“Sadarlah, Tuan Wilson. Yang kau lakukan ini salah!” pekik Kara sambil mencoba untuk menendang. Sayangnya, gaunnya tertimpa oleh lutut Ben. Geraknya sangat terbatas. “Ayolah, Kara ... berhentilah melawan. Biarkan obat yang mengalir dalam darah kita bereaksi dengan sempurna. Aku tidak akan kasar, dan jangan lupa kalau aku akan bertanggung jawab.” Kara terus memberontak. Ia bisa merasakan darahnya berdesir dan debar jantungnya yang menggila. Namun, ia tidak mau kalah. “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku tidak mau membuat anak-anakku malu.” Kara terpejam erat, berusaha menyingkirkan bayangan kotor dari benaknya. Ia tidak ingin terjebak dilema karena jelas, apa yang diinginkan oleh tubuhnya sangat bertentangan dengan hati dan logika. Tiba-tiba, pintu terbuka lebar. Kara spontan menoleh dengan mata terbelalak. Begitu mendapati Frank berdiri di sana dengan tangan terkepal erat, ia mendesah lega. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur melihat
“Tolong jangan bunuh aku .... Biarkan aku pergi. Aku bersumpah tidak akan muncul di hadapanmu lagi,” rintih Kara di sela desah napasnya. Senyum Frank berubah kecut. Ia kini mengerti mengapa Kara menyembunyikan identitasnya. Gadis itu benar-benar takut padanya. “Apakah yang tadi itu sakit?” Kara menelan ludah. Tanpa berpikir panjang, ia menggeleng. Otaknya hanya mampu menyampaikan kejujuran. “Bagus.” Kara mengerutkan alis. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud dari gumaman itu. “Mulai detik ini, jangan pernah mendekati pria lain selain aku. Dan sekali lagi kau membantah ucapanku,” suara Frank mendadak lembut, “aku tidak akan segan mematahkan lehermu.” Kara tidak mengerti apakah itu ancaman atau peringatan halus. Yang lebih membingungkan, mengapa ucapan Frank bertentangan dengan yang dulu? Tiba-tiba, ibu jari Frank mengelus pipi Kara. “Sekarang, apakah kau masih takut?” Rasa tidak nyaman dalam tubuhnya mendadak
“Aku sudah memberimu peringatan sebanyak tiga kali, tapi kau tidak mau lepas dariku. Apakah kau lebih senang jika melampiaskannya bersama pria lain?” tanya Frank datar. Kara menggeleng kaku. “Kalau begitu, hapuslah penyesalanmu. Bukan dirimu yang bersalah, tapi laki-laki bejat itu.” Kara terpejam meratapi harga dirinya yang jatuh. Ia kesal pada diri sendiri. Ia seharusnya lebih berhati-hati, bukan malah terjerumus ke lubang yang sama. “Kau tidak perlu malu, Kara. Kita melakukannya karena keadaan darurat.” Pernyataan itu bukannya menghibur, justru malah membuat Kara semakin terpuruk. “Kau senang telah mengubahku menjadi perempuan murahan sungguhan, hmm?” “Kenapa kau berkata begitu?” sela Frank dengan nada tak senang. “Aku tidur dengan laki-laki yang akan segera menikah,” rintih Kara sembari menumpahkan air mata. Ia sadar bahwa rencana B-nya juga telah hancur. Rowan Harper tidak mungkin membiarkannya lolos lagi. Sekarang ia bingung bagaimana harus melindungi si Kembar. Semua pin
“Baiklah, aku janji tidak akan mempermainkanmu lagi. Aku tidak akan memberimu tugas yang aneh-aneh ataupun menjadikanmu bahan tertawaan, dan kau tidak perlu menjadi pelayanku lagi. Aku janji.” Frank mengangguk yakin. Akan tetapi, Kara menarik napas berat. Ia tidak butuh kata-kata manis itu. “Sekarang juga, buka pintu!” “Tidak,” tolak Frank tanpa berpikir panjang. “Tidak, sebelum kau menyepakati permintaanku. Berjanjilah untuk tetap berada di sisiku.” Kara menghela napas tak percaya. “Kau gila?” “Ya, aku memang sudah gila! Sejak kau membuatku jatuh hati padamu, aku mulai tidak waras. Apakah kau masih tidak paham juga?” Suara Frank bergema, menggetarkan hati Kara. Gadis itu harus mengepalkan tangan demi mengukuhkan niatnya. “Aku tidak memintamu untuk mencintaiku. Aku hanya ingin bebas darimu,” tegasnya. “Tapi kau sudah terikat denganku. Kau bahkan sudah menandatangani kontrak, Kara. Kau ingin aku memasukkanmu ke dalam pen
Meski fokusnya tetap tertuju pada jalan, Jeremy ikut menggerakkan alis. “Apa yang Tuan katakan tentang pengawal kesepuluh?” “Dia bilang, ada satu pengawal lagi yang mengawasi secara diam-diam. Dia yang terhebat dan hanya muncul saat benar-benar dibutuhkan,” terang Kara bingung. Tiba-tiba, Jeremy mendesahkan senyum dan melirik sekilas. “Itu Tuan sendiri, Nona. Dia adalah satu-satunya murid Sean, orang yang mampu mengalahkan si monster otot itu.” Sementara Kara ternganga tanpa kata, Jeremy melanjutkan, “Saat mengetahui Anda berada dalam bahaya, Tuan marah besar. Saya beruntung masih diberi kesempatan untuk bekerja dengannya.” “Frank memintamu untuk mengelu-elukan dirinya?” Mata Kara menyipit. “Tidak, Nona,” bantah Jeremy sigap. “Saya berkata apa adanya. Tuan memang sehebat itu. Dan mengingat kemurkaannya semalam, kecurigaan saya tidak perlu diragukan lagi, Nona. Tuan memang mencintai Anda.” Mendengar pernyataan tersebut, raut Kara beruba
Saat jam istirahat tiba, Rowan masih berada di sana. Ia terus mengamati dengan beragam ekspresi. Ia baru bangkit dari kursinya ketika Kara dan si Kembar beranjak dari meja. “Apakah kalian mau pergi ke kantin?” tanyanya mendadak ramah. “Ya! Hari ini kami tidak membawa bekal karena Mama sedang libur. Kami ingin mengajak Mama mencicipi makanan di kantin,” terang Louis dengan penuh semangat. “Apakah kau mau makan bersama kami, Tuan?” Kara terbelalak. Ia tahu anak-anaknya memang sopan, tetapi ia tidak menduga bahwa sikap baik itu bisa berujung pada bahaya. Saat Kara hendak mengalihkan topik, Rowan sudah lebih dulu menerima tawaran. Ia tidak punya jalan lain selain menjaga si Kembar tetap berada di dekatnya. Beruntung, kondisi di kantin cukup ramai. Kecil kemungkinan anak-anaknya diserang di sana. “Tuan, kenapa kita langsung duduk di meja? Bukankah kita seharusnya memilih menu di sana?” tanya Louis, diiringi anggukan Emily. Telunjuknya meruncing ke arah long counter—meja panjang dekat
Dada Kara mendadak sesak. Tatapannya menerawang sejenak. Terkadang, saat sedang kelelahan bekerja atau melihat anak-anaknya bermain berdua saja, ia berharap dapat menemukan seorang pria baik hati yang bersedia menjadi ayah mereka. Bersama-sama, mereka bisa menjadi keluarga utuh yang bahagia. Akan tetapi, pria itu jelas bukan bosnya. Sekalipun Frank Harper adalah ayah si Kembar, mustahil mereka bisa bersama. Rintangan di antara mereka terlalu besar. “Untuk apa?” Kara mengangkat dagu dan tersenyum pahit. “Laki-laki itu sudah membuang anak-anaknya sejak awal, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Anak-anakku tidak layak diperlakukan seperti benda yang tidak berharga. Mereka pantas bahagia.” Melihat mata Kara berkaca-kaca, Rowan merasa menang. “Begitukah? Lantas, apakah sekarang anak-anakmu bahagia?” Nada bicaranya penuh dengan hinaan. Sambil mencibir, ia kembali menyoroti Louis dan Emily. “Lihatlah pakaian itu .... Kurasa seragam sekolah nant
Rowan mengumpat dalam hati. Ia merasa seperti disindir oleh balita itu. “Sean adalah asistenku. Dia tentu tidak selevel untuk makan semeja denganku.” Tiba-tiba, ia berdeham. “Sean sedang puasa. Dia baru akan makan sore nanti,” jawabnya ketus. Louis pun mengangguk. Setelah membaca doa, ia mulai makan bersama Emily dan sang ibu. Rowan hanya memakan sedikit salad. Ketika selesai, masih banyak makanan yang tersisa. Mereka kemudian memutuskan untuk membungkusnya. “Terima kasih banyak, Tuan Baik Hati. Nanti kalau kami mendapat rejeki, kami pasti akan mentraktir Anda,” ucap Louis mewakili ibu dan adiknya. Rowan tersenyum meremehkan. “Baiklah, akan kutunggu ... kapan kalian mendapat rejeki itu.” Sedetik kemudian, ia menggeser tatapannya kepada Kara. “Tolong ingat kesepakatan kita baik-baik. Pastikan semua tetap terkendali.” Kara tersenyum meremehkan. “Mudah bagi saya untuk memegang omongan, Tuan. Pastikan saja calon cucu menantu Anda