แชร์

27. Membangkang

ผู้แต่ง: Pixie
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-29 19:42:56

"Omong kosong. Dia menyandang beberapa gelar juga, sama sepertimu," tegas Rowan dengan mata melotot yang mulai memerah. 

Alih-alih ciut, Frank malah menimpali, "Dengan sogokan. Detektifku tidak mungkin salah menyelidikinya. Selain itu, sifatnya juga tidak cocok untuk menjadi ibu untuk anak-anakku."

"Frank Harper, jaga bicaramu! Isabela adalah putri pertama dari keluarga Hall, model ternama yang dikenal banyak orang. Para pengusaha muda berlomba-lomba untuk mendekatinya. Adakah perempuan lain yang lebih pantas untuk disandingkan denganmu?"

Frank memalingkan muka sekilas. Bayangan Kara baru saja melintas dalam benaknya. Mungkin itulah yang membuatnya tidak rasional dan gagal menahan kejujuran.

"Kakek tahu? Aku sudah berulang kali berusaha untuk mencintai Isabela. Tapi hasilnya nihil. Hatiku sama sekali tidak tergetar olehnya."

Sekali lagi, si pria tua menggebrak meja.

"Persetan dengan cinta. Yang kau butuhkan adalah seorang ist

บทที่ถูกล็อก
อ่านต่อเรื่องนี้บน Application
ความคิดเห็น (3)
goodnovel comment avatar
Tekla Mailangkay
mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Sitti Aisah Icha
rinduku mendera hati.........
goodnovel comment avatar
Deena Beibby
alur ceritanya mirip spti alur cerita d app sebelah,,, apakh penulis yg sma atau,,,,,
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   28. Jangan Pergi

    Sudah beberapa jam Kara duduk di depan laptop, mengumpulkan informasi lowongan kerja. Namun, tidak ada satu pun yang sesuai dengan kualifikasinya. Statusnya sebagai orang tua tunggal beranak dua jelas bukan keuntungan, apalagi catatan buruk yang sengaja ditinggalkan oleh Finnic di resume-nya. “Haruskah aku menghubungi Ben Wilson? Aku bisa mengajukan diri menjadi pelayan di restorannya. Mungkin, dia mau menerimaku demi si Kembar.” Kara pun mencari kartu nama Ben dalam tas. Namun kemudian, ia teringat. Ia menyelipkan kartu tersebut dalam buku catatan di meja kerjanya. "Haruskah aku pergi mengambilnya? Barang-barangku juga masih di sana." Kara melipat tangan dan mengetuk-ngetuk siku dengan pulpen. Seingatnya, Frank sedang memiliki jadwal di luar kantor. Selang satu helaan napas panjang, ia pun bergegas. Setibanya di lantai 10 Savior Group Building, Kara menghela napas lega. Tidak ada satu pun pengawal yang berjaga di sana. Berpikir

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   29. Kekhawatiran yang Tulus

    Kara mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya dikuncir rapi, persis seperti anak magang. Frank dapat menebak dengan mudah bahwa Kara sedang mencari pekerjaan.“Sekretaris bodoh itu ... dia telah menyelamatkanku?”Ia mendesah tak percaya. Namun, setelah mengeraskan rahang, ia bangkit dengan raut dingin.“Apa yang kau lakukan di kursiku?”Kara menoleh. Tangannya berhenti mencatat, tetapi perhatiannya tetap tertuju pada telepon yang tersangkut di antara leher dan pundaknya. Setelah panggilan berakhir, barulah ia menghampiri Frank bersama selembar kertas.“Apakah Anda sudah membaik, Tuan?”Kekhawatiran Kara terdengar tulus. Frank nyaris terenyuh.“Sudah.” Tidak ada ucapan terima kasih yang menyusul.“Syukurlah,” gumam Kara tak terduga. Kemudian, ia menyerahkan kertas di tangannya.“Saya hendak pergi tadi. Tujuan saya kemari hanya untuk mengamb

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   30. Janji Baru

    Kara menelan ludah. Bau ancaman semakin tajam di hidungnya. “Tapi, s-saya sudah menyelamatkan Anda. Kalau saya berniat untuk mencelakakan Anda, apakah mungkin Anda masih bernapas? Lagi pula, saya sudah berjanji tidak akan memberitahukan hal ini kepada siapa pun.” “Itu juga yang dikatakan oleh orang-orang di restoran itu dulu, termasuk pelayan yang mengkhianati janjinya. Tapi mereka berakhir mengenaskan.” Kara mendesah berat. Keringat dingin mulai membutir di dahinya. “Tapi saya berbeda dengan mereka. Saya tidak akan ingkar.” “Bagaimana caramu membuktikannya? Haruskah aku memotong lidah dan tanganmu supaya kau tidak bisa meninggalkan pesan?” Kara spontan menggeleng. “Lalu, bagaimana? Bagaimana caramu memastikan kalau rahasia itu aman bersamamu?” Bibir Kara bergetar hebat. Akan tetapi, tidak satu pun kata lolos darinya. Tanpa terduga, bibir sang CEO melengkung miring. “Bagaimana kalau kau terus mengabdi padaku? De

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   31. Sentuhan Kara

    Frank berjalan ke arah Kara dengan raut tak senang. Ia hanya mengenakan jubah mandi. Butir air masih melekat pada rambutnya. Padahal, tangannya memegang handuk setengah kering. “Kenapa diam saja? Siapa itu?” Sekali lagi, Kara tersentak. “Itu ....” "Apakah itu kekasihmu?" Kara pun membeku. Ia mengira kalau Frank telah mendengar percakapannya lebih awal.Ternyata tidak? "Apakah Anda peduli kalau saya memiliki kekasih?" "Tentu saja. Ini masih jam kerja. Ingat poin nomor tiga. Jaga profesionalitas." Kara nyaris memuncratkan tawa. Namun, demi menjaga sandiwaranya, ia tertunduk menyimpan ponsel ke dalam tas, lalu berdiri di hadapan tuannya. "Apa tugas saya sekarang?" "Keringkan rambutku." Kara terbelalak. Itu pekerjaan yang mudah. Mengapa Frank menyuruhnya? Meski demikian, ia tetap melaksanakannya tanpa protes. "Sekarang apa?" Tiba-tiba, Frank duduk di tepi ranjang dan membuka

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   32. Kemesraan dalam Limosin

    Frank terbelalak menatap Kara. Gadis itu telah membungkuk dan menutupi leher dengan kedua tangan. “Sepertinya dia tersengat lebah,” desah salah satu pengawal. “Anda sebaiknya menunggu di dalam, Tuan. Kami akan membawakan baju pelindung untuk Anda.” Usai mengangguk, Frank bergegas ke mobil. Namun, melihat Kara terpaku pada posisi yang sama, ia pun menarik gadis itu untuk ikut bersamanya. “Hei,” panggilnya canggung, “apakah kau baik-baik saja?” Kara tidak menegakkan kepala. Ia terus menyembunyikan wajahnya yang basah dan menggeleng lemah. “Sakit ....” Napas Frank berubah berat mendengar rintihan Kara. Haruskah ia menolongnya? Namun, ia belum pernah memberikan perhatian sebesar itu kepada perempuan mana pun. Apakah Kara pantas menjadi yang pertama baginya? “Rasanya sakit sekali, Tuan,” rintih Kara lagi. Getar suaranya menyentuh hati Frank. “Mana? Perlihatkan kepadaku.” Kara menurunkan tangan dan bersusah payah mengangkat wajah. Frank kini dapat melihat dua titik merah di leher

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   33. Jejak Bibir Frank

    “Kurasa, kau lebih baik menunggu di sini. Aku tidak mau gadis merepotkan sepertimu mengganggu kinerjaku di lapangan,” usul Frank seraya mengangguk kaku. Ia juga tidak berani menatap Kara, takut dimintai penjelasan tentang apa yang baru saja ia lakukan. “Ya, Anda benar. Saya pasti akan merepotkan kalau ikut ke sana.” Kara berusaha mengangguk, tetapi gagal. Jejak bibir Frank di lehernya seakan telah mengacaukan jalur sarafnya. Tanpa tambahan kata, Frank keluar dari mobil mewahnya. Ia bahkan memilih untuk mengenakan baju pelindung di luar. Dirinya dan Kara memang butuh jarak. Jika tidak, kecanggungan bisa saja melumpuhkan mereka. Seperginya sang CEO, Kara langsung mengambil cermin dari tas. Ia ingin tahu bagaimana kondisi lehernya. Begitu melihat lokasi sengatan lebah, ia terkesiap. “Kenapa malah jadi ada tiga?” Ada satu titik baru di dekat dua bekas sengatan lebah itu. Warnanya sama merah, hanya saja ... itu tidak bengkak dan buka

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   34. Godaan Pakaian Ketat

    "Halo, Malaikat Kecil." Melihat Kara merentangkan tangan di depan pintu masuk, mata Louis dan Emily berbinar. "Mama?" Mereka pun berlari menyambut dekapan sang ibu. "Kenapa Mama pulang cepat? Memangnya CEO jahat itu tidak marah?" tanya Louis. "Dia tidak sejahat itu, Sayang." Kara membelai kepala putranya. "Buktinya, Mama bisa bersama kalian sekarang." "Badan Mama panas. Apakah Mama sakit?" Emily menempelkan telapak sang ibu di pipi gembulnya. "Dan apa yang tertempel di leher Mama itu?" Louis mendongak menunjuk plester. Kara sontak tersipu mengingat penyebabnya. Setelah masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa, ia mencoba mengalihkan perhatian anak-anaknya. "Apa kalian tahu ke mana Mama pergi pagi ini?" "Apakah kebun yang indah?" "Pameran mobil?" Kara menggeleng dan tersenyum penuh arti. "Peternakan lebah." Si Kembar kompak membulatkan mulut mereka. "Benarkah? Apakah M

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   35. Terengah-engah dan Berkeringat

    "Kara, waktumu habis. Keluarlah!" Alih-alih menurut, Kara malah meringis menatap bayangannya di cermin. "Tuan, kenapa memberi saya pakaian ini?" "Kita akan berolahraga. Haruskah kau mengenakan rok dan kemeja? Cepat keluar! Waktu kita terbatas." "Tapi ...." Kesabaran Frank habis. Ia tahu Kara sudah selesai ganti baju. Karena itu, ia nekat mendorong pintu, bermaksud menyeret sekretarisnya keluar. Namun, begitu matanya menangkap bentuk tubuh yang begitu menggiurkan, Frank batal melangkah. Napasnya tertahan dan ia sekeras mungkin berjuang untuk tidak menelan ludah. "Jangan sampai aku menyeretmu. Cepat keluar." Suaranya terdengar aneh. Beruntung, gadis yang tertunduk itu tidak menyimak. Ia mengambil sepatu lalu berlari ke tepi kolam. Di sana, Kara membungkuk untuk mengenakan sepatu. Mata Frank tak bisa terbuka lebih lebar lagi saat melihat pemandangan itu. Tampak belakang Kara membuat keringatnya semakin mengucur. Ia b

บทล่าสุด

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status