"Bagaimana denganmu, Tuan Putri? Kamu mau ikut juga?" tawar Ben sambil mengulurkan tangannya kepada Emily.
Anak perempuan itu menggeleng sopan. "Tidak, Tuan Wilson. Hanya ada dua kursi di mobilmu. Aku tidak mau membahayakan keselamatan. Lagi pula, aku lebih suka Pagani yang pintunya mirip sayap ketika terbuka."
Ben terkesima dengan jawaban itu. "Oh, kamu lebih suka Gullwing?"
Emily mengangguk lucu. Kemudian, sambil menggandeng tangan Kara, ia menyaksikan mobil melaju membawa saudara kembarnya pergi.
"Ini gawat," gumam Jeremy yang tidak biasanya khawatir. "Ben Wilson sudah berada jauh di depan. Dia bisa saja merebut hati Kara. Tuan jelas tertinggal."
Sekali lagi, sang asisten mengamati Kara. Perempuan itu mengenakan gaun biru sederhana yang membuat kulit bersihnya lebih bersinar. Ia tidak mengenakan riasan dan rambutnya dibiarkan tergerai menutupi pundak. Namun, kesederhanaan itu malah menonjolkan kecantikan alaminya.
Kara mengernyitkan dahi dan berkedip. “Sulit dijelaskan, tapi saya merasa ini seperti aroma di dalam kelas. Apakah ini aroma khas guru?” Sang pelayan menunjukkan label pada botol. Ben langsung tersenyum puas. “Benar. Bagaimana dengan yang ini?” Sang pelayan menyodorkan kertas lain. “Wah ....” Kara berdecak kagum. “Bagaimana kalian bisa membuatnya sespesifik ini? Anda benar-benar jenius, Tuan Wilson. Ini seperti pegawai bank.” Senyum Ben pun semakin lebar. “Ini hasil penelitian dan survei selama bertahun-tahun. Tertarik untuk melanjutkan?” Kara mengangguk antusias. Setelah mengendus kertas ketiga, ia menghela napas tak percaya. “Aroma ini membuat saya merasa seperti sedang menyaksikan seorang barista beraksi di kafenya.” Kara selalu menyukai sesuatu yang baru dan unik. Tak heran jika matanya berbinar. Namun, ketika ia memeriksa aroma keempat, senyumnya memudar. Ia menatap sang pelayan heran. “Sepertinya, Anda belum menyemprot yang ini, Nona.” Sang pelayan pun menyemprot kertas
“Sadarlah, Tuan Wilson. Yang kau lakukan ini salah!” pekik Kara sambil mencoba untuk menendang. Sayangnya, gaunnya tertimpa oleh lutut Ben. Geraknya sangat terbatas. “Ayolah, Kara ... berhentilah melawan. Biarkan obat yang mengalir dalam darah kita bereaksi dengan sempurna. Aku tidak akan kasar, dan jangan lupa kalau aku akan bertanggung jawab.” Kara terus memberontak. Ia bisa merasakan darahnya berdesir dan debar jantungnya yang menggila. Namun, ia tidak mau kalah. “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku tidak mau membuat anak-anakku malu.” Kara terpejam erat, berusaha menyingkirkan bayangan kotor dari benaknya. Ia tidak ingin terjebak dilema karena jelas, apa yang diinginkan oleh tubuhnya sangat bertentangan dengan hati dan logika. Tiba-tiba, pintu terbuka lebar. Kara spontan menoleh dengan mata terbelalak. Begitu mendapati Frank berdiri di sana dengan tangan terkepal erat, ia mendesah lega. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur melihat
“Tolong jangan bunuh aku .... Biarkan aku pergi. Aku bersumpah tidak akan muncul di hadapanmu lagi,” rintih Kara di sela desah napasnya. Senyum Frank berubah kecut. Ia kini mengerti mengapa Kara menyembunyikan identitasnya. Gadis itu benar-benar takut padanya. “Apakah yang tadi itu sakit?” Kara menelan ludah. Tanpa berpikir panjang, ia menggeleng. Otaknya hanya mampu menyampaikan kejujuran. “Bagus.” Kara mengerutkan alis. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud dari gumaman itu. “Mulai detik ini, jangan pernah mendekati pria lain selain aku. Dan sekali lagi kau membantah ucapanku,” suara Frank mendadak lembut, “aku tidak akan segan mematahkan lehermu.” Kara tidak mengerti apakah itu ancaman atau peringatan halus. Yang lebih membingungkan, mengapa ucapan Frank bertentangan dengan yang dulu? Tiba-tiba, ibu jari Frank mengelus pipi Kara. “Sekarang, apakah kau masih takut?” Rasa tidak nyaman dalam tubuhnya mendadak
“Aku sudah memberimu peringatan sebanyak tiga kali, tapi kau tidak mau lepas dariku. Apakah kau lebih senang jika melampiaskannya bersama pria lain?” tanya Frank datar. Kara menggeleng kaku. “Kalau begitu, hapuslah penyesalanmu. Bukan dirimu yang bersalah, tapi laki-laki bejat itu.” Kara terpejam meratapi harga dirinya yang jatuh. Ia kesal pada diri sendiri. Ia seharusnya lebih berhati-hati, bukan malah terjerumus ke lubang yang sama. “Kau tidak perlu malu, Kara. Kita melakukannya karena keadaan darurat.” Pernyataan itu bukannya menghibur, justru malah membuat Kara semakin terpuruk. “Kau senang telah mengubahku menjadi perempuan murahan sungguhan, hmm?” “Kenapa kau berkata begitu?” sela Frank dengan nada tak senang. “Aku tidur dengan laki-laki yang akan segera menikah,” rintih Kara sembari menumpahkan air mata. Ia sadar bahwa rencana B-nya juga telah hancur. Rowan Harper tidak mungkin membiarkannya lolos lagi. Sekarang ia bingung bagaimana harus melindungi si Kembar. Semua pin
“Baiklah, aku janji tidak akan mempermainkanmu lagi. Aku tidak akan memberimu tugas yang aneh-aneh ataupun menjadikanmu bahan tertawaan, dan kau tidak perlu menjadi pelayanku lagi. Aku janji.” Frank mengangguk yakin. Akan tetapi, Kara menarik napas berat. Ia tidak butuh kata-kata manis itu. “Sekarang juga, buka pintu!” “Tidak,” tolak Frank tanpa berpikir panjang. “Tidak, sebelum kau menyepakati permintaanku. Berjanjilah untuk tetap berada di sisiku.” Kara menghela napas tak percaya. “Kau gila?” “Ya, aku memang sudah gila! Sejak kau membuatku jatuh hati padamu, aku mulai tidak waras. Apakah kau masih tidak paham juga?” Suara Frank bergema, menggetarkan hati Kara. Gadis itu harus mengepalkan tangan demi mengukuhkan niatnya. “Aku tidak memintamu untuk mencintaiku. Aku hanya ingin bebas darimu,” tegasnya. “Tapi kau sudah terikat denganku. Kau bahkan sudah menandatangani kontrak, Kara. Kau ingin aku memasukkanmu ke dalam pen
Meski fokusnya tetap tertuju pada jalan, Jeremy ikut menggerakkan alis. “Apa yang Tuan katakan tentang pengawal kesepuluh?” “Dia bilang, ada satu pengawal lagi yang mengawasi secara diam-diam. Dia yang terhebat dan hanya muncul saat benar-benar dibutuhkan,” terang Kara bingung. Tiba-tiba, Jeremy mendesahkan senyum dan melirik sekilas. “Itu Tuan sendiri, Nona. Dia adalah satu-satunya murid Sean, orang yang mampu mengalahkan si monster otot itu.” Sementara Kara ternganga tanpa kata, Jeremy melanjutkan, “Saat mengetahui Anda berada dalam bahaya, Tuan marah besar. Saya beruntung masih diberi kesempatan untuk bekerja dengannya.” “Frank memintamu untuk mengelu-elukan dirinya?” Mata Kara menyipit. “Tidak, Nona,” bantah Jeremy sigap. “Saya berkata apa adanya. Tuan memang sehebat itu. Dan mengingat kemurkaannya semalam, kecurigaan saya tidak perlu diragukan lagi, Nona. Tuan memang mencintai Anda.” Mendengar pernyataan tersebut, raut Kara beruba
Saat jam istirahat tiba, Rowan masih berada di sana. Ia terus mengamati dengan beragam ekspresi. Ia baru bangkit dari kursinya ketika Kara dan si Kembar beranjak dari meja. “Apakah kalian mau pergi ke kantin?” tanyanya mendadak ramah. “Ya! Hari ini kami tidak membawa bekal karena Mama sedang libur. Kami ingin mengajak Mama mencicipi makanan di kantin,” terang Louis dengan penuh semangat. “Apakah kau mau makan bersama kami, Tuan?” Kara terbelalak. Ia tahu anak-anaknya memang sopan, tetapi ia tidak menduga bahwa sikap baik itu bisa berujung pada bahaya. Saat Kara hendak mengalihkan topik, Rowan sudah lebih dulu menerima tawaran. Ia tidak punya jalan lain selain menjaga si Kembar tetap berada di dekatnya. Beruntung, kondisi di kantin cukup ramai. Kecil kemungkinan anak-anaknya diserang di sana. “Tuan, kenapa kita langsung duduk di meja? Bukankah kita seharusnya memilih menu di sana?” tanya Louis, diiringi anggukan Emily. Telunjuknya meruncing ke arah long counter—meja panjang dekat
Dada Kara mendadak sesak. Tatapannya menerawang sejenak. Terkadang, saat sedang kelelahan bekerja atau melihat anak-anaknya bermain berdua saja, ia berharap dapat menemukan seorang pria baik hati yang bersedia menjadi ayah mereka. Bersama-sama, mereka bisa menjadi keluarga utuh yang bahagia. Akan tetapi, pria itu jelas bukan bosnya. Sekalipun Frank Harper adalah ayah si Kembar, mustahil mereka bisa bersama. Rintangan di antara mereka terlalu besar. “Untuk apa?” Kara mengangkat dagu dan tersenyum pahit. “Laki-laki itu sudah membuang anak-anaknya sejak awal, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Anak-anakku tidak layak diperlakukan seperti benda yang tidak berharga. Mereka pantas bahagia.” Melihat mata Kara berkaca-kaca, Rowan merasa menang. “Begitukah? Lantas, apakah sekarang anak-anakmu bahagia?” Nada bicaranya penuh dengan hinaan. Sambil mencibir, ia kembali menyoroti Louis dan Emily. “Lihatlah pakaian itu .... Kurasa seragam sekolah nant
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum