Sayangnya, ketika Kara hendak menolak, Frank masuk dengan tergesa-gesa. Ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan dan mengakhiri panggilan.“Kara, cepatlah kemari!” perintah Frank sembari menyudutkan pakaian dalam lemari ke satu sisi.Melihat kegelisahan pria itu, Kara mengerutkan alis. “Ada apa?”Tiba-tiba, Frank menariknya agar berjalan lebih cepat. “Kakekku datang. Dia sudah memasuki gerbang utama. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Kita lebih baik menghindar.”Jantung Kara sontak berdegup kencang. Matanya ikut melebar. “Menghindar ke mana?”Tanpa terduga, Frank menariknya masuk ke dalam lemari.“Apakah ini pintu rahasia? Ada jalan keluar dari sini?” bisik Kara sembari memperhatikan bilik kecil yang gelap itu. Lebarnya hanya cukup untuk mereka bergerak sedikit.Dari balik tubuh Kara, Frank sibuk mengembalikan pakaian ke posisi semula. Ia tidak sempat menjawab. Setelah pakaian kembali tertata, ia memutar pundak sekretarisnya itu. “Berbaliklah!”Sedetik kemudian, sebuah p
Frank hampir tertawa melihat kelakuan Kara. Ia tidak tahu mengapa gadis itu begitu bodoh. Sekalipun bor berhasil menembus lemari, benda itu tetap tidak bisa menjangkau mereka.Meski demikian, ia tetap mendekap gadis itu, seolah-olah mata bor harus menembus lengan kekarnya dulu sebelum mencapai punggungnya. Sesekali, ia juga membelai rambut Kara.Kara memiliki tinggi 170 cm, tetapi dalam dekapan Frank Harper, tubuhnya terlihat mungil. Ia kini seperti boneka yang berkedip-kedip menyimak detak jantung pemiliknya.Selang beberapa saat, tidak ada apa pun yang terjadi pada dinding-dinding yang mengelilingi mereka. Para pengawal pun tidak lagi terdengar, hanya suara Rowan yang menggerutu tak jelas.“Cucuku!” Pria tua itu kembali menaikkan volume bicara. “Aku tahu kau pasti bersembunyi di suatu tempat. Jangan merasa menang karena aku tidak akan pergi sebelum kau keluar.”Kekhawatiran Kara kembali melonjak. Berada dalam ruang sempit itu selama 30 menit saja terasa bagaikan seabad, apalagi berj
“Ugh, Kara ....” Frank tertawa kecil. Darahnya telah berdesir semakin cepat. Udara pun memanas. Tangannya tidak lagi mengikuti panduan sang wanita, melainkan bergerak sesuka hatinya, menelusuri setiap lekuk yang menggugah jiwa. "Kau yakin kita tidak akan melakukan ini untuk kedua kalinya? Bagaimana kalau aku mau terus mengulanginya?" Kara menggeleng samar. Telunjuk lentiknya kini dengan manja menelusuri dada sang pria. "Anda sudah punya tunangan, Tuan, dan kakek Anda pasti tidak akan senang." Sedetik kemudian, gadis itu membungkuk dan menggigit telinga sang CEO dengan bibir. "Karena itu, nikmatilah. Aku tidak akan bermurah hati lagi di lain waktu. Ini mungkin saja menjadi momen terakhir kita berdua." Dalam sekejap, keceriaan Frank pudar. Ia tidak bisa lagi merasakan kenikmatan. “Momen terakhir? Apa maksudmu?” “Ini adalah momen perpisahan kita berdua, Tuan. Setelah ini, aku akan menghilang dari kehidupan Anda.” Hati Frank sontak berubah getir. Ia tidak ingin Kara menjauh darin
Jeremy menggeleng samar. "Tidak, Tuan. Saya hanya merasa kasihan padanya. Sebelumnya, dia kesulitan karena Anda. Sekarang, dia terancam oleh kakek Anda." Bibir Frank mengerucut. Kepalanya menggeleng kaku. "Aku tidak pernah mempersulit hidupnya. Dia saja yang terlalu bodoh dan ceroboh. Aku hanya memberikan hukuman yang setimpal," sangkal Frank tegas. Padahal dalam hati, ia menyesal setengah mati. "Jadi sekarang dia di mana, Tuan? Kenapa komputernya tidak menyala?" Frank mengangkat bahu. "Mungkin dia sedang mengurung diri di kamar. Dia habis ditampar Sean. Gadis lemah sepertinya pasti butuh waktu lama untuk memulihkan mental." Wajah Jeremy semakin kusut. Tampak jelas bahwa ada sesuatu yang membebani pikirannya. "Kenapa kau terus menanyakan Kara? Kau khawatir dia terus tersandung masalah? Kau tidak diam-diam menyukainya, kan?” Frank berusaha keras untuk terdengar tidak peduli. Namun, begitu Jeremy menganggukkan kepala, kepalsuannya terkelupas. "Ya, saya khawatir dan kasihan p
