Para wanita sontak berpandangan. Selang satu kedipan, mereka menutupi tawa dengan sebelah tangan. Balita berkacamata hitam itu ternyata bukan hanya lucu, tetapi juga pandai bicara.
"Maaf, Adik Kecil. Kalian belum cukup umur. Beasiswa ini diperuntukkan bagi murid SD, SMP, dan SMA."
"Tapi di sini disebutkan kalau beasiswa ini untuk anak berprestasi." Louis menunjuk standing banner di samping pintu. "Kami berprestasi. Orang-orang selalu memuji kami sebagai anak jenius."
Emily mengangguk-angguk mendukung saudara kembarnya.
"Sayang sekali, ketentuannya tidak bisa diubah. Bagaimana kalau kalian kembali beberapa tahun lagi?"
"Tapi kami butuh beasiswa itu sekarang," desah Emily dengan suara manisnya. Alisnya melukiskan kekhawatiran yang mendalam.
"Bagaimana kalau kalian mengizinkan kami ikut seleksi? Kami bisa membuktikan kalau kami tidak kalah dari anak-anak lain yang lebih tua."
Mendengar tantangan yang berani it
Frank lagi-lagi mendapati dirinya melamun memandangi meja sekretaris. Padahal, tidak ada seorang pun di sana. Baik Vivian maupun tim HRD belum mengetahui soal pemecatan Kara. Mereka belum bergerak untuk mencari penggantinya. Haruskah ia meminta sekretaris baru? Mungkin, dirinya akan berhenti menatap keluar kaca jika perempuan membosankan duduk di sana. Tiba-tiba, Frank menggeleng cepat, mengenyahkan ide tersebut. “Tidak. Aku hanya perlu mencari cara untuk menyibukkan pikiran.” “Philip!” Dalam sekejap, seorang pengawal masuk ke ruangan. “Mana makan siangku? Apakah staf administrasi itu belum kembali juga?” “Belum, Tuan. Akan saya hubungi agar lebih cepat.” Sambil mengerutkan alis, Frank mengibaskan tangan. Sang pengawal pun kembali menghilang dari pandangan dan menutup pintu. “Kenapa hari ini suram sekali?” gerutu Frank. Ia benar-benar gusar. Seharian, ia belum menghasilkan apa-apa. Ia terlalu sibuk mengusir bayangan Kara dari benak dan sekelilingnya. “Kalau begini, aku lebih
"Omong kosong. Dia menyandang beberapa gelar juga, sama sepertimu," tegas Rowan dengan mata melotot yang mulai memerah. Alih-alih ciut, Frank malah menimpali, "Dengan sogokan. Detektifku tidak mungkin salah menyelidikinya. Selain itu, sifatnya juga tidak cocok untuk menjadi ibu untuk anak-anakku." "Frank Harper, jaga bicaramu! Isabela adalah putri pertama dari keluarga Hall, model ternama yang dikenal banyak orang. Para pengusaha muda berlomba-lomba untuk mendekatinya. Adakah perempuan lain yang lebih pantas untuk disandingkan denganmu?" Frank memalingkan muka sekilas. Bayangan Kara baru saja melintas dalam benaknya.Mungkin itulah yang membuatnya tidak rasional dan gagal menahan kejujuran. "Kakek tahu? Aku sudah berulang kali berusaha untuk mencintai Isabela. Tapi hasilnya nihil. Hatiku sama sekali tidak tergetar olehnya." Sekali lagi, si pria tua menggebrak meja. "Persetan dengan cinta. Yang kau butuhkan adalah seorang ist
Sudah beberapa jam Kara duduk di depan laptop, mengumpulkan informasi lowongan kerja. Namun, tidak ada satu pun yang sesuai dengan kualifikasinya. Statusnya sebagai orang tua tunggal beranak dua jelas bukan keuntungan, apalagi catatan buruk yang sengaja ditinggalkan oleh Finnic di resume-nya. “Haruskah aku menghubungi Ben Wilson? Aku bisa mengajukan diri menjadi pelayan di restorannya. Mungkin, dia mau menerimaku demi si Kembar.” Kara pun mencari kartu nama Ben dalam tas. Namun kemudian, ia teringat. Ia menyelipkan kartu tersebut dalam buku catatan di meja kerjanya. "Haruskah aku pergi mengambilnya? Barang-barangku juga masih di sana." Kara melipat tangan dan mengetuk-ngetuk siku dengan pulpen. Seingatnya, Frank sedang memiliki jadwal di luar kantor. Selang satu helaan napas panjang, ia pun bergegas. Setibanya di lantai 10 Savior Group Building, Kara menghela napas lega. Tidak ada satu pun pengawal yang berjaga di sana. Berpikir
Kara mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya dikuncir rapi, persis seperti anak magang. Frank dapat menebak dengan mudah bahwa Kara sedang mencari pekerjaan.“Sekretaris bodoh itu ... dia telah menyelamatkanku?”Ia mendesah tak percaya. Namun, setelah mengeraskan rahang, ia bangkit dengan raut dingin.“Apa yang kau lakukan di kursiku?”Kara menoleh. Tangannya berhenti mencatat, tetapi perhatiannya tetap tertuju pada telepon yang tersangkut di antara leher dan pundaknya. Setelah panggilan berakhir, barulah ia menghampiri Frank bersama selembar kertas.“Apakah Anda sudah membaik, Tuan?”Kekhawatiran Kara terdengar tulus. Frank nyaris terenyuh.“Sudah.” Tidak ada ucapan terima kasih yang menyusul.“Syukurlah,” gumam Kara tak terduga. Kemudian, ia menyerahkan kertas di tangannya.“Saya hendak pergi tadi. Tujuan saya kemari hanya untuk mengamb
Kara menelan ludah. Bau ancaman semakin tajam di hidungnya. “Tapi, s-saya sudah menyelamatkan Anda. Kalau saya berniat untuk mencelakakan Anda, apakah mungkin Anda masih bernapas? Lagi pula, saya sudah berjanji tidak akan memberitahukan hal ini kepada siapa pun.” “Itu juga yang dikatakan oleh orang-orang di restoran itu dulu, termasuk pelayan yang mengkhianati janjinya. Tapi mereka berakhir mengenaskan.” Kara mendesah berat. Keringat dingin mulai membutir di dahinya. “Tapi saya berbeda dengan mereka. Saya tidak akan ingkar.” “Bagaimana caramu membuktikannya? Haruskah aku memotong lidah dan tanganmu supaya kau tidak bisa meninggalkan pesan?” Kara spontan menggeleng. “Lalu, bagaimana? Bagaimana caramu memastikan kalau rahasia itu aman bersamamu?” Bibir Kara bergetar hebat. Akan tetapi, tidak satu pun kata lolos darinya. Tanpa terduga, bibir sang CEO melengkung miring. “Bagaimana kalau kau terus mengabdi padaku? De
Frank berjalan ke arah Kara dengan raut tak senang. Ia hanya mengenakan jubah mandi. Butir air masih melekat pada rambutnya. Padahal, tangannya memegang handuk setengah kering. “Kenapa diam saja? Siapa itu?” Sekali lagi, Kara tersentak. “Itu ....” "Apakah itu kekasihmu?" Kara pun membeku. Ia mengira kalau Frank telah mendengar percakapannya lebih awal.Ternyata tidak? "Apakah Anda peduli kalau saya memiliki kekasih?" "Tentu saja. Ini masih jam kerja. Ingat poin nomor tiga. Jaga profesionalitas." Kara nyaris memuncratkan tawa. Namun, demi menjaga sandiwaranya, ia tertunduk menyimpan ponsel ke dalam tas, lalu berdiri di hadapan tuannya. "Apa tugas saya sekarang?" "Keringkan rambutku." Kara terbelalak. Itu pekerjaan yang mudah. Mengapa Frank menyuruhnya? Meski demikian, ia tetap melaksanakannya tanpa protes. "Sekarang apa?" Tiba-tiba, Frank duduk di tepi ranjang dan membuka
Frank terbelalak menatap Kara. Gadis itu telah membungkuk dan menutupi leher dengan kedua tangan. “Sepertinya dia tersengat lebah,” desah salah satu pengawal. “Anda sebaiknya menunggu di dalam, Tuan. Kami akan membawakan baju pelindung untuk Anda.” Usai mengangguk, Frank bergegas ke mobil. Namun, melihat Kara terpaku pada posisi yang sama, ia pun menarik gadis itu untuk ikut bersamanya. “Hei,” panggilnya canggung, “apakah kau baik-baik saja?” Kara tidak menegakkan kepala. Ia terus menyembunyikan wajahnya yang basah dan menggeleng lemah. “Sakit ....” Napas Frank berubah berat mendengar rintihan Kara. Haruskah ia menolongnya? Namun, ia belum pernah memberikan perhatian sebesar itu kepada perempuan mana pun. Apakah Kara pantas menjadi yang pertama baginya? “Rasanya sakit sekali, Tuan,” rintih Kara lagi. Getar suaranya menyentuh hati Frank. “Mana? Perlihatkan kepadaku.” Kara menurunkan tangan dan bersusah payah mengangkat wajah. Frank kini dapat melihat dua titik merah di leher
“Kurasa, kau lebih baik menunggu di sini. Aku tidak mau gadis merepotkan sepertimu mengganggu kinerjaku di lapangan,” usul Frank seraya mengangguk kaku. Ia juga tidak berani menatap Kara, takut dimintai penjelasan tentang apa yang baru saja ia lakukan. “Ya, Anda benar. Saya pasti akan merepotkan kalau ikut ke sana.” Kara berusaha mengangguk, tetapi gagal. Jejak bibir Frank di lehernya seakan telah mengacaukan jalur sarafnya. Tanpa tambahan kata, Frank keluar dari mobil mewahnya. Ia bahkan memilih untuk mengenakan baju pelindung di luar. Dirinya dan Kara memang butuh jarak. Jika tidak, kecanggungan bisa saja melumpuhkan mereka. Seperginya sang CEO, Kara langsung mengambil cermin dari tas. Ia ingin tahu bagaimana kondisi lehernya. Begitu melihat lokasi sengatan lebah, ia terkesiap. “Kenapa malah jadi ada tiga?” Ada satu titik baru di dekat dua bekas sengatan lebah itu. Warnanya sama merah, hanya saja ... itu tidak bengkak dan buka