“Kurasa, kau lebih baik menunggu di sini. Aku tidak mau gadis merepotkan sepertimu mengganggu kinerjaku di lapangan,” usul Frank seraya mengangguk kaku. Ia juga tidak berani menatap Kara, takut dimintai penjelasan tentang apa yang baru saja ia lakukan.
“Ya, Anda benar. Saya pasti akan merepotkan kalau ikut ke sana.”
Kara berusaha mengangguk, tetapi gagal. Jejak bibir Frank di lehernya seakan telah mengacaukan jalur sarafnya.
Tanpa tambahan kata, Frank keluar dari mobil mewahnya. Ia bahkan memilih untuk mengenakan baju pelindung di luar. Dirinya dan Kara memang butuh jarak. Jika tidak, kecanggungan bisa saja melumpuhkan mereka.
Seperginya sang CEO, Kara langsung mengambil cermin dari tas. Ia ingin tahu bagaimana kondisi lehernya. Begitu melihat lokasi sengatan lebah, ia terkesiap.
“Kenapa malah jadi ada tiga?”
Ada satu titik baru di dekat dua bekas sengatan lebah itu. Warnanya sama merah, hanya saja ... itu tidak bengkak dan buka
"Halo, Malaikat Kecil." Melihat Kara merentangkan tangan di depan pintu masuk, mata Louis dan Emily berbinar. "Mama?" Mereka pun berlari menyambut dekapan sang ibu. "Kenapa Mama pulang cepat? Memangnya CEO jahat itu tidak marah?" tanya Louis. "Dia tidak sejahat itu, Sayang." Kara membelai kepala putranya. "Buktinya, Mama bisa bersama kalian sekarang." "Badan Mama panas. Apakah Mama sakit?" Emily menempelkan telapak sang ibu di pipi gembulnya. "Dan apa yang tertempel di leher Mama itu?" Louis mendongak menunjuk plester. Kara sontak tersipu mengingat penyebabnya. Setelah masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa, ia mencoba mengalihkan perhatian anak-anaknya. "Apa kalian tahu ke mana Mama pergi pagi ini?" "Apakah kebun yang indah?" "Pameran mobil?" Kara menggeleng dan tersenyum penuh arti. "Peternakan lebah." Si Kembar kompak membulatkan mulut mereka. "Benarkah? Apakah M
"Kara, waktumu habis. Keluarlah!" Alih-alih menurut, Kara malah meringis menatap bayangannya di cermin. "Tuan, kenapa memberi saya pakaian ini?" "Kita akan berolahraga. Haruskah kau mengenakan rok dan kemeja? Cepat keluar! Waktu kita terbatas." "Tapi ...." Kesabaran Frank habis. Ia tahu Kara sudah selesai ganti baju. Karena itu, ia nekat mendorong pintu, bermaksud menyeret sekretarisnya keluar. Namun, begitu matanya menangkap bentuk tubuh yang begitu menggiurkan, Frank batal melangkah. Napasnya tertahan dan ia sekeras mungkin berjuang untuk tidak menelan ludah. "Jangan sampai aku menyeretmu. Cepat keluar." Suaranya terdengar aneh. Beruntung, gadis yang tertunduk itu tidak menyimak. Ia mengambil sepatu lalu berlari ke tepi kolam. Di sana, Kara membungkuk untuk mengenakan sepatu. Mata Frank tak bisa terbuka lebih lebar lagi saat melihat pemandangan itu. Tampak belakang Kara membuat keringatnya semakin mengucur. Ia b
"Kara, bukankah tadi kau mengeluh lelah karena ulahku tadi pagi? Kau bilang aku membuatmu terengah-engah dan berkeringat. Kau bahkan kesulitan berjalan," tutur Frank dengan nada memancing. Ben meninggikan sebelah alis. Diam-diam, ia melirik sang gadis. Kara tidak terlihat ingin melancarkan protes. Apa benar gadis sepolos itu membiarkan orang seangkuh Frank menguasainya? Bahkan di pagi hari? "Bagaimana kalau kau beristirahat lebih awal? Segarkan diri dan pikiranmu. Dan jangan lupa obati bekas di lehermu. Kau boleh menggunakan salepku kemarin." Ben menurunkan pandangan ke arah leher Kara. Memang ada plester yang melekat di sana. "Ingat," Frank tiba-tiba menurunkan volume suara, "aku tidak mau ada orang lain yang melihatnya. Cukup kita berdua saja yang tahu." Kara menutupi lehernya dan tersipu. Ia tidak mengerti apa tujuan Frank mengatakan hal semacam itu di depan Ben. "Baiklah. Terima kasih, Tuan." Seperginya Kara, Ben menatap Frank dengan gelengan samar. "Di mana kau menemukan
Sepulang kerja, Kara mengikuti Frank ke mansionnya. Setibanya di sana, ia langsung menyiapkan air untuk sang CEO mandi. Itu sudah menjadi tugasnya sekarang. Setelah pria itu selesai mandi, tugas Kara adalah menyeka rambutnya. Ia seperti memiliki tiga orang anak sekarang. Yang berada di hadapannya itu adalah yang paling merepotkan. “Seka dengan benar!” “Kau melewatkan bagian ini!” “Jangan terlalu keras!” Kara hanya bisa menghela napas. Sejak siang tadi, Frank mendadak jadi lebih rewel. Padahal, Louis dan Emily saja tidak pernah seberisik dan semanja itu. Frank bahkan meminta Kara untuk menyodorkan gelas saat hendak minum. Alasannya, ia terlalu fokus pada monitor dan tidak bisa menjangkau gelas di sudut meja yang sesungguhnya tidak lebih jauh dari telepon. “Sekarang apa lagi, Tuan?” Kara memaksakan senyuman. Telunjuk Frank tertuju pada botol pelembap di atas meja. Kara pun mengambilnya dan mulai mengoleskan gel di kening dan pipi sang CEO. “Wajahmu selalu masam di depanku, tap
Kara menelusuri arah pandang Frank. Ternyata, Ben sedang menenteng sebuah paper bag hitam yang berbentuk kotak dan dihiasi tali emas. Bentuknya cantik dan elegan. Louis dan Emily pasti akan menganggapnya keren. “Maaf mengecewakanmu, Frank. Tapi, kunjunganku kali ini bukan untuk urusan bisnis.” Ben menoleh ke arah Kara dan kembali tersenyum manis. “Ada sesuatu yang harus kuberikan kepada Nona Martin.” Ben menyodorkan kotak itu kepada Kara. Gadis itu terbelalak. “Untuk saya?” Sorot matanya seolah bertanya, “Apakah ini untuk Louis dan Emily?” Ben mengedipkan sebelah mata seolah mengiyakan. “Saya tahu Anda sangat menyukai cokelat. Jadi, saya harap Anda tidak keberatan menerima hadiah kecil yang sederhana ini.” Kara berkedip tak percaya. Ia melirik ke arah Frank sekilas. Pria itu tampak tak senang. Lalu, ia kembali menatap Ben. Harga diri pria itu bisa terluka jika ia menolaknya. “Terima kasih, Tuan Wilson.” Ben mengangguk sambil meninggikan sudut bibir. “Saya senang jika Anda se
Kara meringis kesal. Sudut bibirnya berkedut menahan emosi. “Anda bersikap seperti ini karena takut tersaingi, bukan?” Frank bergeming. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Apa mungkin Kara mampu menebak isi hati yang ia sendiri masih ingkari? Tiba-tiba, ia tertawa datar seolah yang diucapkan Kara tadi tidak masuk akal. “Bersaing untuk apa? Untuk memperebutkan dirimu? Kau tidak cukup istimewa untuk hal itu, Kara Martin.” Sang sekretaris mendengus remeh. “Saya tahu kalau Anda selalu ingin menjadi yang terbaik dalam segala hal. Jika saya lebih memilih bekerja dengan Tuan Wilson, bukankah itu berarti Anda tidak lebih baik darinya? Anda benci tersaingi. Karena itulah Anda menahan saya.” “Bukan begitu,” sangkal Frank cepat. “Aku hanya tidak ingin kinerja sekretarisku menurun. Kau tidak akan bisa bekerja dengan baik jika sudah menjadi korban laki-laki genit itu.” Kara menarik napas berat dan menggeleng lambat. Ia sudah berjanji pad
Begitu menutup telepon, senyum Kara langsung memudar. Louis dan Emily baru saja melapor bahwa mereka sudah selesai makan dan akan pergi tidur. Mereka juga bercerita tentang buku-buku yang akan dipelajari di TK Savior. Emily senang karena sebagian besar adalah buku mewarnai. Ia bahkan meminta Kara untuk segera membeli pensil warna, sedangkan Louis menginginkan buku gambar. "Malaikat kecil bersemangat sekali. Mereka pasti akan kecewa kalau aku tidak menyekolahkan mereka di sana." Sambil tertunduk lesu, Kara keluar dari kamar kecil. Ia bertanya-tanya apakah cokelat yang baru diterimanya bisa digunakan untuk menghibur si Kembar. Namun, setibanya di meja kerja, ia terbelalak. "Di mana cokelat dari Tuan Wilson?" Setelah mencari-cari tanpa hasil, Kara akhirnya bertanya kepada Philip. Mengetahui bahwa Frank menyita cokelat itu, ia tercengang. "Apa yang sebenarnya ada di otak Setan Cabul itu? Tidak bisakah dia membiarkanku bahagia?" Dengan alis berkerut, Kara menghampiri Frank. Beg
“Tuan, berhentilah menjambakku! Aku ini wanita. Apa kau tidak malu sebagai pria?” desah Kara putus-putus. Baru beberapa detik ia “bergulat” dengan Frank, tetapi wajahnya sudah merah dan keringat membutir di keningnya. “Kau pikir aku akan diam saja setelah kau menamparku?” Frank masih mengincar ikat rambut Kara. Entah bagaimana gadis itu mengikatnya, ia masih belum berhasil mendapatkannya. Lelah menahan serangan, Kara akhirnya melompat dan menjambak rambut Frank dengan satu tangan. Pria itu spontan memiringkan kepala mengimbangi arah tarikan. Saat itulah, matanya terbelalak. Entah sejak kapan, sang kakek berdiri di pintu dengan mata melotot tak percaya. “Frank Harper!” Kara tersentak mendengar nada suara yang mendidih tersebut. Ia menoleh ke samping. Seorang pria tua sedang menatapnya seperti seekor singa yang bersiap mencabik mangsa. “Kakek?” desah Frank lirih. Mendengar itu, Kara sontak menahan napas dan melepaskan cengkeraman. Pria y