keluar kaca jika perempuan membosankan duduk di sana. Tiba-tiba, Frank menggeleng cepat, mengenyahkan ide tersebut. “Tidak. Aku hanya perlu mencari cara untuk menyibukkan pikiran.” “Philip!” Dalam sekejap, seorang pengawal masuk ke ruangan. “Mana makan siangku? Apakah staf administrasi itu belum kembali juga?” “Belum, Tuan. Akan saya hubungi agar lebih cepat.” Sambil mengerutkan alis, Frank mengibaskan tangan. Sang pengawal pun kembali menghilang dari pandangan dan menutup pintu. “Kenapa hari ini suram sekali?” gerutu Frank. Ia benar-benar gusar. Seharian, ia belum menghasilkan apa-apa. Ia terlalu sibuk mengusir bayangan Kara dari benak dan sekelilingnya. “Kalau begini, aku lebih
"Omong kosong. Dia menyandang beberapa gelar juga, sama sepertimu," tegas Rowan dengan mata melotot yang mulai memerah. Alih-alih ciut, Frank malah menimpali, "Dengan sogokan. Detektifku tidak mungkin salah menyelidikinya. Selain itu, sifatnya juga tidak cocok untuk menjadi ibu untuk anak-anakku." "Frank Harper, jaga bicaramu! Isabela adalah putri pertama dari keluarga Hall, model ternama yang dikenal banyak orang. Para pengusaha muda berlomba-lomba untuk mendekatinya. Adakah perempuan lain yang lebih pantas untuk disandingkan denganmu?" Frank memalingkan muka sekilas. Bayangan Kara baru saja melintas dalam benaknya.Mungkin itulah yang membuatnya tidak rasional dan gagal menahan kejujuran. "Kakek tahu? Aku sudah berulang kali berusaha untuk mencintai Isabela. Tapi hasilnya nihil. Hatiku sama sekali tidak tergetar olehnya." Sekali lagi, si pria tua menggebrak meja. "Persetan dengan cinta. Yang kau butuhkan adalah seorang ist
Sudah beberapa jam Kara duduk di depan laptop, mengumpulkan informasi lowongan kerja. Namun, tidak ada satu pun yang sesuai dengan kualifikasinya. Statusnya sebagai orang tua tunggal beranak dua jelas bukan keuntungan, apalagi catatan buruk yang sengaja ditinggalkan oleh Finnic di resume-nya. “Haruskah aku menghubungi Ben Wilson? Aku bisa mengajukan diri menjadi pelayan di restorannya. Mungkin, dia mau menerimaku demi si Kembar.” Kara pun mencari kartu nama Ben dalam tas. Namun kemudian, ia teringat. Ia menyelipkan kartu tersebut dalam buku catatan di meja kerjanya. "Haruskah aku pergi mengambilnya? Barang-barangku juga masih di sana." Kara melipat tangan dan mengetuk-ngetuk siku dengan pulpen. Seingatnya, Frank sedang memiliki jadwal di luar kantor. Selang satu helaan napas panjang, ia pun bergegas. Setibanya di lantai 10 Savior Group Building, Kara menghela napas lega. Tidak ada satu pun pengawal yang berjaga di sana. Berpikir