“Kalian sudah tidak sabar ingin bersekolah di sana, hmm?” selidik Kara dengan suara yang agak bergetar. Beruntung, si Kembar tidak menangkapnya. Dua balita mungil berpipi gembul itu mengangguk secara bersamaan. “Ya, kudengar, taman bermain di sana canggih. Ada banyak mainan berteknologi tinggi. Aku bisa mengajak teman-teman baruku untuk mencobanya saat jam istirahat nanti.” “Kudengar, perpustakaannya juga keren. Ada banyak karya seni dipajang di lorongnya. Mungkin saja, aku bisa menciptakan sesuatu untuk dipajang di sana nanti.” Kara menggigit bibir dan melebarkan sudutnya. Anak-anak tidak boleh mengetahui kegundahan hatinya. “Mama beruntung sekali. Dua malaikat kecil Mama tidak pernah berhenti membuat Mama bahagia.” “Kami juga beruntung punya Mama yang hebat,” celetuk Louis sambil meninggikan leher. “Benar! Mama tidak pernah membuat kami sedih. Karena itu, kami janji tidak akan membuat Mama bersedih,” lanjut Emily sembari menunjukkan deretan gigi mungilnya. Kara merentangkan
Frank menggertakkan gigi. Dadanya sesak menahan kebenaran yang belum bisa ia ungkapkan sekarang. "Kau pernah menyelamatkanku. Apa salahnya jika aku membalasnya kali ini?" bisiknya, menjaga suara agar tidak keluar dari ruangan. "Kau sudah membalasnya, Tuan, saat aku tersengat lebah. Kita sudah impas." Frank tertawa kecut. "Itu tidak sebanding." "Anggap saja sebanding. Jadi sekarang, kita tidak ada hubungan lagi. Permisi." Sebelum Frank menahannya, Kara berjalan cepat keluar ruangan. Wajahnya agak pucat dan hatinya berdebar. Ia sadar betul, begitu lepas dari cengkeraman Frank, ia memang harus menghadapi segala sesuatunya seorang diri. Demi Louis dan Emily, ia harus menjadi ibu yang tangguh dan pemberani. "Kara!" hardik Frank, berharap gadis itu akan menghentikan langkah. Namun, Kara tidak gentar. Ia mengumpulkan beberapa barang penting dari meja kerjanya lalu pergi. Frank hanya bisa menyaksikan punggungnya menghilang dari balik kaca dengan tangan terkepal erat. "Tuan," panggi
"Hubby? Apa-apaan ini? Aku jauh-jauh datang kemari, membatalkan catwalk demi mengurus pernikahan kita, tapi kamu malah menyambutku seperti ini?" Frank menaikkan alis. Seorang perempuan berpostur tinggi dan langsing baru saja mendorong pintu lebih lebar. Ia mengenakan bodycon dress merah terang yang memperlihatkan pundak mulusnya. Sebuah tas bertabur kristal tergantung di jemari lentiknya. Pantulan cahaya dari sana membuat Frank mengernyitkan dahi. "Kita belum menikah, jadi jangan memanggilku dengan sebutan itu." Sementara Kara mematung dalam kebingungan, Isabela berkedip-kedip tak percaya. "Ada apa denganmu, Hubby? Kita sebentar lagi menikah. Wajar kalau aku memanggilmu begitu. Kamu mau aku tetap memanggilmu Handsome?" Frank mendengus geli. Sikapnya membuat Kara mengerutkan alis, apalagi lengannya yang masih membungkus erat. “Semua panggilan dari mulutmu terdengar buruk,” desahnya tipis. Isabela spontan menggertakkan rahang. Bagaimana mungkin Frank tega bersikap kasar kepadanya
"Tidak," bantah Frank tegas. "Kau hanya mencintai harta dan tahta yang kumiliki. Kau menyetujui perjodohan kita demi memperkuat bisnis keluargamu dan menjadi seorang ratu." Isabela mendengus cepat. Kemudian, tawa datar lolos dari bibirnya. "Lantas, apa kau tidak mau menjadi seorang raja? Menurutmu, kau bisa mempertahankan semua yang kau punya dengan wanita murahan itu di sisimu?" Tiba-tiba, ia mengelus wajah Frank dengan punggung tangannya, mengabaikan Kara yang menyaksikan obrolan mereka tanpa berkedip. "Ayolah, Hubby. Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan. Bersama-sama, kita bisa mengabadikan kesuksesan." "Kau meremehkanku rupanya?" Frank memundurkan kepala dan menurunkan sebelah alis. "Menurutmu, aku tidak bisa bertahan tanpa campur tangan keluargamu?" Raut wajah Isabela seketika berubah datar. Ia lupa bahwa dirinya dan Frank memiliki sifat yang serupa. Mereka sama-sama tidak suka penghinaan. "Bukan begitu, Hubby," tuturnya mendadak manis. "Aku hanya ingin mengingatkan