Halo, Teman-Teman! Pixie mau ngucapin special thanks untuk kalian yang udah kasih gems, review, dan komentar. Dukungan dari kalian bikin Pixie tambah semangat. Terima kasih juga untuk yang setia ngikutin cerita ini. Siap-siap ya, bulan Maret bakal makin seruuu!
Kerut alis Kara sontak berubah arti. Kecemasan dalam nadinya telah tergantikan oleh ketegangan. "Saya tidak bodoh, Tuan. Siapa pun akan curiga kalau ada mobil yang terus mengikutinya," tuturnya kaku. "Tapi ini mobil yang berbeda, dan dilihat dari caramu masuk tadi, kau sama sekali tidak ragu." Suara Frank ringan, bahkan menyerupai bisikan. Namun, tekanan yang diterima Kara cukup besar untuk memberatkan kepalanya. "Itu karena mobil ini berada di tempat Jeremy biasa parkir. Lagi pula, siapa yang sanggup membeli mobil sebagus ini di kompleks kami?" Bibir Frank mengerucut. Ia benci kenyataan bahwa perempuan yang disukainya tinggal bersama orang-orang miskin. Karena itu, ia tidak bicara lagi. Ia tidak mau Kara menganggapnya ikut campur dan meminta diturunkan di tengah jalan.Sebagai gantinya, ia menyodorkan permen cokelat yang diambilnya dari pocket door samping. "Apa itu?"Kara menautkan alis.
"Aku masih takut kalau Louis kenapa-kenapa. Karena itulah, aku duduk di sini menemaninya." Emily menyandarkan kepalanya ke pundak kanan sang kakak. Bocah laki-laki itu pun menepuk-nepuk pipi gembul adiknya. "Lihat ini, Mama. Tangan kiri Louis tidak boleh digerakkan. Dia pasti merasa bosan." Usai mengelus gips, Emily menegakkan kepala."Apakah Mama membawa buku? Aku bisa menghibur Louis lewat cerita." Dengan alis tertaut, Kara menggeleng. "Maaf, Madu Kecil. Tadi Mama tergesa-gesa. Mama hanya membawa ini." Kara mengeluarkan boneka dan mobil-mobilan dari tas.Melihat mainan favoritnya, senyum Louis mengembang. "Tidak apa-apa, Mama. Ini saja sudah cukup." Ia dan Emily menyambut barang-barang dari sang ibu."Terima kasih, Mama." Emily memeluk bonekanya dan kembali mencondongkan kepala ke pundak Louis. Kemudian, kakaknya itu mulai menjalankan mobil di atas gips lalu membenturkannya ke boneka Emily.&nb
Seketika, air mata berkumpul di pelupuk Emily. Bibirnya bergetar, terdesak oleh udara dalam paru-paru yang bergemuruh kecil. Pria yang menabraknya juga berdebar. Ia terbelalak sambil meringis di bawah topi hitamnya. "Astaga .... Di mana orang tua anak ini? Bagaimana mungkin mereka bisa membiarkan gadis kecil berkeliaran di rumah sakit?" Namun, begitu mendapati wajah bulat sang balita, alisnya bergerak naik. "Emily?" Mendengar suara yang tak asing, Emily mendongak. Pria di hadapannya begitu tinggi. Ia mengenakan pakaian hitam, dan bayang-bayang topi menutupi wajahnya. "Ini aku, kau ingat?” Frank menaikkan topinya. Sekarang Emily bisa mengenali sang pria. Akan tetapi, tubuhnya malah bergetar semakin hebat. Isak tangis pun lolos dari bibir mungilnya. Tak ingin menimbulkan kehebohan, secepat kilat, Frank menggendong Emily dan menepuk-nepuk punggungnya. “Hei, jangan menangis. Aku tidak akan memarahimu." Suara tangis Emily begitu kecil, seperti suara anak kucing yang mencari
"Aku yang memberi nama itu. Yellow lemon disingkat menjadi Yemon. Itu tidak ada hubungannya dengan cara Mama mengajariku. Justru, Mama-lah yang menginspirasiku untuk memilih Yemon." Alis Frank terangkat maksimal. Ia baru ingat kalau balita di hadapannya itu bukanlah balita biasa.Kecerdasannya jauh melampaui rata-rata. "Mengapa begitu?" "Karena Yemon mengingatkanku pada Mama yang wangi seperti jeruk lemon. Jadi, setiap kali Mama sibuk bekerja, aku tinggal memeluk Yemon dan membayangkan kalau Mama ada di sampingku.” Frank tertegun. Bayangan Kara telah melintas di benaknya. Kara juga beraroma seperti itu. “Selain itu, Yemon juga punya kantong rahasia. Aku sering menyelipkan surat untuk Mama di dalamnya. Nanti, Mama akan diam-diam membalasnya," lanjut Emily setengah berbisik. Tiba-tiba, Frank mengerjap. Ia mendadak ingat tentang misi rahasia yang harus segera ia laksanakan. "Emily, di mana kakakmu dirawat? Orang tuamu p
“Ini tidak bisa dibiarkan,” erang Kara pelan. Sesaat kemudian, ia mengangkat ponsel ke telinga. “Rowan Harper, ini sudah keterlaluan.” Kerongkongan Frank tersekat. Ia bahkan menahan napas, tak ingin melewatkan satu kata pun yang terucap lirih dari bibir Kara. “Saya sudah menjaga jarak dari cucu Anda. Saya tidak lagi meladeni perkataannya, dan bahkan tidak tersenyum di depannya. Bukan salah saya jika Isabela gagal merebut perhatiannya. Tapi mengapa Anda melanggar kesepakatan? Anda tidak seharusnya mengusik keluarga saya.” Tangan Frank terkepal erat. Ia tidak tahu siapa yang disakiti oleh kakeknya. Namun, melihat Kara menderita seperti itu, ia tidak tahan. Tanpa mendengar kelanjutannya, ia pun berbalik menuju pintu. Sang kakek perlu ditegaskan. Sementara itu, napas Kara semakin menderu. Rekaman yang ia saksikan tadi terus terputar dalam benaknya. Setelah buku itu menghantam, Louis mengerang sambil memeluk tangannya. Emily di sampingnya berteriak memangg
"Tidak mungkin menimbulkan kekacauan di wilayahku?" Frank terus mengulang ucapan sang kakek dalam perjalanan menuju mobil. Setelah duduk di belakang kemudi, ia mengetuk-ngetuk kemudi dengan telunjuk. "Apa mungkin ... keluarga Kara mengalami insiden itu di salah satu perusahaan Savior?" Frank pun mulai menelusuri rekapitulasi laporan harian Savior. Tidak ada kejadian luar biasa, kecuali insiden anak tertimpa buku di perpustakaan. "Ini pasti Louis," desah Frank sembari mengulas pertemuannya dengan bocah laki-laki itu. "Mengapa nasib mereka begitu malang? Orang tua mereka sibuk bekerja, tidak punya banyak uang, dan bahkan tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Sungguh orang tua yang tidak berguna ....” Selang lamunan singkat, Frank mengerjap. Sebuah pesan masuk baru saja menggetarkan ponselnya. Sedetik kemudian, Wela menelepon. “Franky, itu daftar pasien dengan nama belakang Martin yang masuk hari ini.” Frank pun memasang mode pengeras suara agar dapat berbincang sambil men
“Tidak ..., itu mustahil.” Frank berusaha menenangkan diri. Akan tetapi, suara Emily terus terngiang dalam benaknya. “Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini.” "Yemon mengingatkanku pada Mama yang wangi seperti jeruk lemon. Jadi, setiap kali Mama sibuk bekerja, aku tinggal memeluk Yemon dan membayangkan kalau Mama ada di sampingku." Frank mulai mencengkeram kepala. Pikirannya terus berputar cepat. Sebelum akal sehatnya terkikis habis, ia memeriksa data pribadi Kara. Dulu, ia menahan diri agar tidak terlalu memedulikan gadis itu. Namun kini, ia tidak bisa. Apa pun konsekuensinya, sebesar apa pun rasa bersalah yang harus ditanggungnya, Frank harus siap. Begitu data Kara terakses, mata Frank menyipit. Tidak ada informasi lain selain tanggal lahir, riwayat kerja, riwayat prestasi, dan riwayat pendidikan. “Apa ini? Mengapa tidak ada informasi mengenai s
Salah seorang perawat membuka mulut, berniat menjelaskan. Akan tetapi, Kara lebih dulu menyela. “Sekarang, apakah boleh saya meminta kerja sama kalian? Saya sangat berharap tim keamanan bersedia menjaga rumah sakit ini dari orang-orang yang mencurigakan, terutama yang mengenakan baju dan topi hitam. Jika tim keamanan membutuhkan uang lembur, saya bersedia membayarnya.” Perawat yang lebih senior cepat-cepat meraih tangan Kara. Jika direktur mereka meminta Louis dipindahkan ke kamar terbaik, bukankah itu berarti keluarga mereka spesial? “Nyonya, Anda tidak perlu khawatir. Kami akan memastikan keamanan rumah sakit ini terjaga dengan sangat baik, dan Anda tidak perlu membayar. Keselamatan pasien adalah prioritas kami.” Kara menyunggingkan senyum kecil di wajahnya yang pucat. Sorot matanya penuh dengan harapan. “Terima kasih banyak, Sus. Terima kasih.” Begitu perawat pergi, Kara langsung masuk dan mengunci pintu. Ia bahkan mengganjalnya dengan kurs
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum