Jeng jeng jeeng .... Siapakah yang datang? Tunggu bab selanjutnya yaa. Btw, kalau kalian dapet 7,2M kalian mau apain itu duit?
"Hubby? Apa-apaan ini? Aku jauh-jauh datang kemari, membatalkan catwalk demi mengurus pernikahan kita, tapi kamu malah menyambutku seperti ini?" Frank menaikkan alis. Seorang perempuan berpostur tinggi dan langsing baru saja mendorong pintu lebih lebar. Ia mengenakan bodycon dress merah terang yang memperlihatkan pundak mulusnya. Sebuah tas bertabur kristal tergantung di jemari lentiknya. Pantulan cahaya dari sana membuat Frank mengernyitkan dahi. "Kita belum menikah, jadi jangan memanggilku dengan sebutan itu." Sementara Kara mematung dalam kebingungan, Isabela berkedip-kedip tak percaya. "Ada apa denganmu, Hubby? Kita sebentar lagi menikah. Wajar kalau aku memanggilmu begitu. Kamu mau aku tetap memanggilmu Handsome?" Frank mendengus geli. Sikapnya membuat Kara mengerutkan alis, apalagi lengannya yang masih membungkus erat. “Semua panggilan dari mulutmu terdengar buruk,” desahnya tipis. Isabela spontan menggertakkan rahang. Bagaimana mungkin Frank tega bersikap kasar kepadanya
"Tidak," bantah Frank tegas. "Kau hanya mencintai harta dan tahta yang kumiliki. Kau menyetujui perjodohan kita demi memperkuat bisnis keluargamu dan menjadi seorang ratu." Isabela mendengus cepat. Kemudian, tawa datar lolos dari bibirnya. "Lantas, apa kau tidak mau menjadi seorang raja? Menurutmu, kau bisa mempertahankan semua yang kau punya dengan wanita murahan itu di sisimu?" Tiba-tiba, ia mengelus wajah Frank dengan punggung tangannya, mengabaikan Kara yang menyaksikan obrolan mereka tanpa berkedip. "Ayolah, Hubby. Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan. Bersama-sama, kita bisa mengabadikan kesuksesan." "Kau meremehkanku rupanya?" Frank memundurkan kepala dan menurunkan sebelah alis. "Menurutmu, aku tidak bisa bertahan tanpa campur tangan keluargamu?" Raut wajah Isabela seketika berubah datar. Ia lupa bahwa dirinya dan Frank memiliki sifat yang serupa. Mereka sama-sama tidak suka penghinaan. "Bukan begitu, Hubby," tuturnya mendadak manis. "Aku hanya ingin mengingatkan
Kara kembali jatuh ke dalam perenungan. Jika ia memilih kabur, ia tidak punya uang ataupun perlindungan. Namun, jika ia memilih tinggal, kesejahteraan dan keselamatannya lebih terjamin. Ia hanya perlu memastikan Frank tidak mengenal si Kembar. "Itu cukup adil. Lalu bagaimana dengan uangmu di rekeningku?" desahnya kemudian. "Sudah kubilang, itu gaji tiga tahunmu. Karena itu, bekerjalah dengan benar. Patuhi semua aturan dan ingat ...." Frank mengacungkan pena. "Selama bekerja denganku, kau harus menjaga jarak dengan pria lain. Kau tidak boleh menggoda mereka, apalagi pergi berdua, termasuk makan bersama." Raut Kara kembali kusut mendengar larangan itu. Sebelum Frank menuangkan poin terakhir ke dalam surat, ia merebut pena lalu menandatangani kertas. "Kau tidak berhak mengatur kehidupan pribadiku. Kesepakatan kita cukup dalam hal pekerjaan." "Tapi kau harus berperan sebagai kekasihku. Bagaimana kau bisa merebut simpati publik kalau kau bertingkah genit?" Kara meringis. "Justru i
"Mama, apakah Mama sudah membeli pensil warna untuk kami?" tanya Emily dengan suara yang menghangatkan hati. "Belum, Madu Kecil. Mama berencana untuk mengajak kalian membelinya besok. Kalian bisa memilih yang mana yang kalian suka." "Benarkah?" Louis melompat dengan tangan yang masih menggenggam erat sang ibu. "Kalau begitu, aku mau yang ada gambar robot atau mobil. Gambar hewan dan lukisan itu sudah biasa." Emily menggembungkan pipi. "Kamu tidak boleh meremehkan kesukaan orang lain, Louis. Itu tidak baik." "Aku tidak meremehkan. Hanya menyuarakan pikiranku saja. Gambar mobil itu lebih keren." Selagi si Kembar berdebat, Kara tersenyum kepada ibunya. "Apakah lancar?" tanya Susan pelan. Lengkung bibir Kara menciut. Ia menggeleng samar. "Bosmu itu plin-plan sekali." Kara terkekeh. Memang hanya dirinya yang mengetahui semua kebenaran. Sang ibu dibiarkan percaya bahwa Frank tidak lebih dari se
Kara menggeleng cepat. Ia berusaha meloloskan tawa, tetapi lehernya malah tercekik dan mengeluarkan bunyi aneh. "Imajinasimu tinggi sekali, Jeremy. Kau berbakat menulis novel. Frank dan aku tidak mungkin tidur bersama. Melihat mukaku saja dia jijik." "Apa Nona lupa? Tuan beberapa kali menanyakan apakah kalian pernah bertemu. Dia pasti merasa familiar dengan Anda." Kara cepat-cepat mengibaskan tangan. "Mukaku ini pasaran. Banyak orang mirip denganku. Tuan Muda Harper pasti salah mengira." "Tapi Anda langsung marah-marah padanya di hari pertama bekerja. Anda pasti menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam waktu yang lama." "Itu karena aku sudah mendengar dari Nyonya Bell kalau CEO Savior Group adalah orang yang menyebalkan dan semena-mena. Jadi, ketika dia menghinaku, aku langsung naik darah." Kara mengangguk-angguk, berharap Jeremy mau menerima sanggahan. Akan tetapi, pria itu tersenyum seolah tahu itu adalah alasan yang d
"Kau sudah tidak waras, hmm? Kau rela mengorbankan masa depan demi seorang gadis yang tidak punya apa-apa? Haruskah aku menggunakan ancaman agar kau sadar?" Rowan menggeleng dengan mata terbelalak. Tanpa terduga, Frank malah meninggikan dagunya. "Memangnya apa yang bisa Kakek ambil dariku? Kebebasan? Kakek sudah mengambilnya sejak dulu. Perusahaan? Aku otaknya. Tanpa aku, Savior akan mati." Mendengar gertakan sang cucu, napas Rowan semakin menderu. Namun, itulah kenyataannya. Tidak ada yang bisa ia ambil dari Frank ... selain sang sekretaris. "Kau sangat mencintai perempuan itu, bukan? Bagaimana kalau aku mengambilnya darimu?" Raut Frank sontak berubah gelap. Tangannya pun terkepal semakin erat. "Tolong jangan menguji kesabaranku, Kek," ucapnya dengan nada rendah. Berhasil memberikan tekanan, Rowan tertawa kecil. "Kau menggertak balik?" "Jika Kakek berani mengusik Kara, jangan salahkan aku jika Savior runtuh."
Saat kedua balita itu memasuki aula, tamu yang lain langsung tertarik pada mereka. Louis mengenakan setelan biru, sedangkan Emily mengenakan gaun merah jambu lengkap dengan mahkota. Mereka sangat menggemaskan dengan kacamata hitam dan tas ransel yang bergambar mobil-mobilan dan bunga. Rowan pernah menganggap Louis dan Emily sangat lucu. Namun, sejak mengetahui kebenaran, ia langsung mengubah pemikirannya.Senyum ramah benar-benar lenyap dari wajahnya. "Emily, lihat! Itu kakek baik hati yang memberi kita beasiswa," bisik Louis setelah mengamati suasana sejenak. Emily pun menoleh ke arah pria tua bertampang cemberut yang duduk di sofa dekat panggung. "Benar. Haruskah kita memberikan hadiahnya sekarang?" Louis mengangguk sigap. Mereka berdua pun kompak membuka tas ransel. Setelah mengeluarkan selembar kertas, mereka berjalan menghampiri Rowan. Namun, dua meter dari sofa, langkah mereka dihentikan oleh Sean."Ba
Kara menoleh. Sesuai dugaan, Rowan memang mendatanginya. Ia yakin, pria tua itu telah mengetahui semuanya. "Terima kasih, Tuan Besar Harper. Mereka memang kebanggaan saya." Mengamati ketenangan Kara dalam menghadapinya, Rowan menurunkan sebelah alis. Bukankah gadis itu seharusnya panik karena identitasnya terbongkar? Namun, sebelum Rowan melontarkan pertanyaan, Kara lebih dulu menyela dengan ekspresi santai,"Tuan Harper, apakah Anda punya sedikit waktu? Ada yang harus saya bicarakan dengan Anda." "Bicarakan saja," sahut Rowan seolah tak acuh. Kara pun menjauh dari keramaian. Matanya sesekali mengawasi si Kembar. "Sekarang karena Anda sudah tahu bahwa saya seorang ibu tunggal, apakah Anda masih percaya bahwa cucu Anda bisa menyukai saya?" Rowan bergeming. Ia menduga-duga ke mana arah pembicaraan yang Kara setir. "Hubungan kami tidak seperti yang Anda bayangkan. Tuan Muda hanya memanfaatkan k