Helaan napas tak percaya lolos dari mulut Frank. Ia tidak menduga bahwa anak sekecil itu berani melawannya. "Apa yang salah dengan hari ini? Kenapa aku terus dihadapkan dengan anak kecil? Apakah takdir sedang menguji kesabaranku?" "Apa kau tahu ruangan apa ini?" tanya Frank dengan nada menantang. "Tahu," Louis mengangguk dengan percaya diri. Sedetik kemudian, telunjuknya teracung ke arah plat emas yang tertempel pada dinding. "Ini ruang VVIP, tempat untuk orang-orang penting." "Kau tahu kalau orang-orang penting biasanya membicarakan proyek rahasia di ruangan ini, bukan?" Louis berkedip lugu. "Aku tidak peduli dengan obrolan kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat." Mendapat jawaban seberani itu, mata Frank menyipit. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia memperhatikan Louis. Ia baru sadar bahwa mata anak itu juga berwarna abu-abu, sama seperti Emily dan dirinya. Ya, Louis tampak seperti potret Frank Kecil. "Apakah seseorang sengaja menerorku lewat anak-anak bermata abu-abu? Mu
“Itu karena kau terlihat sangat keren,” tutur Louis tulus. “Auramu seperti seorang CEO sukses yang dikagumi semua orang. Tapi, setelah tahu sifatmu yang tidak rasional ini, aku tidak lagi mengagumimu.”Frank tertegun. Baru kali ini, seseorang berani menyindirnya dan itu seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun.Harga dirinya terluka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak mungkin memasukkan bocah itu ke dalam karung lalu melemparnya ke laut. Dunia bisa gempar!Sementara itu, Ben terkesima mendengar bagaimana Louis mengutip potongan kalimatnya. Sambil berdecak kagum, ia menekuk lutut agar pandangan mereka sejajar.“Kau mengerti artinya rasional?” ujinya.Louis mengangguk. “Berpikiran logis. Tuduhan dari Tuan berjas biru itu sama sekali tidak masuk akal. Mana mungkin anak selucu diriku ini dibilang mata-mata?”Tawa Ben sontak mengudara. Tangannya pun tergerak untuk mengelus rambut Louis. “Tolong maafkan Tuan yang tidak rasional itu, Pria Kecil. Terkadang, dia memang
Keesokan paginya, Louis dan Emily masih membicarakan keseruan tadi malam. Bahkan di dalam bus sebelum berpisah dengan sang ibu, suara lucu mereka masih bergema. Kara tidak bisa berhenti tersenyum mengingatnya. "Setelah keluar dari sini, aku harus mencari pekerjaan yang mapan. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan lebih banyak keinginan mereka," pikir Kara sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan pena.Ia bisa merasakan tekadnya untuk menjadi orang tua yang lebih baik semakin membara. "Apa kau sedang kerasukan? Mengapa kau senyum-senyum sendiri tanpa sebab?" Kara spontan bangkit dari kursi. Ia benar-benar tidak sadar kapan Frank tiba di hadapannya.Para pengawal bahkan sudah standby di posisi masing-masing. Hanya Jeremy yang belum terlihat. "Selamat pagi, Tuan. Sarapan Anda sudah saya letakkan di meja, begitu juga dengan rangkuman email." Frank tidak menjawab. Ia terus mengamati Kara dari balik kacamata hitamnya. Emily m
Sedetik kemudian, Frank mendesah remeh. “Kau tidak sabar ingin mendapat akses ke email perusahaan, hmm?” “Bukan begitu!” Kara menggeleng sigap. “Saya hanya tidak ingin produktivitas perusahaan menurun karena pekerjaan yang tumpang-tindih. Kalaupun Anda belum bisa memercayai saya mengenai akses, mengapa tidak berikan tugas lain yang lebih berguna? Meskipun jabatan saya rendah, saya tetap punya harga diri. Saya tidak ingin bekerja di Savior Group malah memperburuk resume saya. Saya juga ingin berkembang.” Tiba-tiba, sudut bibir Frank bergerak naik. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. “Kebetulan sekali, Jeremy sedang ada urusan di luar kota. Kau bisa menggantikan posisinya selama dia tidak ada. Apakah kau bersedia?” Kara berubah ragu. Sorot mata abu-abu itu tampak mencurigakan. Namun, ia sudah berprinsip untuk selalu memberikan usaha terbaik dalam setiap pekerjaan. “Tentu saja.” Frank tanpa sadar tertunduk menahan tawa.
Mendengar perintah tersebut, sang peneliti terbelalak. “Anda yakin, Tuan?” “Tentu,” jawab Frank seringan desah tawanya. Sang peneliti ingin menolak. Namun, ia sadar bahwa dirinya tidak punya kuasa. Dengan sangat terpaksa, ia menekan tombol danger pada remote control di tangannya. Sebuah palang seketika muncul menghadang jalan. Hanya tersisa sedikit ruang di sisi kanan untuk bisa lolos tanpa menabraknya. Menyaksikan hal itu, seluruh urat dalam tubuh Kara menegang. Napasnya pun tertahan. “Tidak, aku belum mau mati ...!” Mobil tiba-tiba melambat dan berbelok mengambil ruang sempit yang tersedia. Bagian bodinya berderit bergesekan dengan ban pengaman. Kara tidak mampu lagi memproses keadaan. Ketika mobil berhenti, ia hanya bergeming dengan tatapan hampa. Kesadarannya hilang entah terlempar ke sudut mana. “Bravo! Bravo!” Frank bertepuk tangan bangga. Sang peneliti sontak melupakan ketegangan dan tersenyum semringah
“Bukankah kemarin saya sudah menjadi pelayan pribadi Anda saat menggantikan Jeremy?” Suara Kara serak. Kerongkongannya panas. “Itu asisten pribadi. Yang sedang kita bahas adalah pelayan pribadi. Dari detik aku membuka mata hingga detik aku memejamkan mata, aku ingin kau selalu siaga.” Kara berusaha memaksakan senyum, tetapi sudut bibirnya terlalu berat. Tangisan si Kembar telah membayangi pikirannya. Ia tidak mungkin mendedikasikan seluruh waktu untuk Frank, sementara anak-anaknya dititipkan 24 jam kepada sang ibu. “Saya harus selalu melayani Anda selama tiga bulan ke depan? Tidakkah Anda merasa itu berlebihan?” “Kau tidak bersedia? Kalau begitu, nikmatilah tiga bulanmu sebagai sekretaris bodoh yang tidak digaji.” Kara tanpa sadar melipat tangan dan mencengkeram siku. Gayanya persis seperti Emily saat berhadapan dengan Frank. Beruntung, laki-laki itu tidak menyadarinya. Ia sudah dibutakan oleh rasa kesal terhadap sekretarisnya itu.
Siang harinya, Kara mengikuti Frank ke sebuah tempat yang menyerupai pabrik tekstil mini. Seorang wanita paruh baya berpakaian rapi menyambut mereka di sana. Ia dengan sigap menjelaskan tentang perkembangan prototipe B-16. Mengetahui produk itu hanya sebuah kemeja biotekstil, Kara diam-diam lega. “Haruskah kita memulai uji cobanya sekarang, Tuan? Peragawati yang bekerja sama dengan kita sudah siap.” “Peragawati?” Tatapan Frank menyipit dan bergeser ke arah Kara. “Untuk apa menyewa peragawati dari luar? Sekretarisku bisa melakukannya.” Sang manajer menaikkan alis. Dengan mata lebar, ia memperhatikan tubuh Kara. “Tapi—” “Baiklah, saya akan melakukannya,” sahut Kara dengan percaya diri. Ia yakin bahwa prototipe itu tidak akan membahayakan nyawanya seperti kemarin. Mendengar persetujuan itu, sang manajer mulai panik. Namun, ia tidak berkutik. Frank Harper telah memberinya isyarat untuk mulai lewat gerak jari. Awalnya, Kara tidak menganggap
"Nyonya Swan." Sang manajer bergegas mendekat. Ia sesungguhnya sempat heran mengapa sang CEO meminta satu orang saja untuk mengurus uji coba. Namun, setelah menyaksikan kemalangan Kara, ia mengerti. Gadis itu pasti sudah membuat Frank Harper murka sehingga dihukum sedemikian "sadis". "Kerah tegak ternyata tidak cocok untuk bahan selembut ini. Gantilah dengan model lain. Lalu, kancing-kancing ini ...." Frank menelusuri garis kancing dengan bayangan jari. Meski pria itu tidak menyentuh, Kara tetap tertunduk menahan napas. Wajahnya sudah lebih merah dari tomat. "Carilah cara agar pemasangannya tidak terkesan berantakan, dan sediakan beberapa variasi lingkar dada untuk wanita." Saat itulah, sebuah kancing terempas dari benangnya. Keseksian sang sekretaris langsung terekspos dan Frank tidak sempat mengalihkan pandangan. Ia seketika berdebar dan tanpa sadar menahan napas. Kara tidak mampu lagi mengatasi rasa malunya. Ia bergegas lari ke balik tirai. Air mata menetes di pipinya. Seka