“Bukankah kemarin saya sudah menjadi pelayan pribadi Anda saat menggantikan Jeremy?” Suara Kara serak. Kerongkongannya panas.
“Itu asisten pribadi. Yang sedang kita bahas adalah pelayan pribadi. Dari detik aku membuka mata hingga detik aku memejamkan mata, aku ingin kau selalu siaga.”
Kara berusaha memaksakan senyum, tetapi sudut bibirnya terlalu berat. Tangisan si Kembar telah membayangi pikirannya. Ia tidak mungkin mendedikasikan seluruh waktu untuk Frank, sementara anak-anaknya dititipkan 24 jam kepada sang ibu.
“Saya harus selalu melayani Anda selama tiga bulan ke depan? Tidakkah Anda merasa itu berlebihan?”
“Kau tidak bersedia? Kalau begitu, nikmatilah tiga bulanmu sebagai sekretaris bodoh yang tidak digaji.”
Kara tanpa sadar melipat tangan dan mencengkeram siku. Gayanya persis seperti Emily saat berhadapan dengan Frank. Beruntung, laki-laki itu tidak menyadarinya. Ia sudah dibutakan oleh rasa kesal terhadap sekretarisnya itu.
Siang harinya, Kara mengikuti Frank ke sebuah tempat yang menyerupai pabrik tekstil mini. Seorang wanita paruh baya berpakaian rapi menyambut mereka di sana. Ia dengan sigap menjelaskan tentang perkembangan prototipe B-16. Mengetahui produk itu hanya sebuah kemeja biotekstil, Kara diam-diam lega. “Haruskah kita memulai uji cobanya sekarang, Tuan? Peragawati yang bekerja sama dengan kita sudah siap.” “Peragawati?” Tatapan Frank menyipit dan bergeser ke arah Kara. “Untuk apa menyewa peragawati dari luar? Sekretarisku bisa melakukannya.” Sang manajer menaikkan alis. Dengan mata lebar, ia memperhatikan tubuh Kara. “Tapi—” “Baiklah, saya akan melakukannya,” sahut Kara dengan percaya diri. Ia yakin bahwa prototipe itu tidak akan membahayakan nyawanya seperti kemarin. Mendengar persetujuan itu, sang manajer mulai panik. Namun, ia tidak berkutik. Frank Harper telah memberinya isyarat untuk mulai lewat gerak jari. Awalnya, Kara tidak menganggap
"Nyonya Swan." Sang manajer bergegas mendekat. Ia sesungguhnya sempat heran mengapa sang CEO meminta satu orang saja untuk mengurus uji coba. Namun, setelah menyaksikan kemalangan Kara, ia mengerti. Gadis itu pasti sudah membuat Frank Harper murka sehingga dihukum sedemikian "sadis". "Kerah tegak ternyata tidak cocok untuk bahan selembut ini. Gantilah dengan model lain. Lalu, kancing-kancing ini ...." Frank menelusuri garis kancing dengan bayangan jari. Meski pria itu tidak menyentuh, Kara tetap tertunduk menahan napas. Wajahnya sudah lebih merah dari tomat. "Carilah cara agar pemasangannya tidak terkesan berantakan, dan sediakan beberapa variasi lingkar dada untuk wanita." Saat itulah, sebuah kancing terempas dari benangnya. Keseksian sang sekretaris langsung terekspos dan Frank tidak sempat mengalihkan pandangan. Ia seketika berdebar dan tanpa sadar menahan napas. Kara tidak mampu lagi mengatasi rasa malunya. Ia bergegas lari ke balik tirai. Air mata menetes di pipinya. Seka
Wajah Frank merah padam. Dari semua serangan yang pernah ia alami, belum pernah ada yang menargetkan titik itu. Sekarang, ia harus marah kepada siapa? Para pengawal yang mengiringinya di mobil lain, sopir yang entah menghindar dari apa, atau gadis yang sedang berada dalam cengkeramannya? “M-maaf, Tuan! Saya sungguh tidak sengaja!” Pita suara Kara nyaris rusak tercekik ketakutan. Frank Harper memang layak dihajar sekeras itu. Namun, dengan posisinya yang sedang terdesak, bukankah itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri? “Tidak sengaja, katamu?” Frank menjambak rambut Kara sehingga gadis itu mendongak. “Tunggu saja! Sebentar lagi, akan kubuat kau tidak bisa bangun lagi!” Sambil meringis, Frank menekan sebuah tombol di sisi meja. “Ubah haluan! Aku ingin pulang sekarang.” Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Kara, bukan karena sakit, melainkan ngeri. Ia tidak sanggup membayangkan dirinya ditindih oleh Setan Cabul itu lagi.
“Kalau begitu, buanglah saya dari kehidupan Anda!” seru Kara lugas. “Saya akan dengan senang hati angkat kaki dari kehidupan Anda.” Saat ini, Kara tidak peduli jika dirinya akan dilempar ke laut atau ditinggalkan di hutan belantara bersama hewan-hewan buas. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan laki-laki yang selalu meredupkan dunianya. Sambil mengeraskan rahang, Frank pun beranjak dari ranjang. Kedua tangannya terkepal erat, seperti ada banyak hal yang harus ia jaga erat di dalamnya. “Mulai detik ini, kau bukan sekretaris ataupun pelayanku lagi. Dan sekeluarnya dari pintu ini, jangan pernah menampakkan batang hidungmu di hadapanku! Aku ... tidak mau lagi ... berurusan denganmu.” Napas Kara mendadak tertahan. Hatinya pedih dan pandangannya kabur terhalang memori. Ia seperti tersedot ke masa lalu. Frank Harper juga melontarkan kata-kata itu saat meninggalkannya empat tahun lalu. Pria itu tidak sedikit pun berubah. Ia tetap arogan dan tidak berperasaan. Kara pun masih sama. Ia tid
“Siapa yang membayarnya untuk menjebakku?” tanya Frank dengan mata lebar. Ia tanpa sadar menahan napas saat menantikan jawaban. “Dugaan Anda salah, Tuan. Tidak ada yang bermaksud menjebak Anda. Kedua obat itu ditujukan untuk orang lain.” Frank terkesiap. Mulutnya terbuka lebar, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kebingungan masih menyumbat otak dan tenggorokannya. “Obat tidur itu diberikan kepada seorang gadis, sedangkan obat perangsang itu diberikan kepada rekan kerjanya. Namun, rencana itu tidak berjalan lancar. Sang pria tidak sedikit pun menyentuh minumannya.” “Lalu aku yang meminumnya?” desah Frank tak percaya. Jeremy menelan ludah. “Benar, Tuan. Saat Anda datang, Anda meminta penyajian kilat. Jadi, bartender lain yang kebetulan baru bekerja dengan ceroboh memberikan minuman itu kepada Anda.” “Dia memberiku minuman bekas?” tanya Frank dengan suara menggelegar. Kemarahan kembali menggumpal dalam darah. Tangannya terkepal erat meni
Kara tertunduk menatap kain kompres yang ditekankan ke kakinya. Dengan alis yang berkerut, ia terlihat sangat fokus pada bengkaknya. Padahal sesungguhnya, ia sibuk memikirkan hari esok. Belum satu minggu ia bekerja di Savior Group, tetapi ia sudah dipecat. Ia tidak mungkin mendapat sepeser pun dari perusahaan itu. Dengan sisa nominal di rekening dan biaya hidup yang lebih tinggi di L City, apakah mereka bisa bertahan hingga bulan depan? Pesta ulang tahun yang didambakan si Kembar sudah pasti terancam batal. Yang lebih buruk, malaikat kecilnya terpaksa didaftarkan ke sekolah sederhana."Tidak adakah keajaiban untuk anak-anak sebaik mereka?" desah Kara dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah lupa untuk memindahkan kain kompresnya. "Louis dan Emily selalu menyemangatiku. Mereka tak pernah berhenti menerangi duniaku. Apakah ini balasanku sebagai seorang ibu?"Kara terpejam dan menarik napas berat. Beban besar kini bertengger di pundaknya. Andai saja air matanya dapat berubah menjadi mutiara
Para wanita sontak berpandangan. Selang satu kedipan, mereka menutupi tawa dengan sebelah tangan. Balita berkacamata hitam itu ternyata bukan hanya lucu, tetapi juga pandai bicara. "Maaf, Adik Kecil. Kalian belum cukup umur. Beasiswa ini diperuntukkan bagi murid SD, SMP, dan SMA." "Tapi di sini disebutkan kalau beasiswa ini untuk anak berprestasi." Louis menunjuk standing banner di samping pintu. "Kami berprestasi. Orang-orang selalu memuji kami sebagai anak jenius." Emily mengangguk-angguk mendukung saudara kembarnya. "Sayang sekali, ketentuannya tidak bisa diubah. Bagaimana kalau kalian kembali beberapa tahun lagi?" "Tapi kami butuh beasiswa itu sekarang," desah Emily dengan suara manisnya. Alisnya melukiskan kekhawatiran yang mendalam. "Bagaimana kalau kalian mengizinkan kami ikut seleksi? Kami bisa membuktikan kalau kami tidak kalah dari anak-anak lain yang lebih tua." Mendengar tantangan yang berani it
Frank lagi-lagi mendapati dirinya melamun memandangi meja sekretaris. Padahal, tidak ada seorang pun di sana. Baik Vivian maupun tim HRD belum mengetahui soal pemecatan Kara. Mereka belum bergerak untuk mencari penggantinya. Haruskah ia meminta sekretaris baru? Mungkin, dirinya akan berhenti menatap keluar kaca jika perempuan membosankan duduk di sana. Tiba-tiba, Frank menggeleng cepat, mengenyahkan ide tersebut. “Tidak. Aku hanya perlu mencari cara untuk menyibukkan pikiran.” “Philip!” Dalam sekejap, seorang pengawal masuk ke ruangan. “Mana makan siangku? Apakah staf administrasi itu belum kembali juga?” “Belum, Tuan. Akan saya hubungi agar lebih cepat.” Sambil mengerutkan alis, Frank mengibaskan tangan. Sang pengawal pun kembali menghilang dari pandangan dan menutup pintu. “Kenapa hari ini suram sekali?” gerutu Frank. Ia benar-benar gusar. Seharian, ia belum menghasilkan apa-apa. Ia terlalu sibuk mengusir bayangan Kara dari benak dan sekelilingnya. “Kalau begini, aku lebih