“Kalian sudah tidak sabar ingin bersekolah di sana, hmm?” selidik Kara dengan suara yang agak bergetar. Beruntung, si Kembar tidak menangkapnya. Dua balita mungil berpipi gembul itu mengangguk secara bersamaan. “Ya, kudengar, taman bermain di sana canggih. Ada banyak mainan berteknologi tinggi. Aku bisa mengajak teman-teman baruku untuk mencobanya saat jam istirahat nanti.” “Kudengar, perpustakaannya juga keren. Ada banyak karya seni dipajang di lorongnya. Mungkin saja, aku bisa menciptakan sesuatu untuk dipajang di sana nanti.” Kara menggigit bibir dan melebarkan sudutnya. Anak-anak tidak boleh mengetahui kegundahan hatinya. “Mama beruntung sekali. Dua malaikat kecil Mama tidak pernah berhenti membuat Mama bahagia.” “Kami juga beruntung punya Mama yang hebat,” celetuk Louis sambil meninggikan leher. “Benar! Mama tidak pernah membuat kami sedih. Karena itu, kami janji tidak akan membuat Mama bersedih,” lanjut Emily sembari menunjukkan deretan gigi mungilnya. Kara merentangkan
Frank menggertakkan gigi. Dadanya sesak menahan kebenaran yang belum bisa ia ungkapkan sekarang. "Kau pernah menyelamatkanku. Apa salahnya jika aku membalasnya kali ini?" bisiknya, menjaga suara agar tidak keluar dari ruangan. "Kau sudah membalasnya, Tuan, saat aku tersengat lebah. Kita sudah impas." Frank tertawa kecut. "Itu tidak sebanding." "Anggap saja sebanding. Jadi sekarang, kita tidak ada hubungan lagi. Permisi." Sebelum Frank menahannya, Kara berjalan cepat keluar ruangan. Wajahnya agak pucat dan hatinya berdebar. Ia sadar betul, begitu lepas dari cengkeraman Frank, ia memang harus menghadapi segala sesuatunya seorang diri. Demi Louis dan Emily, ia harus menjadi ibu yang tangguh dan pemberani. "Kara!" hardik Frank, berharap gadis itu akan menghentikan langkah. Namun, Kara tidak gentar. Ia mengumpulkan beberapa barang penting dari meja kerjanya lalu pergi. Frank hanya bisa menyaksikan punggungnya menghilang dari balik kaca dengan tangan terkepal erat. "Tuan," panggi
"Hubby? Apa-apaan ini? Aku jauh-jauh datang kemari, membatalkan catwalk demi mengurus pernikahan kita, tapi kamu malah menyambutku seperti ini?" Frank menaikkan alis. Seorang perempuan berpostur tinggi dan langsing baru saja mendorong pintu lebih lebar. Ia mengenakan bodycon dress merah terang yang memperlihatkan pundak mulusnya. Sebuah tas bertabur kristal tergantung di jemari lentiknya. Pantulan cahaya dari sana membuat Frank mengernyitkan dahi. "Kita belum menikah, jadi jangan memanggilku dengan sebutan itu." Sementara Kara mematung dalam kebingungan, Isabela berkedip-kedip tak percaya. "Ada apa denganmu, Hubby? Kita sebentar lagi menikah. Wajar kalau aku memanggilmu begitu. Kamu mau aku tetap memanggilmu Handsome?" Frank mendengus geli. Sikapnya membuat Kara mengerutkan alis, apalagi lengannya yang masih membungkus erat. “Semua panggilan dari mulutmu terdengar buruk,” desahnya tipis. Isabela spontan menggertakkan rahang. Bagaimana mungkin Frank tega bersikap kasar kepadanya
"Tidak," bantah Frank tegas. "Kau hanya mencintai harta dan tahta yang kumiliki. Kau menyetujui perjodohan kita demi memperkuat bisnis keluargamu dan menjadi seorang ratu." Isabela mendengus cepat. Kemudian, tawa datar lolos dari bibirnya. "Lantas, apa kau tidak mau menjadi seorang raja? Menurutmu, kau bisa mempertahankan semua yang kau punya dengan wanita murahan itu di sisimu?" Tiba-tiba, ia mengelus wajah Frank dengan punggung tangannya, mengabaikan Kara yang menyaksikan obrolan mereka tanpa berkedip. "Ayolah, Hubby. Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan. Bersama-sama, kita bisa mengabadikan kesuksesan." "Kau meremehkanku rupanya?" Frank memundurkan kepala dan menurunkan sebelah alis. "Menurutmu, aku tidak bisa bertahan tanpa campur tangan keluargamu?" Raut wajah Isabela seketika berubah datar. Ia lupa bahwa dirinya dan Frank memiliki sifat yang serupa. Mereka sama-sama tidak suka penghinaan. "Bukan begitu, Hubby," tuturnya mendadak manis. "Aku hanya ingin mengingatkan
Kara kembali jatuh ke dalam perenungan. Jika ia memilih kabur, ia tidak punya uang ataupun perlindungan. Namun, jika ia memilih tinggal, kesejahteraan dan keselamatannya lebih terjamin. Ia hanya perlu memastikan Frank tidak mengenal si Kembar. "Itu cukup adil. Lalu bagaimana dengan uangmu di rekeningku?" desahnya kemudian. "Sudah kubilang, itu gaji tiga tahunmu. Karena itu, bekerjalah dengan benar. Patuhi semua aturan dan ingat ...." Frank mengacungkan pena. "Selama bekerja denganku, kau harus menjaga jarak dengan pria lain. Kau tidak boleh menggoda mereka, apalagi pergi berdua, termasuk makan bersama." Raut Kara kembali kusut mendengar larangan itu. Sebelum Frank menuangkan poin terakhir ke dalam surat, ia merebut pena lalu menandatangani kertas. "Kau tidak berhak mengatur kehidupan pribadiku. Kesepakatan kita cukup dalam hal pekerjaan." "Tapi kau harus berperan sebagai kekasihku. Bagaimana kau bisa merebut simpati publik kalau kau bertingkah genit?" Kara meringis. "Justru i
"Mama, apakah Mama sudah membeli pensil warna untuk kami?" tanya Emily dengan suara yang menghangatkan hati. "Belum, Madu Kecil. Mama berencana untuk mengajak kalian membelinya besok. Kalian bisa memilih yang mana yang kalian suka." "Benarkah?" Louis melompat dengan tangan yang masih menggenggam erat sang ibu. "Kalau begitu, aku mau yang ada gambar robot atau mobil. Gambar hewan dan lukisan itu sudah biasa." Emily menggembungkan pipi. "Kamu tidak boleh meremehkan kesukaan orang lain, Louis. Itu tidak baik." "Aku tidak meremehkan. Hanya menyuarakan pikiranku saja. Gambar mobil itu lebih keren." Selagi si Kembar berdebat, Kara tersenyum kepada ibunya. "Apakah lancar?" tanya Susan pelan. Lengkung bibir Kara menciut. Ia menggeleng samar. "Bosmu itu plin-plan sekali." Kara terkekeh. Memang hanya dirinya yang mengetahui semua kebenaran. Sang ibu dibiarkan percaya bahwa Frank tidak lebih dari se
Kara menggeleng cepat. Ia berusaha meloloskan tawa, tetapi lehernya malah tercekik dan mengeluarkan bunyi aneh. "Imajinasimu tinggi sekali, Jeremy. Kau berbakat menulis novel. Frank dan aku tidak mungkin tidur bersama. Melihat mukaku saja dia jijik." "Apa Nona lupa? Tuan beberapa kali menanyakan apakah kalian pernah bertemu. Dia pasti merasa familiar dengan Anda." Kara cepat-cepat mengibaskan tangan. "Mukaku ini pasaran. Banyak orang mirip denganku. Tuan Muda Harper pasti salah mengira." "Tapi Anda langsung marah-marah padanya di hari pertama bekerja. Anda pasti menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam waktu yang lama." "Itu karena aku sudah mendengar dari Nyonya Bell kalau CEO Savior Group adalah orang yang menyebalkan dan semena-mena. Jadi, ketika dia menghinaku, aku langsung naik darah." Kara mengangguk-angguk, berharap Jeremy mau menerima sanggahan. Akan tetapi, pria itu tersenyum seolah tahu itu adalah alasan yang d
"Kau sudah tidak waras, hmm? Kau rela mengorbankan masa depan demi seorang gadis yang tidak punya apa-apa? Haruskah aku menggunakan ancaman agar kau sadar?" Rowan menggeleng dengan mata terbelalak. Tanpa terduga, Frank malah meninggikan dagunya. "Memangnya apa yang bisa Kakek ambil dariku? Kebebasan? Kakek sudah mengambilnya sejak dulu. Perusahaan? Aku otaknya. Tanpa aku, Savior akan mati." Mendengar gertakan sang cucu, napas Rowan semakin menderu. Namun, itulah kenyataannya. Tidak ada yang bisa ia ambil dari Frank ... selain sang sekretaris. "Kau sangat mencintai perempuan itu, bukan? Bagaimana kalau aku mengambilnya darimu?" Raut Frank sontak berubah gelap. Tangannya pun terkepal semakin erat. "Tolong jangan menguji kesabaranku, Kek," ucapnya dengan nada rendah. Berhasil memberikan tekanan, Rowan tertawa kecil. "Kau menggertak balik?" "Jika Kakek berani mengusik Kara, jangan salahkan aku jika Savior runtuh."