Salah seorang perawat membuka mulut, berniat menjelaskan. Akan tetapi, Kara lebih dulu menyela.
“Sekarang, apakah boleh saya meminta kerja sama kalian? Saya sangat berharap tim keamanan bersedia menjaga rumah sakit ini dari orang-orang yang mencurigakan, terutama yang mengenakan baju dan topi hitam. Jika tim keamanan membutuhkan uang lembur, saya bersedia membayarnya.”
Perawat yang lebih senior cepat-cepat meraih tangan Kara. Jika direktur mereka meminta Louis dipindahkan ke kamar terbaik, bukankah itu berarti keluarga mereka spesial?
“Nyonya, Anda tidak perlu khawatir. Kami akan memastikan keamanan rumah sakit ini terjaga dengan sangat baik, dan Anda tidak perlu membayar. Keselamatan pasien adalah prioritas kami.”
Kara menyunggingkan senyum kecil di wajahnya yang pucat. Sorot matanya penuh dengan harapan. “Terima kasih banyak, Sus. Terima kasih.”
Begitu perawat pergi, Kara langsung masuk dan mengunci pintu. Ia bahkan mengganjalnya dengan kurs
"Apakah mereka kembar?" Frank menurunkan sebelah alis. "Maaf, Tuan?" Jeremy gagal mengendalikan ekspresi. Kata-kata si bos bagaikan peluru yang menembus jantungnya. "Kedua anak yang kau lihat itu, apakah mereka kembar? Apakah kau pernah bertemu mereka sebelumnya? Mungkin di perpustakaan, restoran, atau di jalan?" Jeremy tidak berani bernapas, takut membocorkan kejujuran yang mungkin belum tepat untuk diungkapkan. Beruntung, Kara tiba-tiba muncul di balik kaca. Frank spontan menoleh dan menegakkan punggung. "Kara," desahnya ringan. Selang seulas senyuman, ia melirik asistennya. "Cepat panggil dia kemari." Jeremy bergegas melaksanakan perintah. Ia lega masa kritisnya telah berlalu. "Nona ...." Ucapan Jeremy terhenti. Ada banyak telinga di sekitarnya. Ia tidak mungkin memperingatkan Kara sekarang. “Tuan memanggil Anda,” tuturnya dengan penuh penekanan. Ia berharap Kara bisa menangkap kode yang dikirimkan lewat tatapan mata dan nada suara. Kara menghela napas. Ia benar-benar le
Mendengar teriakan itu, semua orang tersentak. “Kara?” Dengan raut tegang dan mata lebar, Frank dan Jeremy berlari menuju pantry. Beberapa orang pengawal tiba lebih dulu. Di sana, mereka menemukan Kara telah memucat. Ia berdiri merapat pada dinding. Tangannya mendekap diri sendiri, sedangkan tatapannya terpaku pada kotak yang telah tergeletak di atas lantai. “Ada apa ini?” Alis Frank berkerut tipis. Seorang pengawal bergegas membawakan kotak tanpa penutup itu. Ternyata di dalamnya, dua anak kucing yang bersimbah darah sudah tidak bernyawa. Frank sontak mengepalkan tangan. “Siapa pengirimnya?” Pengawal yang lain menunjuk sepucuk kertas di tangan Kara. Tanpa membuang waktu, Frank menghampiri sang wanita. “Kara, kau baik-baik saja?” Ia menyentuh lengan sang sekretaris. Kara belum mampu menjawab. Bibirnya bergetar, sedangkan matanya menatap Frank seolah mengharapkan pertolongan. “Jangan takut, Kara. Ada banyak orang d
"Ini pelabuhan," celetuk Emily datar. Louis sepakat, tetapi tidak sempat mengiyakan. Fokusnya tertuju pada seorang pria berpakaian seperti perawat yang sedang berbicara dengan sekelompok pria berjas. "Itu penjahatnya!" "Penjahat?" Emily menaikkan alis. "Kamu benar-benar lupa? Dia yang menutupi mulutmu dengan sapu tangan." Gadis mungil itu menggeleng lemah. "Dia menutup mulutku dari belakang. Bagaimana aku bisa melihatnya?" "Benar juga," gumam Louis seraya mengerucutkan bibir. "Tapi sekarang, kamu sudah melihatnya. Kamu bisa lebih hati-hati." Ekspresi Emily tidak berubah. Ia seolah tak peduli dengan penjahat itu. "Aku mau pulang." Louis mengelus pipi sang adik."Aku juga. Bersabarlah! Mama pasti akan menjemput kita. Sekarang, kita harus kabur dari orang itu dan mencari tempat yang aman." "Seperti dalam buku cerita?" Mata Louis semakin membara. "Benar! Kita bisa mencontoh
"Di mana mereka?" desah Frank spontan. Carlos berkedip tanpa ekspresi. "Kami sudah mengamankan belasan anak dari kapal. Sayangnya, tidak satu pun dari mereka kembar." Kara menghela napas tak percaya. Kakinya tanpa sadar bergerak mundur. "Apakah penculik itu membawa mereka? "Tidak," sanggah Carlos sebelum menarik napas singkat. "Ada saksi yang melihat dua orang anak berlari keluar dari mobil. Sekelompok orang kemudian menyebar mencari mereka. Si penculik kabur tanpa membawa siapa-siapa." "Mereka masih di sini?" simpul Frank dengan alis berkerut. Sambil membawa Yemon dalam dekapan, Kara mulai berjalan dan memeriksa ke segala arah. "Sayang, Mama sudah di sini. Kalian tidak perlu bersembunyi lagi. Kemarilah! Sayang?" Malangnya, tidak ada suara lucu yang menjawab. Orang-orang yang mendengar teriakan Kara hanya menatap dengan penuh keprihatinan. Rahang Frank berdenyut-denyut. Ia tidak terima jika harus kehilangan anak-anaknya. Ia bahkan belum mengenal mereka. Setelah mendengus, ia
"Malaikat Kecil ...." Kara menjatuhkan lutut di atas kargo. Getarannya membuat si Kembar menyingsingkan mata. "Mama?" desah Louis sembari mengembangkan senyum. Sambil menjaga tangan kirinya, ia beranjak duduk.Emily ikut bangkit. Ia masih berkedip-kedip tanpa suara. Setelah berhasil memandangi wajah Kara dengan jelas, wajahnya langsung berubah cerah. "Mama!"Kara menyambut dekapan hangat sang putri dengan tawa samar. Air matanya tak lagi terbendung. "Anak Mama memang pemberani! Kalian hebat sekali bisa naik ke atas sini," ujar Kara dengan suara gemetar. Si Kembar telah melalui hal yang mengerikan. Bukankah jauh lebih baik jika ia memberi mereka pujian dibandingkan penyesalan dan kekhawatiran?"Ini ide Louis. Aku cukup gila untuk mau mengikutinya ke atas sini," tutur Emily dengan bibir yang mencebik. "Begitukah?" Kara menggeser pandangan kaburnya ke arah sang putra. Setelah menyeka air mata, ia berbisik, "Itu ide yang sangat brilian, Jagoan."Louis terkekeh. Deretan gigi putihnya t
"Baiklah," celetuk Louis membuyarkan lamunan sang ibu. "Kali ini, kuakui kalau kau bukan orang jahat. Maaf karena sempat mencurigaimu, Tuan Galak." Wajah Frank berubah kecut mendengar julukan itu. Memenangkan hati Louis sepertinya akan jauh lebih sulit dibandingkan Emily. "Aku tidak galak, Jagoan Kecil. Kau saja yang belum mengenalku." Tiba-tiba, Frank merentangkan sebelah tangan. Matanya berkaca-kaca."Apakah kau tidak ingin memelukku juga?" Sebelum Louis sempat memutuskan, sang ibu menahannya. "Sayang, dari mana kalian mengenal laki-laki ini?" tanya Kara was-was. "Dia laki-laki yang ditabrak Emily," sahut Louis ringan. Kara pun tertegun. Ia tidak menduga bahwa takdir punya jalan sendiri untuk mempertemukan anak-anak dengan ayah mereka. Frank mengerti makna di balik ekspresi itu. Sambil menggendong Emily, ia berjalan menuju Kara. "Bagaimana kalau kita turun sekarang? Kita haru
Louis mengangkat sebelah bahu. "Entahlah. Aku tidak tahu. Kalau kau bisa membuktikan bahwa kau benar-benar orang baik selama 50 tahun ke depan, mungkin aku bisa mulai menyukaimu." Frank tersentak dan melirik sang putra. "Kenapa 50 tahun? Itu lama sekali." "Karena usia harapan hidup manusia 72 tahun," terang Louis sambil tersenyum usil.Ia sudah memperkirakan usia sang pria pasti lebih dari 22 tahun. "Kau berencana membenciku selama aku masih hidup?" Melihat mata Frank terbelalak, ia tertawa puas. "Kalau kau mau rencana itu berubah, berhentilah membuat Mama bekerja terlalu keras. Dengan begitu, aku akan merestui pertemananmu dengan Emily." "Louis, kalau kamu tidak suka dengan Tuan Harper, itu berarti kamu tidak boleh meminjam ponsel Mama lagi. Itu pemberiannya. Apakah kamu bisa?" celetuk si gadis kecil sambil menggoyang-goyangkan kepala. Louis mengerucutkan bibir. "Bisa. Jika tanganku sudah sembuh, aku bisa bermain rubik dan
Jeremy menelan ludah. Ia tidak menyangka Emily bisa mengenalinya. Apakah ia kurang teliti menutupi wajah saat gadis mungil itu menumpang di mobilnya? Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri untuk mendekat. “Tuan?” Frank mendengus. Sambil tersenyum miring, ia memutar sedikit kepalanya ke arah sang balita. “Di mana kamu bertemu dengan Tuan Sopir ini, Emily?” “Aku, Mama, dan Louis pernah menumpang di mobilnya untuk pulang dari perpustakaan. Pantas saja aku merasa pernah melihatnya. Ternyata, dia anak buahmu?” Mata bulat yang manis itu berkedip lugu. Frank tersenyum remeh. “Ya, dia asistenku, asisten yang sangat setia.” Sekujur tubuh Jeremy menegang. Ia tidak berani bergerak ataupun mengubah ekspresi. Berkedip pun terasa salah baginya. “Philip,” Frank menggeser pandangan. Pengawal termuda pun bergegas menghampiri. “Ya, Tuan?” “Tolong jaga anak manis ini. Aku harus mengurus sesuatu yang genting sekarang.” “Siap, Tuan.” Sedetik kemudian, lengkung bibir Frank berubah ma
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum