"Mama, apakah Mama sudah membeli pensil warna untuk kami?" tanya Emily dengan suara yang menghangatkan hati. "Belum, Madu Kecil. Mama berencana untuk mengajak kalian membelinya besok. Kalian bisa memilih yang mana yang kalian suka." "Benarkah?" Louis melompat dengan tangan yang masih menggenggam erat sang ibu. "Kalau begitu, aku mau yang ada gambar robot atau mobil. Gambar hewan dan lukisan itu sudah biasa." Emily menggembungkan pipi. "Kamu tidak boleh meremehkan kesukaan orang lain, Louis. Itu tidak baik." "Aku tidak meremehkan. Hanya menyuarakan pikiranku saja. Gambar mobil itu lebih keren." Selagi si Kembar berdebat, Kara tersenyum kepada ibunya. "Apakah lancar?" tanya Susan pelan. Lengkung bibir Kara menciut. Ia menggeleng samar. "Bosmu itu plin-plan sekali." Kara terkekeh. Memang hanya dirinya yang mengetahui semua kebenaran. Sang ibu dibiarkan percaya bahwa Frank tidak lebih dari se
Kara menggeleng cepat. Ia berusaha meloloskan tawa, tetapi lehernya malah tercekik dan mengeluarkan bunyi aneh. "Imajinasimu tinggi sekali, Jeremy. Kau berbakat menulis novel. Frank dan aku tidak mungkin tidur bersama. Melihat mukaku saja dia jijik." "Apa Nona lupa? Tuan beberapa kali menanyakan apakah kalian pernah bertemu. Dia pasti merasa familiar dengan Anda." Kara cepat-cepat mengibaskan tangan. "Mukaku ini pasaran. Banyak orang mirip denganku. Tuan Muda Harper pasti salah mengira." "Tapi Anda langsung marah-marah padanya di hari pertama bekerja. Anda pasti menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam waktu yang lama." "Itu karena aku sudah mendengar dari Nyonya Bell kalau CEO Savior Group adalah orang yang menyebalkan dan semena-mena. Jadi, ketika dia menghinaku, aku langsung naik darah." Kara mengangguk-angguk, berharap Jeremy mau menerima sanggahan. Akan tetapi, pria itu tersenyum seolah tahu itu adalah alasan yang d
"Kau sudah tidak waras, hmm? Kau rela mengorbankan masa depan demi seorang gadis yang tidak punya apa-apa? Haruskah aku menggunakan ancaman agar kau sadar?" Rowan menggeleng dengan mata terbelalak. Tanpa terduga, Frank malah meninggikan dagunya. "Memangnya apa yang bisa Kakek ambil dariku? Kebebasan? Kakek sudah mengambilnya sejak dulu. Perusahaan? Aku otaknya. Tanpa aku, Savior akan mati." Mendengar gertakan sang cucu, napas Rowan semakin menderu. Namun, itulah kenyataannya. Tidak ada yang bisa ia ambil dari Frank ... selain sang sekretaris. "Kau sangat mencintai perempuan itu, bukan? Bagaimana kalau aku mengambilnya darimu?" Raut Frank sontak berubah gelap. Tangannya pun terkepal semakin erat. "Tolong jangan menguji kesabaranku, Kek," ucapnya dengan nada rendah. Berhasil memberikan tekanan, Rowan tertawa kecil. "Kau menggertak balik?" "Jika Kakek berani mengusik Kara, jangan salahkan aku jika Savior runtuh."
Saat kedua balita itu memasuki aula, tamu yang lain langsung tertarik pada mereka. Louis mengenakan setelan biru, sedangkan Emily mengenakan gaun merah jambu lengkap dengan mahkota. Mereka sangat menggemaskan dengan kacamata hitam dan tas ransel yang bergambar mobil-mobilan dan bunga. Rowan pernah menganggap Louis dan Emily sangat lucu. Namun, sejak mengetahui kebenaran, ia langsung mengubah pemikirannya.Senyum ramah benar-benar lenyap dari wajahnya. "Emily, lihat! Itu kakek baik hati yang memberi kita beasiswa," bisik Louis setelah mengamati suasana sejenak. Emily pun menoleh ke arah pria tua bertampang cemberut yang duduk di sofa dekat panggung. "Benar. Haruskah kita memberikan hadiahnya sekarang?" Louis mengangguk sigap. Mereka berdua pun kompak membuka tas ransel. Setelah mengeluarkan selembar kertas, mereka berjalan menghampiri Rowan. Namun, dua meter dari sofa, langkah mereka dihentikan oleh Sean."Ba
Kara menoleh. Sesuai dugaan, Rowan memang mendatanginya. Ia yakin, pria tua itu telah mengetahui semuanya. "Terima kasih, Tuan Besar Harper. Mereka memang kebanggaan saya." Mengamati ketenangan Kara dalam menghadapinya, Rowan menurunkan sebelah alis. Bukankah gadis itu seharusnya panik karena identitasnya terbongkar? Namun, sebelum Rowan melontarkan pertanyaan, Kara lebih dulu menyela dengan ekspresi santai,"Tuan Harper, apakah Anda punya sedikit waktu? Ada yang harus saya bicarakan dengan Anda." "Bicarakan saja," sahut Rowan seolah tak acuh. Kara pun menjauh dari keramaian. Matanya sesekali mengawasi si Kembar. "Sekarang karena Anda sudah tahu bahwa saya seorang ibu tunggal, apakah Anda masih percaya bahwa cucu Anda bisa menyukai saya?" Rowan bergeming. Ia menduga-duga ke mana arah pembicaraan yang Kara setir. "Hubungan kami tidak seperti yang Anda bayangkan. Tuan Muda hanya memanfaatkan k
"Jadi, bagaimana kalau aku mentraktir kalian makan siang? Prestasi kalian tentu harus dirayakan,” ucap Ben ringan. Mendengar ide tersebut, Kara menggeleng sopan. Ia sadar bahwa Ben Wilson memang menyukainya dan sedang berusaha menarik perhatiannya lewat anak-anak. Ia sedang tidak ingin dekat dengan pria mana pun. "Terima kasih, Tuan Wilson. Tapi, kedatangan Anda kemari saja sudah lebih dari cukup untuk membuat Louis dan Emily senang." Louis diam-diam kecewa. Ia heran mengapa ibunya menolak makanan gratis di restoran mahal. Meskipun begitu, kepalanya tetap mengangguk, mengikuti Emily untuk mendukung ucapan Kara. "Oh, tolong jangan sungkan. Aku terlambat menyimak berita. Begitu menemukan nama Louis dan Emily dalam daftar, aku langsung ke sini. Tapi ternyata, acaranya sudah selesai. Aku tidak sempat menyaksikan kebahagiaan Louis dan Emily di atas panggung." Melihat kesungguhan Ben, Kara pun terdiam. Ia kini merasa tidak nyaman menolak ajakannya. Apalagi, Louis menatapnya dengan p
Kara masih berusaha untuk bersikap sopan. Dengan gerak lambat, ia menurunkan tangannya ke pangkuan. "Terima kasih, Tuan Wilson. Tapi—" "Kalau kau takut berutang budi, kau bisa membayarnya dengan membantuku," sela Ben sambil menaikkan alis. Kara terdiam sejenak. "Bantuan apa yang Anda butuhkan?" Mendengar nada bingung Kara yang lucu, senyum Ben melebar. "Aku sedang mengembangkan bisnis baru di bidang parfum. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin kau membantuku menguji sampel besok. Bukankah Frank pernah mengajakmu menyaksikan uji coba? Kurasa kau sudah berpengalaman dalam uji-menguji." Sudut bibir Kara berkedut."Bukan menyaksikan lagi, tapi menjadi kelinci percobaannya." "Baiklah, itu cukup adil," angguknya kemudian. Ben pun mendesah lega. Ia senang Kara akhirnya membuka jalan yang lebih lebar untuknya. Usai bersenang-senang dengan Kara dan si Kembar, mengantarkan merek
Rowan menaikkan sebelah alis. Ia membaca sorot mata Sean yang dingin itu. Ada ancaman serius di dalamnya. "Apa?" "Pada malam skandal itu berlangsung, Tuan Muda sedang berada di hotel yang sama." Mata Rowan hampir melompat dari rongganya. Paru-parunya mendadak penuh dengan kecurigaan yang semakin pekat. Sejak melihat Louis tanpa kacamata hitam, ia terus dihantui oleh sosok Frank kecil. Informasi dari Sean membuat kemungkinan itu lebih jelas. "Apa kau sudah mendapatkan foto rekan kerjanya itu?" Sean meletakkan ponselnya di atas meja. Rowan pun segera memperhatikan. Seorang pria berambut cokelat dengan warna mata senada terpampang pada layar. Tidak satu pun garis wajahnya serupa dengan Louis atau Emily. "Apa ada informasi lain?" Rowan telah berkeringat dingin. "Saat video skandal itu viral, Kara menyangkal dengan tegas bahwa dia tidak tidur dengan laki-laki ini." "Berarti ada orang lain? Itu b