Kara masih berusaha untuk bersikap sopan. Dengan gerak lambat, ia menurunkan tangannya ke pangkuan. "Terima kasih, Tuan Wilson. Tapi—" "Kalau kau takut berutang budi, kau bisa membayarnya dengan membantuku," sela Ben sambil menaikkan alis. Kara terdiam sejenak. "Bantuan apa yang Anda butuhkan?" Mendengar nada bingung Kara yang lucu, senyum Ben melebar. "Aku sedang mengembangkan bisnis baru di bidang parfum. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin kau membantuku menguji sampel besok. Bukankah Frank pernah mengajakmu menyaksikan uji coba? Kurasa kau sudah berpengalaman dalam uji-menguji." Sudut bibir Kara berkedut."Bukan menyaksikan lagi, tapi menjadi kelinci percobaannya." "Baiklah, itu cukup adil," angguknya kemudian. Ben pun mendesah lega. Ia senang Kara akhirnya membuka jalan yang lebih lebar untuknya. Usai bersenang-senang dengan Kara dan si Kembar, mengantarkan merek
Rowan menaikkan sebelah alis. Ia membaca sorot mata Sean yang dingin itu. Ada ancaman serius di dalamnya. "Apa?" "Pada malam skandal itu berlangsung, Tuan Muda sedang berada di hotel yang sama." Mata Rowan hampir melompat dari rongganya. Paru-parunya mendadak penuh dengan kecurigaan yang semakin pekat. Sejak melihat Louis tanpa kacamata hitam, ia terus dihantui oleh sosok Frank kecil. Informasi dari Sean membuat kemungkinan itu lebih jelas. "Apa kau sudah mendapatkan foto rekan kerjanya itu?" Sean meletakkan ponselnya di atas meja. Rowan pun segera memperhatikan. Seorang pria berambut cokelat dengan warna mata senada terpampang pada layar. Tidak satu pun garis wajahnya serupa dengan Louis atau Emily. "Apa ada informasi lain?" Rowan telah berkeringat dingin. "Saat video skandal itu viral, Kara menyangkal dengan tegas bahwa dia tidak tidur dengan laki-laki ini." "Berarti ada orang lain? Itu b
Saat Kara baru menutup pintu apartemen, sebuah pesan masuk ke ponselnya. “Kara, apakah besok malam kau senggang? Bagaimana kalau kau membantuku? Aku bisa menjemputmu.” Kara termenung. Ia belum bisa menentukan keputusan mana yang lebih bijak. Ia pun menyimpan kembali ponselnya dan pergi ke kamar si Kembar. Ia perlu mencari hiburan. Kara mengintip dari celah pintu. Si Kembar ternyata sedang berbincang santai. Louis terlihat asyik dengan mobil-mobilan transformer barunya, sedangkan Emily sibuk menata koleksi buku barunya. Kara diam-diam tersenyum mengamati mereka. “Ya, aku juga suka makanan di restoran itu. Tapi, jika dibandingkan, pancake yang kamu pesan lebih enak dari steak yang aku makan. Aku seharusnya memesan itu juga,” gumam Louis dengan kepala tertunduk. Jemarinya bergerak lincah mengubah bentuk mobil menjadi robot. “Kenapa kamu tidak bilang saat itu juga? Aku bisa membagikan setengahnya untukmu, atau ... Tuan Wilson mungkin saja memesan satu porsi lagi untukmu. Dia kaya da
Jeremy bungkam. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang mampu meredam kecemburuan dalam hati tuannya. “Lalu sekarang, apakah mereka masih bersama?” selidik Frank dengan nada sinis. “Tidak, Tuan. Nona Martin langsung ke apartemennya setelah dari mal.” Frank mendengus. “Perempuan itu memang tidak tahu diri. Aku sedang berusaha melindunginya dari kakekku, tapi dia malah bersikap seenaknya.” “Nona Martin tidak tahu bahwa Anda diam-diam melindunginya, Tuan. Bukankah Anda mengirim saya secara rahasia?” celetuk Jeremy ringan. Ia hafal nada bicara itu—Frank Harper yang berusaha menutupi perasaannya walaupun sudah mengeluarkan asap. “Ya, memang,” jawab Frank singkat. “Apakah Anda cemburu?” Decak kesal langsung terdengar. “Sudahlah! Aku malas kalau kau sudah mengeluarkan omong kosong itu. Aku lebih baik berendam di dalam bak.” Telepon pun terputus. Sudut bibir Jeremy terangkat lebih tinggi. “Sepanas itukah api cemburu? Dia samp
"Bagaimana denganmu, Tuan Putri? Kamu mau ikut juga?" tawar Ben sambil mengulurkan tangannya kepada Emily. Anak perempuan itu menggeleng sopan. "Tidak, Tuan Wilson. Hanya ada dua kursi di mobilmu. Aku tidak mau membahayakan keselamatan. Lagi pula, aku lebih suka Pagani yang pintunya mirip sayap ketika terbuka." Ben terkesima dengan jawaban itu. "Oh, kamu lebih suka Gullwing?" Emily mengangguk lucu. Kemudian, sambil menggandeng tangan Kara, ia menyaksikan mobil melaju membawa saudara kembarnya pergi. "Ini gawat," gumam Jeremy yang tidak biasanya khawatir. "Ben Wilson sudah berada jauh di depan. Dia bisa saja merebut hati Kara. Tuan jelas tertinggal." Sekali lagi, sang asisten mengamati Kara. Perempuan itu mengenakan gaun biru sederhana yang membuat kulit bersihnya lebih bersinar. Ia tidak mengenakan riasan dan rambutnya dibiarkan tergerai menutupi pundak. Namun, kesederhanaan itu malah menonjolkan kecantikan alaminya.
Kara mengernyitkan dahi dan berkedip. “Sulit dijelaskan, tapi saya merasa ini seperti aroma di dalam kelas. Apakah ini aroma khas guru?” Sang pelayan menunjukkan label pada botol. Ben langsung tersenyum puas. “Benar. Bagaimana dengan yang ini?” Sang pelayan menyodorkan kertas lain. “Wah ....” Kara berdecak kagum. “Bagaimana kalian bisa membuatnya sespesifik ini? Anda benar-benar jenius, Tuan Wilson. Ini seperti pegawai bank.” Senyum Ben pun semakin lebar. “Ini hasil penelitian dan survei selama bertahun-tahun. Tertarik untuk melanjutkan?” Kara mengangguk antusias. Setelah mengendus kertas ketiga, ia menghela napas tak percaya. “Aroma ini membuat saya merasa seperti sedang menyaksikan seorang barista beraksi di kafenya.” Kara selalu menyukai sesuatu yang baru dan unik. Tak heran jika matanya berbinar. Namun, ketika ia memeriksa aroma keempat, senyumnya memudar. Ia menatap sang pelayan heran. “Sepertinya, Anda belum menyemprot yang ini, Nona.” Sang pelayan pun menyemprot kertas
“Sadarlah, Tuan Wilson. Yang kau lakukan ini salah!” pekik Kara sambil mencoba untuk menendang. Sayangnya, gaunnya tertimpa oleh lutut Ben. Geraknya sangat terbatas. “Ayolah, Kara ... berhentilah melawan. Biarkan obat yang mengalir dalam darah kita bereaksi dengan sempurna. Aku tidak akan kasar, dan jangan lupa kalau aku akan bertanggung jawab.” Kara terus memberontak. Ia bisa merasakan darahnya berdesir dan debar jantungnya yang menggila. Namun, ia tidak mau kalah. “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku tidak mau membuat anak-anakku malu.” Kara terpejam erat, berusaha menyingkirkan bayangan kotor dari benaknya. Ia tidak ingin terjebak dilema karena jelas, apa yang diinginkan oleh tubuhnya sangat bertentangan dengan hati dan logika. Tiba-tiba, pintu terbuka lebar. Kara spontan menoleh dengan mata terbelalak. Begitu mendapati Frank berdiri di sana dengan tangan terkepal erat, ia mendesah lega. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur melihat
“Tolong jangan bunuh aku .... Biarkan aku pergi. Aku bersumpah tidak akan muncul di hadapanmu lagi,” rintih Kara di sela desah napasnya. Senyum Frank berubah kecut. Ia kini mengerti mengapa Kara menyembunyikan identitasnya. Gadis itu benar-benar takut padanya. “Apakah yang tadi itu sakit?” Kara menelan ludah. Tanpa berpikir panjang, ia menggeleng. Otaknya hanya mampu menyampaikan kejujuran. “Bagus.” Kara mengerutkan alis. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud dari gumaman itu. “Mulai detik ini, jangan pernah mendekati pria lain selain aku. Dan sekali lagi kau membantah ucapanku,” suara Frank mendadak lembut, “aku tidak akan segan mematahkan lehermu.” Kara tidak mengerti apakah itu ancaman atau peringatan halus. Yang lebih membingungkan, mengapa ucapan Frank bertentangan dengan yang dulu? Tiba-tiba, ibu jari Frank mengelus pipi Kara. “Sekarang, apakah kau masih takut?” Rasa tidak nyaman dalam tubuhnya mendadak