Frank beranjak dan mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ia ternyata sudah bersiap. Demi menghindari kecurigaan, sang asisten mengirimkan alamat apartemen Kara.
"Terima kasih, Jeremy. Kau adalah asisten terbaik." Setelah itu, ia mulai berlari.
Melihat kebulatan tekad bosnya, Jeremy mendesah samar. Ia segera mengirimkan peringatan kepada Kara.
Namun, selang beberapa saat, pesan itu tidak kunjung dibaca. Jeremy pun mencoba menelepon. Ternyata, nomor Kara sedang tidak aktif.
"Haruskah aku menyusul? Akan sangat seru menyaksikan reaksi Tuan Muda saat bertemu anak-anaknya."
***
Setibanya di lokasi, hati Frank bertambah berat. Itu adalah kompleks apartemen kecil. Bangunan yang dihuni oleh Kara adalah yang paling kumuh dan redup.
"Sesulit itukah hidupnya?" desahnya lirih.
Frank merasa tidak tega. Ia melirik sekitar. Di lahan parkir yang sempit itu, hanya ada tiga mobil lain yang terlihat. Semuanya m
Keesokan harinya, Kara sama sekali tidak memasang senyum ataupun tatapan ramah di kantor. Ia seperti Frank Harper dingin versi wanita. Ketika ia memasuki ruang CEO, Frank bahkan menaikkan alis. Ia tidak suka aura yang dipancarkan Kara. “Apakah dia sengaja mengubah image-nya agar aku menjauh?” Setelah berdeham, Frank melengkungkan bibir. “Kemarin kau sampai di rumah dengan selamat?” “Tentu saja. Jika tidak, mana mungkin saya bisa berdiri di sini?” Pipi Frank berkedut. Ia tidak terbiasa menghadapi Kara yang super ketus. “Ada apa Anda memanggil saya?” tanya gadis itu dengan nada tak senang. Frank menghela napas pasrah. Ia bisa merasakan bahwa kemungkinan Kara bersedia pindah ke apartemen baru kini semakin tipis. “Begini, kau tahu kalau properti dan konstruksi merupakan salah satu bisnis Savior, bukan?” Kara mengangguk. “Kalau begitu, bisakah kau menjadi kelinci percobaanku lagi?”
"Kamu sudah sampai di rumah?" lanjut Susan serak. Kara mengangguk tipis. Lehernya mendadak kaku. Namun, sebisa mungkin, ia mengusir firasat buruk dari otaknya. "Ya. Ada apa, Bu?" “Begini ....” Susan terdengar lebih ragu dan resah. “Tadi siang, ada insiden kecil di perpustakaan.” “Insiden kecil?” Mata Kara membulat. Kerongkongannya gersang. Teringat akan pesan Rowan yang diabaikannya tadi, jantungnya mulai berdetak tak karuan. “Louis tertimpa buku-buku. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Tangannya sudah digips.” “Digips?” Wajah Kara memucat. Tangannya yang terkepal di dada kini sedingin balok es. “Tulangnya hanya retak. Bukan masalah serius. Akan sembuh dalam waktu tiga minggu.” Susan buru-buru menjelaskan. Akan tetapi, air mata Kara sudah telanjur tergenang. Ia tidak pernah membayangkan anaknya akan berulang tahun dengan tangan terbungkus gips. “Bagaimana keadaan Louis sekarang?” desahnya menahan isak. “Baik. Dia sudah bisa tertawa. Tapi dia perlu dirawat di sini selama dua hari
Kerut alis Kara sontak berubah arti. Kecemasan dalam nadinya telah tergantikan oleh ketegangan. "Saya tidak bodoh, Tuan. Siapa pun akan curiga kalau ada mobil yang terus mengikutinya," tuturnya kaku. "Tapi ini mobil yang berbeda, dan dilihat dari caramu masuk tadi, kau sama sekali tidak ragu." Suara Frank ringan, bahkan menyerupai bisikan. Namun, tekanan yang diterima Kara cukup besar untuk memberatkan kepalanya. "Itu karena mobil ini berada di tempat Jeremy biasa parkir. Lagi pula, siapa yang sanggup membeli mobil sebagus ini di kompleks kami?" Bibir Frank mengerucut. Ia benci kenyataan bahwa perempuan yang disukainya tinggal bersama orang-orang miskin. Karena itu, ia tidak bicara lagi. Ia tidak mau Kara menganggapnya ikut campur dan meminta diturunkan di tengah jalan.Sebagai gantinya, ia menyodorkan permen cokelat yang diambilnya dari pocket door samping. "Apa itu?"Kara menautkan alis.
"Aku masih takut kalau Louis kenapa-kenapa. Karena itulah, aku duduk di sini menemaninya." Emily menyandarkan kepalanya ke pundak kanan sang kakak. Bocah laki-laki itu pun menepuk-nepuk pipi gembul adiknya. "Lihat ini, Mama. Tangan kiri Louis tidak boleh digerakkan. Dia pasti merasa bosan." Usai mengelus gips, Emily menegakkan kepala."Apakah Mama membawa buku? Aku bisa menghibur Louis lewat cerita." Dengan alis tertaut, Kara menggeleng. "Maaf, Madu Kecil. Tadi Mama tergesa-gesa. Mama hanya membawa ini." Kara mengeluarkan boneka dan mobil-mobilan dari tas.Melihat mainan favoritnya, senyum Louis mengembang. "Tidak apa-apa, Mama. Ini saja sudah cukup." Ia dan Emily menyambut barang-barang dari sang ibu."Terima kasih, Mama." Emily memeluk bonekanya dan kembali mencondongkan kepala ke pundak Louis. Kemudian, kakaknya itu mulai menjalankan mobil di atas gips lalu membenturkannya ke boneka Emily.&nb
Seketika, air mata berkumpul di pelupuk Emily. Bibirnya bergetar, terdesak oleh udara dalam paru-paru yang bergemuruh kecil. Pria yang menabraknya juga berdebar. Ia terbelalak sambil meringis di bawah topi hitamnya. "Astaga .... Di mana orang tua anak ini? Bagaimana mungkin mereka bisa membiarkan gadis kecil berkeliaran di rumah sakit?" Namun, begitu mendapati wajah bulat sang balita, alisnya bergerak naik. "Emily?" Mendengar suara yang tak asing, Emily mendongak. Pria di hadapannya begitu tinggi. Ia mengenakan pakaian hitam, dan bayang-bayang topi menutupi wajahnya. "Ini aku, kau ingat?” Frank menaikkan topinya. Sekarang Emily bisa mengenali sang pria. Akan tetapi, tubuhnya malah bergetar semakin hebat. Isak tangis pun lolos dari bibir mungilnya. Tak ingin menimbulkan kehebohan, secepat kilat, Frank menggendong Emily dan menepuk-nepuk punggungnya. “Hei, jangan menangis. Aku tidak akan memarahimu." Suara tangis Emily begitu kecil, seperti suara anak kucing yang mencari
"Aku yang memberi nama itu. Yellow lemon disingkat menjadi Yemon. Itu tidak ada hubungannya dengan cara Mama mengajariku. Justru, Mama-lah yang menginspirasiku untuk memilih Yemon." Alis Frank terangkat maksimal. Ia baru ingat kalau balita di hadapannya itu bukanlah balita biasa.Kecerdasannya jauh melampaui rata-rata. "Mengapa begitu?" "Karena Yemon mengingatkanku pada Mama yang wangi seperti jeruk lemon. Jadi, setiap kali Mama sibuk bekerja, aku tinggal memeluk Yemon dan membayangkan kalau Mama ada di sampingku.” Frank tertegun. Bayangan Kara telah melintas di benaknya. Kara juga beraroma seperti itu. “Selain itu, Yemon juga punya kantong rahasia. Aku sering menyelipkan surat untuk Mama di dalamnya. Nanti, Mama akan diam-diam membalasnya," lanjut Emily setengah berbisik. Tiba-tiba, Frank mengerjap. Ia mendadak ingat tentang misi rahasia yang harus segera ia laksanakan. "Emily, di mana kakakmu dirawat? Orang tuamu p
“Ini tidak bisa dibiarkan,” erang Kara pelan. Sesaat kemudian, ia mengangkat ponsel ke telinga. “Rowan Harper, ini sudah keterlaluan.” Kerongkongan Frank tersekat. Ia bahkan menahan napas, tak ingin melewatkan satu kata pun yang terucap lirih dari bibir Kara. “Saya sudah menjaga jarak dari cucu Anda. Saya tidak lagi meladeni perkataannya, dan bahkan tidak tersenyum di depannya. Bukan salah saya jika Isabela gagal merebut perhatiannya. Tapi mengapa Anda melanggar kesepakatan? Anda tidak seharusnya mengusik keluarga saya.” Tangan Frank terkepal erat. Ia tidak tahu siapa yang disakiti oleh kakeknya. Namun, melihat Kara menderita seperti itu, ia tidak tahan. Tanpa mendengar kelanjutannya, ia pun berbalik menuju pintu. Sang kakek perlu ditegaskan. Sementara itu, napas Kara semakin menderu. Rekaman yang ia saksikan tadi terus terputar dalam benaknya. Setelah buku itu menghantam, Louis mengerang sambil memeluk tangannya. Emily di sampingnya berteriak memangg
"Tidak mungkin menimbulkan kekacauan di wilayahku?" Frank terus mengulang ucapan sang kakek dalam perjalanan menuju mobil. Setelah duduk di belakang kemudi, ia mengetuk-ngetuk kemudi dengan telunjuk. "Apa mungkin ... keluarga Kara mengalami insiden itu di salah satu perusahaan Savior?" Frank pun mulai menelusuri rekapitulasi laporan harian Savior. Tidak ada kejadian luar biasa, kecuali insiden anak tertimpa buku di perpustakaan. "Ini pasti Louis," desah Frank sembari mengulas pertemuannya dengan bocah laki-laki itu. "Mengapa nasib mereka begitu malang? Orang tua mereka sibuk bekerja, tidak punya banyak uang, dan bahkan tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Sungguh orang tua yang tidak berguna ....” Selang lamunan singkat, Frank mengerjap. Sebuah pesan masuk baru saja menggetarkan ponselnya. Sedetik kemudian, Wela menelepon. “Franky, itu daftar pasien dengan nama belakang Martin yang masuk hari ini.” Frank pun memasang mode pengeras suara agar dapat berbincang sambil men