"Kau memilih makhluk serupa untuk appetizer dan dessert?"
Isabela tidak memperhatikan nada bicara Frank yang agak meninggi. Ia mengangguk tegas.
"Ya. Aku sengaja mengatur makan siang kita dengan tema laut. Bukankah dulu kau suka berlibur ke pantai dan berlayar?"
"Dan kau memilih udang?" Frank menambah penekanan.
Akan tetapi, Isabela malah mengangguk bangga. Ia tidak sadar telah menyajikan racun untuk calon suaminya.
Usai mendengus jijik, Frank kembali menyantap saladnya. "Berikan makanan itu kepada orang lain. Aku tidak tertarik."
Mata Isabela membulat. "Kenapa? Apakah tujuh bintang masih kurang? Kau ingin aku mencari koki lain yang lebih berpengalaman?"
"Cepat singkirkan. Kau merusak nafsu makanku. Pekerjaanku masih menumpuk dan aku tidak ingin fokusku terganggu karena memikirkan liburan."
Mendengar nada dingin itu, Isabela mengeraskan rahang. Dengan sangat terpaksa, ia mengumpulkan kotak-kotak it
"What?" Pita suara Isabela terjepit. “Hubby?” Namun, belum sempat ia melancarkan protes, Frank telah berbalik menuju ruangannya. Kara tidak punya pilihan lain selain mengikuti sang CEO. Ia celingak-celinguk, bolak-balik menatap rahang sang pria yang mengeras dan raut terkejut perempuan di belakang mereka. "Tuan? Makan siang saya—" "Tinggalkan saja." Kara tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak menduga akan terjebak dalam situasi semacam itu. "Hubby!" panggil Isabela lagi, membuat Kara kembali menoleh. Raut sang supermodel belum pernah sejelek itu. Akan tetapi, Frank tidak peduli. Ia terus berjalan dan berbelok menuju ruangannya. Saat pria itu mendudukkannya di kursi tamu, Kara akhirnya mendapatkan kembali akal sehatnya. "Tuan, Anda tidak seharusnya membela saya di depan calon istri Anda." "Aku membela yang benar," sanggah Frank sigap. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan ponsel lain dari dalam laci dan meletakkannya di samping milik Kara. Itu yang tadi ingin diberikannya kepad
Napas Isabela menderu. "Apa maksudmu? Kau bilang tidak tertarik dengan menu itu. Sekarang kau mau memakannya? Bersama perempuan murahan itu?" Tanpa terduga, Frank meloloskan desah tawa. "Ya, aku tertarik karena dia yang menemaniku. Lihat, aku bahkan sudah menghabiskan appetizer dan dessert." Isabela kehabisan kata-kata. Ia menganga dan terus melontarkan napas kekesalan. "Kurasa kau lebih baik mengganti pakaianmu, Isabel. Jangan sampai ada paparazi yang melihat. Kau bisa viral. Kembalilah lagi nanti sore, tepat saat jam pulang." "Hubby, kau sudah berjanji untuk menikahiku. Kenapa kau masih saja dekat dengan perempuan ini? Dia seharusnya sudah kau tendang dari perusahaanmu." Sebelum tangan Isabela sampai di pundak Kara, Frank menghalanginya. "Aku berjanji untuk menikahimu, bukan memberikan hatiku kepadamu. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi, terserah kau mau melanjutkan ke pernik
Sesaat kemudian, Frank menyingkap tirai. Setelan putih itu membuatnya terlihat begitu gagah. Aura bangsawannya terpancar terang. Ia seperti seorang pangeran dari negeri dongeng. Kara sampai lupa berkedip. "Dia setiap hari mengenakan jas, tapi mengapa sekarang terlihat berbeda?" "Bagaimana penampilanku?" Kara mengerjap dan memaksakan paru-parunya kembali bekerja. Kepalanya bergerak naik turun dengan canggung. "Bagus." "Nyatakan dalam angka." Kara berkedip lucu. "Hmm, 80?" Raut Frank berubah manyun. "Serendah itu?" "Itu tinggi. Rata-rata saya adalah 65." Bibir Frank kembali melengkung. Ia menang 15 poin dari rata-rata. Dengan cepat, ia berganti ke setelan peak lapel hitam berpola. "Bagaimana sekarang?" Kara kembali terpana. Frank terlihat lebih maskulin, tetapi ia lebih suka yang sebelumnya. "Saya rasa 75." Mata Frank menyipit. "Turun?" Padahal, ia merasa lebih percaya
Isabela menatap Kara lembut. "Aku ingin melihat model mana yang terbaik. Setelah menentukan pilihan, aku akan mencobanya nanti. Itu bisa menghemat energi. Apa kau bersedia membantuku, Nona Martin?" Kara tersenyum kaku dan mengangguk. "Anda benar. Bergonta-ganti pakaian biasa saja melelahkan, apalagi gaun pengantin yang berat." Lengkung bibir Isabela melebar. "Bagus! Kalau begitu, kalian ... tolong bantu Nona ini. Perlakukan dia dengan baik." "Siap, Nona." Sebetulnya, Kara tahu ada yang tidak beres. Isabela tidak mungkin bersikap baik padanya tanpa alasan. Akan tetapi, ia tetap masuk ke bilik ganti. Sementara itu, Isabela telah menarik Frank untuk duduk di sofa. Sang model tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melirik ke arah pintu dan mengangguk. Frank yakin, Vidi sedang bersiaga di sana. "Apa yang mereka rencanakan?" "Hubby, sudah berapa setelan yang kau coba? Apakah ini yang terbaik?" Suara Isabela begitu manis. Para pelayan yang mendengar kembali berbisik dan terkikik. Se
Para pelayan bergerak cepat membantu Kara. Setelah gadis itu turun, Frank dapat melihat lebih jelas lewat belahan rendah pada bagian depan. Gaun itu sungguh terbuka. Isabela sadar ke mana arah tatapan calon suaminya. Secepat kilat, ia memeluk lengan pria itu dan berusaha mencuri perhatiannya. "Hubby, apakah menurutmu, gaun itu cocok untuk kukenakan di hari pernikahan kita nanti?" Frank menarik napas berat. Tatapannya bergeser ke wajah Kara. Ia mendesah samar, "Mungkin cocok." Isabela menggertakkan rahang. Membuat Frank terpikat pada Kara tidak ada dalam daftar rencananya. Setelah para pelayan selesai merapikan gaun Kara, Isabela menjauh dari Frank. Ia kembali fokus menyoroti Kara dengan kamera ponselnya. "Mulailah berjalan. Aku ingin melihat bagaimana kira-kira gaun itu terayun di atas karpet." Kara mulai bergerak. Ia harus super hati-hati dengan sepatu setinggi 14 cm yang bertabur kerang dan mutiara di
Di luar gedung, Kara terpaku pada limosin sang CEO. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap debar jantungnya bisa mereda. Akan tetapi, masih terlintas jelas bagaimana Frank menatap saat gaunnya melorot. Pria itu tampak seperti singa yang bersiap melahap mangsa. Tiba-tiba, Kara bergidik ngeri. Ia menepuk-nepuk pipinya yang terasa hangat."Ayolah, Kara. Itu hanya kecelakaan. Tidak berarti apa-apa." Dengan tubuh yang tegang, Kara menghampiri limosin. Begitu masuk, ia langsung menyibukkan diri dengan tablet barunya. Padahal, Frank sama sekali tidak melirik. Pria itu sedang fokus dengan ponselnya. "Para penonton sudah kau urus?" tanyanya kepada Jeremy lewat chat. "Sudah, Tuan. Tidak akan ada yang berani mengungkit insiden tadi." Frank mengangguk samar. "Bagus.Sekarang urus para pelayan di bridal itu! Mereka sudah berani mempermalukan Kara. Setelah itu, datanglah ke tempatku.” “Sa
Jeremy mengangguk. "Seperti biasa, Tuan. Saya memberi peringatan dan menegaskan bahwa mereka tidak akan bisa bekerja di mana pun lagi kalau sampai melanggar." Frank mengerucutkan bibir. Memang itu cara ia mengurus masalah, berbeda dengan sang kakek yang menyukai cara keji. “Bagaimana dengan Ben?” Jeremy berbisik, “Dia agak terkejut saat mengetahui Anda sepakat untuk bekerja sama dengannya. Dia sudah menandatangani kontrak dan bersumpah tidak akan mendekati Kara lagi.” Frank mengangguk tipis. "Lalu, bagaimana dengan kapal terakhir yang kita tenggelamkan? Apakah mereka telah menemukan harta karun atau mulai berkarat?" Jeremy menyesap kopinya sebelum mulai menjelaskan. "Mereka masih memperjuangkan prototipe itu dengan dana pribadi. Sudah ada beberapa kesalahan yang mereka temukan. Sekarang, mereka sedang menganalisisnya. Mereka yakin, setelah kesalahan itu diperbaiki, impian Anda untuk mewujudkan mobil bebas emisi akan terlaksana." "Menurutmu, apakah kapal mereka bisa berlayar la
Frank beranjak dan mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ia ternyata sudah bersiap. Demi menghindari kecurigaan, sang asisten mengirimkan alamat apartemen Kara. "Terima kasih, Jeremy. Kau adalah asisten terbaik." Setelah itu, ia mulai berlari. Melihat kebulatan tekad bosnya, Jeremy mendesah samar. Ia segera mengirimkan peringatan kepada Kara. Namun, selang beberapa saat, pesan itu tidak kunjung dibaca.Jeremy pun mencoba menelepon. Ternyata, nomor Kara sedang tidak aktif. "Haruskah aku menyusul? Akan sangat seru menyaksikan reaksi Tuan Muda saat bertemu anak-anaknya." *** Setibanya di lokasi, hati Frank bertambah berat. Itu adalah kompleks apartemen kecil. Bangunan yang dihuni oleh Kara adalah yang paling kumuh dan redup. "Sesulit itukah hidupnya?" desahnya lirih. Frank merasa tidak tega.Ia melirik sekitar. Di lahan parkir yang sempit itu, hanya ada tiga mobil lain yang terlihat. Semuanya m