Kara meringis kesal. Sudut bibirnya berkedut menahan emosi. “Anda bersikap seperti ini karena takut tersaingi, bukan?” Frank bergeming. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Apa mungkin Kara mampu menebak isi hati yang ia sendiri masih ingkari? Tiba-tiba, ia tertawa datar seolah yang diucapkan Kara tadi tidak masuk akal. “Bersaing untuk apa? Untuk memperebutkan dirimu? Kau tidak cukup istimewa untuk hal itu, Kara Martin.” Sang sekretaris mendengus remeh. “Saya tahu kalau Anda selalu ingin menjadi yang terbaik dalam segala hal. Jika saya lebih memilih bekerja dengan Tuan Wilson, bukankah itu berarti Anda tidak lebih baik darinya? Anda benci tersaingi. Karena itulah Anda menahan saya.” “Bukan begitu,” sangkal Frank cepat. “Aku hanya tidak ingin kinerja sekretarisku menurun. Kau tidak akan bisa bekerja dengan baik jika sudah menjadi korban laki-laki genit itu.” Kara menarik napas berat dan menggeleng lambat. Ia sudah berjanji pad
Begitu menutup telepon, senyum Kara langsung memudar. Louis dan Emily baru saja melapor bahwa mereka sudah selesai makan dan akan pergi tidur. Mereka juga bercerita tentang buku-buku yang akan dipelajari di TK Savior. Emily senang karena sebagian besar adalah buku mewarnai. Ia bahkan meminta Kara untuk segera membeli pensil warna, sedangkan Louis menginginkan buku gambar. "Malaikat kecil bersemangat sekali. Mereka pasti akan kecewa kalau aku tidak menyekolahkan mereka di sana." Sambil tertunduk lesu, Kara keluar dari kamar kecil. Ia bertanya-tanya apakah cokelat yang baru diterimanya bisa digunakan untuk menghibur si Kembar. Namun, setibanya di meja kerja, ia terbelalak. "Di mana cokelat dari Tuan Wilson?" Setelah mencari-cari tanpa hasil, Kara akhirnya bertanya kepada Philip. Mengetahui bahwa Frank menyita cokelat itu, ia tercengang. "Apa yang sebenarnya ada di otak Setan Cabul itu? Tidak bisakah dia membiarkanku bahagia?" Dengan alis berkerut, Kara menghampiri Frank. Beg
“Tuan, berhentilah menjambakku! Aku ini wanita. Apa kau tidak malu sebagai pria?” desah Kara putus-putus. Baru beberapa detik ia “bergulat” dengan Frank, tetapi wajahnya sudah merah dan keringat membutir di keningnya. “Kau pikir aku akan diam saja setelah kau menamparku?” Frank masih mengincar ikat rambut Kara. Entah bagaimana gadis itu mengikatnya, ia masih belum berhasil mendapatkannya. Lelah menahan serangan, Kara akhirnya melompat dan menjambak rambut Frank dengan satu tangan. Pria itu spontan memiringkan kepala mengimbangi arah tarikan. Saat itulah, matanya terbelalak. Entah sejak kapan, sang kakek berdiri di pintu dengan mata melotot tak percaya. “Frank Harper!” Kara tersentak mendengar nada suara yang mendidih tersebut. Ia menoleh ke samping. Seorang pria tua sedang menatapnya seperti seekor singa yang bersiap mencabik mangsa. “Kakek?” desah Frank lirih. Mendengar itu, Kara sontak menahan napas dan melepaskan cengkeraman. Pria y
“Aku baik-baik saja,” ujar Kara lemah. Kakinya berusaha tegak, sementara matanya berkedip-kedip melawan pusing. “Tamparan kedua!” Frank melirik kakeknya dengan tatapan sinis. “Cukup, Kek! Kau tidak malu menyakiti seorang gadis seperti ini?” “Dia sendiri yang menginginkannya. Kalau berhenti sampai di sini, dia harus memilih satu nama yang bisa diselamatkan.” Tanpa terduga, Kara mendorong tangan Frank untuk melepas lengannya. Ia memang ketakutan dan kesakitan. Namun, seorang Kara tidak akan bisa hidup tenang jika orang lain sengsara akibat perbuatannya. “Silakan dilanjutkan,” ucapnya kepada Sean. Plak! Tamparan kedua terdengar lebih nyaring. Telinga Kara sampai berdenging. Rasa sakitnya pun lebih dahsyat. Ia kini terpejam dan tidak mampu lagi menjaga keseimbangan. Kalau saja Frank terlambat menangkap pinggangnya, ia pasti sudah mendarat di lantai. "Hentikan!" hardik Frank kepada Sean. Matanya telah merah membara. "Masih tersisa delapan, kenapa dihentikan?" tanya Rowan ringan.
Frank mendesah cepat. Ia telah mempertaruhkan kepercayaan sang kakek demi Kara. Mengapa gadis itu bersikap seolah hanya dirinya yang dirugikan? "Kau tahu kalau ini bukan sepenuhnya salahku, kan? Kau sendiri yang nekat menantang kakekku." "Lalu, haruskah aku membiarkan pengawalmu dipecat karena sikapmu yang kekanak-kanakan itu?" Tawa kesal Frank mulai terdengar. Ia sudah membela Kara, tetapi gadis itu malah menyindirnya? "Kau amnesia, hmm? Kau yang lebih dulu merebut kotak itu dariku. Wajar kalau aku mempertahankannya." Kara mengangguk pasrah. Ia terlalu lelah untuk berdebat. "Baiklah. Aku yang salah. Karena itu, tolong izinkan aku pergi sekarang. Aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku nanti. Kau tidak akan terganggu lagi olehku mulai besok.” Tepat ketika Kara hendak melangkah, Frank menahan lengannya. Sang gadis pun menatapnya sinis. “Lepaskan.” Kara menyentak lengan, tetapi Frank malah memutar tubuhnya dan menggenggam kedua pundaknya. Tatapan mereka kini bertemu. Pri
Sayangnya, ketika Kara hendak menolak, Frank masuk dengan tergesa-gesa. Ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan dan mengakhiri panggilan.“Kara, cepatlah kemari!” perintah Frank sembari menyudutkan pakaian dalam lemari ke satu sisi.Melihat kegelisahan pria itu, Kara mengerutkan alis. “Ada apa?”Tiba-tiba, Frank menariknya agar berjalan lebih cepat. “Kakekku datang. Dia sudah memasuki gerbang utama. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Kita lebih baik menghindar.”Jantung Kara sontak berdegup kencang. Matanya ikut melebar. “Menghindar ke mana?”Tanpa terduga, Frank menariknya masuk ke dalam lemari.“Apakah ini pintu rahasia? Ada jalan keluar dari sini?” bisik Kara sembari memperhatikan bilik kecil yang gelap itu. Lebarnya hanya cukup untuk mereka bergerak sedikit.Dari balik tubuh Kara, Frank sibuk mengembalikan pakaian ke posisi semula. Ia tidak sempat menjawab. Setelah pakaian kembali tertata, ia memutar pundak sekretarisnya itu. “Berbaliklah!”Sedetik kemudian, sebuah p
Frank hampir tertawa melihat kelakuan Kara. Ia tidak tahu mengapa gadis itu begitu bodoh. Sekalipun bor berhasil menembus lemari, benda itu tetap tidak bisa menjangkau mereka.Meski demikian, ia tetap mendekap gadis itu, seolah-olah mata bor harus menembus lengan kekarnya dulu sebelum mencapai punggungnya. Sesekali, ia juga membelai rambut Kara.Kara memiliki tinggi 170 cm, tetapi dalam dekapan Frank Harper, tubuhnya terlihat mungil. Ia kini seperti boneka yang berkedip-kedip menyimak detak jantung pemiliknya.Selang beberapa saat, tidak ada apa pun yang terjadi pada dinding-dinding yang mengelilingi mereka. Para pengawal pun tidak lagi terdengar, hanya suara Rowan yang menggerutu tak jelas.“Cucuku!” Pria tua itu kembali menaikkan volume bicara. “Aku tahu kau pasti bersembunyi di suatu tempat. Jangan merasa menang karena aku tidak akan pergi sebelum kau keluar.”Kekhawatiran Kara kembali melonjak. Berada dalam ruang sempit itu selama 30 menit saja terasa bagaikan seabad, apalagi berj
“Ugh, Kara ....” Frank tertawa kecil. Darahnya telah berdesir semakin cepat. Udara pun memanas. Tangannya tidak lagi mengikuti panduan sang wanita, melainkan bergerak sesuka hatinya, menelusuri setiap lekuk yang menggugah jiwa. "Kau yakin kita tidak akan melakukan ini untuk kedua kalinya? Bagaimana kalau aku mau terus mengulanginya?" Kara menggeleng samar. Telunjuk lentiknya kini dengan manja menelusuri dada sang pria. "Anda sudah punya tunangan, Tuan, dan kakek Anda pasti tidak akan senang." Sedetik kemudian, gadis itu membungkuk dan menggigit telinga sang CEO dengan bibir. "Karena itu, nikmatilah. Aku tidak akan bermurah hati lagi di lain waktu. Ini mungkin saja menjadi momen terakhir kita berdua." Dalam sekejap, keceriaan Frank pudar. Ia tidak bisa lagi merasakan kenikmatan. “Momen terakhir? Apa maksudmu?” “Ini adalah momen perpisahan kita berdua, Tuan. Setelah ini, aku akan menghilang dari kehidupan Anda.” Hati Frank sontak berubah getir. Ia tidak ingin Kara menjauh darin
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum