Meski fokusnya tetap tertuju pada jalan, Jeremy ikut menggerakkan alis. “Apa yang Tuan katakan tentang pengawal kesepuluh?”
“Dia bilang, ada satu pengawal lagi yang mengawasi secara diam-diam. Dia yang terhebat dan hanya muncul saat benar-benar dibutuhkan,” terang Kara bingung.
Tiba-tiba, Jeremy mendesahkan senyum dan melirik sekilas. “Itu Tuan sendiri, Nona. Dia adalah satu-satunya murid Sean, orang yang mampu mengalahkan si monster otot itu.”
Sementara Kara ternganga tanpa kata, Jeremy melanjutkan, “Saat mengetahui Anda berada dalam bahaya, Tuan marah besar. Saya beruntung masih diberi kesempatan untuk bekerja dengannya.”
“Frank memintamu untuk mengelu-elukan dirinya?” Mata Kara menyipit.
“Tidak, Nona,” bantah Jeremy sigap. “Saya berkata apa adanya. Tuan memang sehebat itu. Dan mengingat kemurkaannya semalam, kecurigaan saya tidak perlu diragukan lagi, Nona. Tuan memang mencintai Anda.”
Mendengar pernyataan tersebut, raut Kara beruba
Saat jam istirahat tiba, Rowan masih berada di sana. Ia terus mengamati dengan beragam ekspresi. Ia baru bangkit dari kursinya ketika Kara dan si Kembar beranjak dari meja. “Apakah kalian mau pergi ke kantin?” tanyanya mendadak ramah. “Ya! Hari ini kami tidak membawa bekal karena Mama sedang libur. Kami ingin mengajak Mama mencicipi makanan di kantin,” terang Louis dengan penuh semangat. “Apakah kau mau makan bersama kami, Tuan?” Kara terbelalak. Ia tahu anak-anaknya memang sopan, tetapi ia tidak menduga bahwa sikap baik itu bisa berujung pada bahaya. Saat Kara hendak mengalihkan topik, Rowan sudah lebih dulu menerima tawaran. Ia tidak punya jalan lain selain menjaga si Kembar tetap berada di dekatnya. Beruntung, kondisi di kantin cukup ramai. Kecil kemungkinan anak-anaknya diserang di sana. “Tuan, kenapa kita langsung duduk di meja? Bukankah kita seharusnya memilih menu di sana?” tanya Louis, diiringi anggukan Emily. Telunjuknya meruncing ke arah long counter—meja panjang dekat
Dada Kara mendadak sesak. Tatapannya menerawang sejenak. Terkadang, saat sedang kelelahan bekerja atau melihat anak-anaknya bermain berdua saja, ia berharap dapat menemukan seorang pria baik hati yang bersedia menjadi ayah mereka. Bersama-sama, mereka bisa menjadi keluarga utuh yang bahagia. Akan tetapi, pria itu jelas bukan bosnya. Sekalipun Frank Harper adalah ayah si Kembar, mustahil mereka bisa bersama. Rintangan di antara mereka terlalu besar. “Untuk apa?” Kara mengangkat dagu dan tersenyum pahit. “Laki-laki itu sudah membuang anak-anaknya sejak awal, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Anak-anakku tidak layak diperlakukan seperti benda yang tidak berharga. Mereka pantas bahagia.” Melihat mata Kara berkaca-kaca, Rowan merasa menang. “Begitukah? Lantas, apakah sekarang anak-anakmu bahagia?” Nada bicaranya penuh dengan hinaan. Sambil mencibir, ia kembali menyoroti Louis dan Emily. “Lihatlah pakaian itu .... Kurasa seragam sekolah nant
Rowan mengumpat dalam hati. Ia merasa seperti disindir oleh balita itu. “Sean adalah asistenku. Dia tentu tidak selevel untuk makan semeja denganku.” Tiba-tiba, ia berdeham. “Sean sedang puasa. Dia baru akan makan sore nanti,” jawabnya ketus. Louis pun mengangguk. Setelah membaca doa, ia mulai makan bersama Emily dan sang ibu. Rowan hanya memakan sedikit salad. Ketika selesai, masih banyak makanan yang tersisa. Mereka kemudian memutuskan untuk membungkusnya. “Terima kasih banyak, Tuan Baik Hati. Nanti kalau kami mendapat rejeki, kami pasti akan mentraktir Anda,” ucap Louis mewakili ibu dan adiknya. Rowan tersenyum meremehkan. “Baiklah, akan kutunggu ... kapan kalian mendapat rejeki itu.” Sedetik kemudian, ia menggeser tatapannya kepada Kara. “Tolong ingat kesepakatan kita baik-baik. Pastikan semua tetap terkendali.” Kara tersenyum meremehkan. “Mudah bagi saya untuk memegang omongan, Tuan. Pastikan saja calon cucu menantu Anda
Alih-alih meminta maaf, Frank malah mendesak dahi dengan kedua alis. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Hanya mengatakan kejujuran.” “Hubby!” Suara Isabela telah mencapai puncak, sama seperti kekesalannya. Namun, ketika ia menyadarinya, cepat-cepat ia mengatur napas dan meredam emosi. “Oke, tidak apa-apa. Aku paham kalau kau masih perlu waktu untuk menyesuaikan perubahan. Tapi ingatlah faktanya, Hubby, yang akan menjadi pendamping hidupmu adalah Isabela Hall, bukan gadis lain.” Sedetik kemudian, Isabela merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kartu. “Aku sudah melakukan survey. Ini adalah bridal terbaik. Kita punya janji fitting besok sore, jadi luangkan waktumu.” Frank melirik kartu yang diletakkan Isabela di atas dokumennya. Tidak ada respons yang ia tunjukkan. Ketika Isabela beranjak dari meja dan membungkuk untuk mencium pipinya, barulah ia memundurkan badan dan berdeham. “Kau hanya ingin menyampaikan ini?” Frank menaikkan sebelah alis. “Ya. Besok aku akan mampir ke sini. Kita
"Sama sekali tidak," bantah Frank sigap. "Jeremy juga punya kartu semacam ini. Hanya saja, ada limit untuk kartunya." Usai bergumam di ujung pernyataannya, Frank meletakkan kunci mobil di atas kartu dan tablet. "Ini untuk mempermudah mobilisasimu. Kau tidak perlu membuang waktu di transportasi umum lagi. Dan terakhir ...." Frank mengeluarkan sebuah ponsel berlapis berlian yang hanya diproduksi dua unit di dunia. "Aku tahu ponselmu dirusak oleh Ben." "Cukup, Tuan," sela Kara seraya mundur selangkah. "Saya tidak bisa menerimanya." Selagi Frank menaikkan sebelah alis, Kara meletakkan barang-barang di atas meja. "Saya hanya membutuhkan tablet ini. Selebihnya, tidak. Terima kasih." "Kenapa tidak?" Frank terdengar kesal sekaligus kecewa. "Karena itu bukan hak yang sewajarnya diterima oleh sekretaris seperti saya. Barang-barang ini akan membuat saya terlihat seperti wanita simpanan yang ingin mengeruk
"Kau memilih makhluk serupa untuk appetizer dan dessert?"Isabela tidak memperhatikan nada bicara Frank yang agak meninggi. Ia mengangguk tegas."Ya. Aku sengaja mengatur makan siang kita dengan tema laut. Bukankah dulu kau suka berlibur ke pantai dan berlayar?""Dan kau memilih udang?" Frank menambah penekanan.Akan tetapi, Isabela malah mengangguk bangga. Ia tidak sadar telah menyajikan racun untuk calon suaminya.Usai mendengus jijik, Frank kembali menyantap saladnya. "Berikan makanan itu kepada orang lain. Aku tidak tertarik."Mata Isabela membulat. "Kenapa? Apakah tujuh bintang masih kurang? Kau ingin aku mencari koki lain yang lebih berpengalaman?""Cepat singkirkan. Kau merusak nafsu makanku. Pekerjaanku masih menumpuk dan aku tidak ingin fokusku terganggu karena memikirkan liburan."Mendengar nada dingin itu, Isabela mengeraskan rahang. Dengan sangat terpaksa, ia mengumpulkan kotak-kotak it
"What?" Pita suara Isabela terjepit. “Hubby?” Namun, belum sempat ia melancarkan protes, Frank telah berbalik menuju ruangannya. Kara tidak punya pilihan lain selain mengikuti sang CEO. Ia celingak-celinguk, bolak-balik menatap rahang sang pria yang mengeras dan raut terkejut perempuan di belakang mereka. "Tuan? Makan siang saya—" "Tinggalkan saja." Kara tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak menduga akan terjebak dalam situasi semacam itu. "Hubby!" panggil Isabela lagi, membuat Kara kembali menoleh. Raut sang supermodel belum pernah sejelek itu. Akan tetapi, Frank tidak peduli. Ia terus berjalan dan berbelok menuju ruangannya. Saat pria itu mendudukkannya di kursi tamu, Kara akhirnya mendapatkan kembali akal sehatnya. "Tuan, Anda tidak seharusnya membela saya di depan calon istri Anda." "Aku membela yang benar," sanggah Frank sigap. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan ponsel lain dari dalam laci dan meletakkannya di samping milik Kara. Itu yang tadi ingin diberikannya kepad
Napas Isabela menderu. "Apa maksudmu? Kau bilang tidak tertarik dengan menu itu. Sekarang kau mau memakannya? Bersama perempuan murahan itu?" Tanpa terduga, Frank meloloskan desah tawa. "Ya, aku tertarik karena dia yang menemaniku. Lihat, aku bahkan sudah menghabiskan appetizer dan dessert." Isabela kehabisan kata-kata. Ia menganga dan terus melontarkan napas kekesalan. "Kurasa kau lebih baik mengganti pakaianmu, Isabel. Jangan sampai ada paparazi yang melihat. Kau bisa viral. Kembalilah lagi nanti sore, tepat saat jam pulang." "Hubby, kau sudah berjanji untuk menikahiku. Kenapa kau masih saja dekat dengan perempuan ini? Dia seharusnya sudah kau tendang dari perusahaanmu." Sebelum tangan Isabela sampai di pundak Kara, Frank menghalanginya. "Aku berjanji untuk menikahimu, bukan memberikan hatiku kepadamu. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi, terserah kau mau melanjutkan ke pernik