Jeng jeng jeeeng .... Menurut kalian, apa yang akan terjadi selanjutnya?
“Tuan, berhentilah menjambakku! Aku ini wanita. Apa kau tidak malu sebagai pria?” desah Kara putus-putus. Baru beberapa detik ia “bergulat” dengan Frank, tetapi wajahnya sudah merah dan keringat membutir di keningnya. “Kau pikir aku akan diam saja setelah kau menamparku?” Frank masih mengincar ikat rambut Kara. Entah bagaimana gadis itu mengikatnya, ia masih belum berhasil mendapatkannya. Lelah menahan serangan, Kara akhirnya melompat dan menjambak rambut Frank dengan satu tangan. Pria itu spontan memiringkan kepala mengimbangi arah tarikan. Saat itulah, matanya terbelalak. Entah sejak kapan, sang kakek berdiri di pintu dengan mata melotot tak percaya. “Frank Harper!” Kara tersentak mendengar nada suara yang mendidih tersebut. Ia menoleh ke samping. Seorang pria tua sedang menatapnya seperti seekor singa yang bersiap mencabik mangsa. “Kakek?” desah Frank lirih. Mendengar itu, Kara sontak menahan napas dan melepaskan cengkeraman. Pria y
“Aku baik-baik saja,” ujar Kara lemah. Kakinya berusaha tegak, sementara matanya berkedip-kedip melawan pusing. “Tamparan kedua!” Frank melirik kakeknya dengan tatapan sinis. “Cukup, Kek! Kau tidak malu menyakiti seorang gadis seperti ini?” “Dia sendiri yang menginginkannya. Kalau berhenti sampai di sini, dia harus memilih satu nama yang bisa diselamatkan.” Tanpa terduga, Kara mendorong tangan Frank untuk melepas lengannya. Ia memang ketakutan dan kesakitan. Namun, seorang Kara tidak akan bisa hidup tenang jika orang lain sengsara akibat perbuatannya. “Silakan dilanjutkan,” ucapnya kepada Sean. Plak! Tamparan kedua terdengar lebih nyaring. Telinga Kara sampai berdenging. Rasa sakitnya pun lebih dahsyat. Ia kini terpejam dan tidak mampu lagi menjaga keseimbangan. Kalau saja Frank terlambat menangkap pinggangnya, ia pasti sudah mendarat di lantai. "Hentikan!" hardik Frank kepada Sean. Matanya telah merah membara. "Masih tersisa delapan, kenapa dihentikan?" tanya Rowan ringan.
Frank mendesah cepat. Ia telah mempertaruhkan kepercayaan sang kakek demi Kara. Mengapa gadis itu bersikap seolah hanya dirinya yang dirugikan? "Kau tahu kalau ini bukan sepenuhnya salahku, kan? Kau sendiri yang nekat menantang kakekku." "Lalu, haruskah aku membiarkan pengawalmu dipecat karena sikapmu yang kekanak-kanakan itu?" Tawa kesal Frank mulai terdengar. Ia sudah membela Kara, tetapi gadis itu malah menyindirnya? "Kau amnesia, hmm? Kau yang lebih dulu merebut kotak itu dariku. Wajar kalau aku mempertahankannya." Kara mengangguk pasrah. Ia terlalu lelah untuk berdebat. "Baiklah. Aku yang salah. Karena itu, tolong izinkan aku pergi sekarang. Aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku nanti. Kau tidak akan terganggu lagi olehku mulai besok.” Tepat ketika Kara hendak melangkah, Frank menahan lengannya. Sang gadis pun menatapnya sinis. “Lepaskan.” Kara menyentak lengan, tetapi Frank malah memutar tubuhnya dan menggenggam kedua pundaknya. Tatapan mereka kini bertemu. Pri
Sayangnya, ketika Kara hendak menolak, Frank masuk dengan tergesa-gesa. Ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan dan mengakhiri panggilan.“Kara, cepatlah kemari!” perintah Frank sembari menyudutkan pakaian dalam lemari ke satu sisi.Melihat kegelisahan pria itu, Kara mengerutkan alis. “Ada apa?”Tiba-tiba, Frank menariknya agar berjalan lebih cepat. “Kakekku datang. Dia sudah memasuki gerbang utama. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Kita lebih baik menghindar.”Jantung Kara sontak berdegup kencang. Matanya ikut melebar. “Menghindar ke mana?”Tanpa terduga, Frank menariknya masuk ke dalam lemari.“Apakah ini pintu rahasia? Ada jalan keluar dari sini?” bisik Kara sembari memperhatikan bilik kecil yang gelap itu. Lebarnya hanya cukup untuk mereka bergerak sedikit.Dari balik tubuh Kara, Frank sibuk mengembalikan pakaian ke posisi semula. Ia tidak sempat menjawab. Setelah pakaian kembali tertata, ia memutar pundak sekretarisnya itu. “Berbaliklah!”Sedetik kemudian, sebuah p
Frank hampir tertawa melihat kelakuan Kara. Ia tidak tahu mengapa gadis itu begitu bodoh. Sekalipun bor berhasil menembus lemari, benda itu tetap tidak bisa menjangkau mereka.Meski demikian, ia tetap mendekap gadis itu, seolah-olah mata bor harus menembus lengan kekarnya dulu sebelum mencapai punggungnya. Sesekali, ia juga membelai rambut Kara.Kara memiliki tinggi 170 cm, tetapi dalam dekapan Frank Harper, tubuhnya terlihat mungil. Ia kini seperti boneka yang berkedip-kedip menyimak detak jantung pemiliknya.Selang beberapa saat, tidak ada apa pun yang terjadi pada dinding-dinding yang mengelilingi mereka. Para pengawal pun tidak lagi terdengar, hanya suara Rowan yang menggerutu tak jelas.“Cucuku!” Pria tua itu kembali menaikkan volume bicara. “Aku tahu kau pasti bersembunyi di suatu tempat. Jangan merasa menang karena aku tidak akan pergi sebelum kau keluar.”Kekhawatiran Kara kembali melonjak. Berada dalam ruang sempit itu selama 30 menit saja terasa bagaikan seabad, apalagi berj
“Ugh, Kara ....” Frank tertawa kecil. Darahnya telah berdesir semakin cepat. Udara pun memanas. Tangannya tidak lagi mengikuti panduan sang wanita, melainkan bergerak sesuka hatinya, menelusuri setiap lekuk yang menggugah jiwa. "Kau yakin kita tidak akan melakukan ini untuk kedua kalinya? Bagaimana kalau aku mau terus mengulanginya?" Kara menggeleng samar. Telunjuk lentiknya kini dengan manja menelusuri dada sang pria. "Anda sudah punya tunangan, Tuan, dan kakek Anda pasti tidak akan senang." Sedetik kemudian, gadis itu membungkuk dan menggigit telinga sang CEO dengan bibir. "Karena itu, nikmatilah. Aku tidak akan bermurah hati lagi di lain waktu. Ini mungkin saja menjadi momen terakhir kita berdua." Dalam sekejap, keceriaan Frank pudar. Ia tidak bisa lagi merasakan kenikmatan. “Momen terakhir? Apa maksudmu?” “Ini adalah momen perpisahan kita berdua, Tuan. Setelah ini, aku akan menghilang dari kehidupan Anda.” Hati Frank sontak berubah getir. Ia tidak ingin Kara menjauh darin
Jeremy menggeleng samar. "Tidak, Tuan. Saya hanya merasa kasihan padanya. Sebelumnya, dia kesulitan karena Anda. Sekarang, dia terancam oleh kakek Anda." Bibir Frank mengerucut. Kepalanya menggeleng kaku. "Aku tidak pernah mempersulit hidupnya. Dia saja yang terlalu bodoh dan ceroboh. Aku hanya memberikan hukuman yang setimpal," sangkal Frank tegas. Padahal dalam hati, ia menyesal setengah mati. "Jadi sekarang dia di mana, Tuan? Kenapa komputernya tidak menyala?" Frank mengangkat bahu. "Mungkin dia sedang mengurung diri di kamar. Dia habis ditampar Sean. Gadis lemah sepertinya pasti butuh waktu lama untuk memulihkan mental." Wajah Jeremy semakin kusut. Tampak jelas bahwa ada sesuatu yang membebani pikirannya. "Kenapa kau terus menanyakan Kara? Kau khawatir dia terus tersandung masalah? Kau tidak diam-diam menyukainya, kan?” Frank berusaha keras untuk terdengar tidak peduli. Namun, begitu Jeremy menganggukkan kepala, kepalsuannya terkelupas. "Ya, saya khawatir dan kasihan p
“Kalian sudah tidak sabar ingin bersekolah di sana, hmm?” selidik Kara dengan suara yang agak bergetar. Beruntung, si Kembar tidak menangkapnya. Dua balita mungil berpipi gembul itu mengangguk secara bersamaan. “Ya, kudengar, taman bermain di sana canggih. Ada banyak mainan berteknologi tinggi. Aku bisa mengajak teman-teman baruku untuk mencobanya saat jam istirahat nanti.” “Kudengar, perpustakaannya juga keren. Ada banyak karya seni dipajang di lorongnya. Mungkin saja, aku bisa menciptakan sesuatu untuk dipajang di sana nanti.” Kara menggigit bibir dan melebarkan sudutnya. Anak-anak tidak boleh mengetahui kegundahan hatinya. “Mama beruntung sekali. Dua malaikat kecil Mama tidak pernah berhenti membuat Mama bahagia.” “Kami juga beruntung punya Mama yang hebat,” celetuk Louis sambil meninggikan leher. “Benar! Mama tidak pernah membuat kami sedih. Karena itu, kami janji tidak akan membuat Mama bersedih,” lanjut Emily sembari menunjukkan deretan gigi mungilnya. Kara merentangkan