Rowan mengumpat dalam hati. Ia merasa seperti disindir oleh balita itu. “Sean adalah asistenku. Dia tentu tidak selevel untuk makan semeja denganku.”
Tiba-tiba, ia berdeham. “Sean sedang puasa. Dia baru akan makan sore nanti,” jawabnya ketus.
Louis pun mengangguk. Setelah membaca doa, ia mulai makan bersama Emily dan sang ibu. Rowan hanya memakan sedikit salad. Ketika selesai, masih banyak makanan yang tersisa. Mereka kemudian memutuskan untuk membungkusnya.
“Terima kasih banyak, Tuan Baik Hati. Nanti kalau kami mendapat rejeki, kami pasti akan mentraktir Anda,” ucap Louis mewakili ibu dan adiknya.
Rowan tersenyum meremehkan. “Baiklah, akan kutunggu ... kapan kalian mendapat rejeki itu.”
Sedetik kemudian, ia menggeser tatapannya kepada Kara. “Tolong ingat kesepakatan kita baik-baik. Pastikan semua tetap terkendali.”
Kara tersenyum meremehkan. “Mudah bagi saya untuk memegang omongan, Tuan. Pastikan saja calon cucu menantu Anda
Alih-alih meminta maaf, Frank malah mendesak dahi dengan kedua alis. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Hanya mengatakan kejujuran.” “Hubby!” Suara Isabela telah mencapai puncak, sama seperti kekesalannya. Namun, ketika ia menyadarinya, cepat-cepat ia mengatur napas dan meredam emosi. “Oke, tidak apa-apa. Aku paham kalau kau masih perlu waktu untuk menyesuaikan perubahan. Tapi ingatlah faktanya, Hubby, yang akan menjadi pendamping hidupmu adalah Isabela Hall, bukan gadis lain.” Sedetik kemudian, Isabela merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kartu. “Aku sudah melakukan survey. Ini adalah bridal terbaik. Kita punya janji fitting besok sore, jadi luangkan waktumu.” Frank melirik kartu yang diletakkan Isabela di atas dokumennya. Tidak ada respons yang ia tunjukkan. Ketika Isabela beranjak dari meja dan membungkuk untuk mencium pipinya, barulah ia memundurkan badan dan berdeham. “Kau hanya ingin menyampaikan ini?” Frank menaikkan sebelah alis. “Ya. Besok aku akan mampir ke sini. Kita
"Sama sekali tidak," bantah Frank sigap. "Jeremy juga punya kartu semacam ini. Hanya saja, ada limit untuk kartunya." Usai bergumam di ujung pernyataannya, Frank meletakkan kunci mobil di atas kartu dan tablet. "Ini untuk mempermudah mobilisasimu. Kau tidak perlu membuang waktu di transportasi umum lagi. Dan terakhir ...." Frank mengeluarkan sebuah ponsel berlapis berlian yang hanya diproduksi dua unit di dunia. "Aku tahu ponselmu dirusak oleh Ben." "Cukup, Tuan," sela Kara seraya mundur selangkah. "Saya tidak bisa menerimanya." Selagi Frank menaikkan sebelah alis, Kara meletakkan barang-barang di atas meja. "Saya hanya membutuhkan tablet ini. Selebihnya, tidak. Terima kasih." "Kenapa tidak?" Frank terdengar kesal sekaligus kecewa. "Karena itu bukan hak yang sewajarnya diterima oleh sekretaris seperti saya. Barang-barang ini akan membuat saya terlihat seperti wanita simpanan yang ingin mengeruk
"Kau memilih makhluk serupa untuk appetizer dan dessert?"Isabela tidak memperhatikan nada bicara Frank yang agak meninggi. Ia mengangguk tegas."Ya. Aku sengaja mengatur makan siang kita dengan tema laut. Bukankah dulu kau suka berlibur ke pantai dan berlayar?""Dan kau memilih udang?" Frank menambah penekanan.Akan tetapi, Isabela malah mengangguk bangga. Ia tidak sadar telah menyajikan racun untuk calon suaminya.Usai mendengus jijik, Frank kembali menyantap saladnya. "Berikan makanan itu kepada orang lain. Aku tidak tertarik."Mata Isabela membulat. "Kenapa? Apakah tujuh bintang masih kurang? Kau ingin aku mencari koki lain yang lebih berpengalaman?""Cepat singkirkan. Kau merusak nafsu makanku. Pekerjaanku masih menumpuk dan aku tidak ingin fokusku terganggu karena memikirkan liburan."Mendengar nada dingin itu, Isabela mengeraskan rahang. Dengan sangat terpaksa, ia mengumpulkan kotak-kotak it
"What?" Pita suara Isabela terjepit. “Hubby?” Namun, belum sempat ia melancarkan protes, Frank telah berbalik menuju ruangannya. Kara tidak punya pilihan lain selain mengikuti sang CEO. Ia celingak-celinguk, bolak-balik menatap rahang sang pria yang mengeras dan raut terkejut perempuan di belakang mereka. "Tuan? Makan siang saya—" "Tinggalkan saja." Kara tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak menduga akan terjebak dalam situasi semacam itu. "Hubby!" panggil Isabela lagi, membuat Kara kembali menoleh. Raut sang supermodel belum pernah sejelek itu. Akan tetapi, Frank tidak peduli. Ia terus berjalan dan berbelok menuju ruangannya. Saat pria itu mendudukkannya di kursi tamu, Kara akhirnya mendapatkan kembali akal sehatnya. "Tuan, Anda tidak seharusnya membela saya di depan calon istri Anda." "Aku membela yang benar," sanggah Frank sigap. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan ponsel lain dari dalam laci dan meletakkannya di samping milik Kara. Itu yang tadi ingin diberikannya kepad
Napas Isabela menderu. "Apa maksudmu? Kau bilang tidak tertarik dengan menu itu. Sekarang kau mau memakannya? Bersama perempuan murahan itu?" Tanpa terduga, Frank meloloskan desah tawa. "Ya, aku tertarik karena dia yang menemaniku. Lihat, aku bahkan sudah menghabiskan appetizer dan dessert." Isabela kehabisan kata-kata. Ia menganga dan terus melontarkan napas kekesalan. "Kurasa kau lebih baik mengganti pakaianmu, Isabel. Jangan sampai ada paparazi yang melihat. Kau bisa viral. Kembalilah lagi nanti sore, tepat saat jam pulang." "Hubby, kau sudah berjanji untuk menikahiku. Kenapa kau masih saja dekat dengan perempuan ini? Dia seharusnya sudah kau tendang dari perusahaanmu." Sebelum tangan Isabela sampai di pundak Kara, Frank menghalanginya. "Aku berjanji untuk menikahimu, bukan memberikan hatiku kepadamu. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi, terserah kau mau melanjutkan ke pernik
Sesaat kemudian, Frank menyingkap tirai. Setelan putih itu membuatnya terlihat begitu gagah. Aura bangsawannya terpancar terang. Ia seperti seorang pangeran dari negeri dongeng. Kara sampai lupa berkedip. "Dia setiap hari mengenakan jas, tapi mengapa sekarang terlihat berbeda?" "Bagaimana penampilanku?" Kara mengerjap dan memaksakan paru-parunya kembali bekerja. Kepalanya bergerak naik turun dengan canggung. "Bagus." "Nyatakan dalam angka." Kara berkedip lucu. "Hmm, 80?" Raut Frank berubah manyun. "Serendah itu?" "Itu tinggi. Rata-rata saya adalah 65." Bibir Frank kembali melengkung. Ia menang 15 poin dari rata-rata. Dengan cepat, ia berganti ke setelan peak lapel hitam berpola. "Bagaimana sekarang?" Kara kembali terpana. Frank terlihat lebih maskulin, tetapi ia lebih suka yang sebelumnya. "Saya rasa 75." Mata Frank menyipit. "Turun?" Padahal, ia merasa lebih percaya
Isabela menatap Kara lembut. "Aku ingin melihat model mana yang terbaik. Setelah menentukan pilihan, aku akan mencobanya nanti. Itu bisa menghemat energi. Apa kau bersedia membantuku, Nona Martin?" Kara tersenyum kaku dan mengangguk. "Anda benar. Bergonta-ganti pakaian biasa saja melelahkan, apalagi gaun pengantin yang berat." Lengkung bibir Isabela melebar. "Bagus! Kalau begitu, kalian ... tolong bantu Nona ini. Perlakukan dia dengan baik." "Siap, Nona." Sebetulnya, Kara tahu ada yang tidak beres. Isabela tidak mungkin bersikap baik padanya tanpa alasan. Akan tetapi, ia tetap masuk ke bilik ganti. Sementara itu, Isabela telah menarik Frank untuk duduk di sofa. Sang model tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melirik ke arah pintu dan mengangguk. Frank yakin, Vidi sedang bersiaga di sana. "Apa yang mereka rencanakan?" "Hubby, sudah berapa setelan yang kau coba? Apakah ini yang terbaik?" Suara Isabela begitu manis. Para pelayan yang mendengar kembali berbisik dan terkikik. Se
Para pelayan bergerak cepat membantu Kara. Setelah gadis itu turun, Frank dapat melihat lebih jelas lewat belahan rendah pada bagian depan. Gaun itu sungguh terbuka. Isabela sadar ke mana arah tatapan calon suaminya. Secepat kilat, ia memeluk lengan pria itu dan berusaha mencuri perhatiannya. "Hubby, apakah menurutmu, gaun itu cocok untuk kukenakan di hari pernikahan kita nanti?" Frank menarik napas berat. Tatapannya bergeser ke wajah Kara. Ia mendesah samar, "Mungkin cocok." Isabela menggertakkan rahang. Membuat Frank terpikat pada Kara tidak ada dalam daftar rencananya. Setelah para pelayan selesai merapikan gaun Kara, Isabela menjauh dari Frank. Ia kembali fokus menyoroti Kara dengan kamera ponselnya. "Mulailah berjalan. Aku ingin melihat bagaimana kira-kira gaun itu terayun di atas karpet." Kara mulai bergerak. Ia harus super hati-hati dengan sepatu setinggi 14 cm yang bertabur kerang dan mutiara di
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum