"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang melanggarnya."
Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana.
"Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?"
"Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?"
Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menuduhnya menyimpan rasa.
"Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan sapu tangan.
"Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan? Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis jelek dan kaku seperti saya ini, misalnya?"
Frank menghela napas tak percaya. Kara Martin memang berbeda dari perempuan lainnya. Ia sangat menyebalkan!
"Kau ini tidak tahu terima kasih, hmm? Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri, tapi kau malah menjadi-jadi. Sudahlah! Sekarang cepat buatkan kopi untukku!"
Mendapat kesempatan yang ditunggu-tunggu, Kara pun berlari keluar ruangan. Ia sudah lupa dengan kacamatanya. Ia bahkan tidak sempat memperhatikan bahwa pria yang membukakan pintu sedang menahan tawa. Ia hanya ingin kabur dari Frank Harper.
"Kenapa kau tertawa?" hardik sang CEO begitu Jeremy berbalik menghadapnya.
"Tolong jangan terlalu keras pada gadis itu, Tuan. Anggapannya tidak salah. Anda memang terlihat suka padanya."
"Jeremy!"
Sang asisten sontak mengangkat kedua tangan. Ia tidak berani lagi bicara. Selang satu anggukan, ia keluar dari ruangan. Frank selalu butuh waktu untuk meredakan emosi.
Sementara itu, di pantry, Kara baru saja berjalan masuk dengan napas terengah-engah. Sesekali, ia menepuk pipi. Ia masih tak percaya bahwa dirinya berhasil lolos dari kecurigaan si Setan Cabul.
"Ini seperti misi bunuh diri. Aku harus secepatnya keluar dari perusahaan ini."
Sambil berpikir keras, Kara menyiapkan air panas dan cangkir. Namun, begitu membuka lemari, fokusnya teralihkan.
Deretan stoples di hadapannya telah diberi label nama-nama hari. Kopi Black Ivory untuk hari Senin, Finca El Injerto untuk Selasa, Saint Helena untuk Rabu, Hacienda La Esmeralda untuk Kamis, dan kopi luwak untuk Jumat. Isi lemari itu lebih mahal dari gaji bulanannya!
"Apakah perlu teknik khusus untuk menyeduhnya?" desah Kara khawatir. Ia bisa membayangkan kemarahan Frank jika ia menyia-nyiakan bubuk kopi itu.
"Tapi, bukankah itu bagus? Jika Setan Cabul itu marah, dia pasti akan memecatku."
Senyum Kara pun mengembang. Setelah mengangguk mantap, ia mematikan teko pemanas. Tanpa menimbang-nimbang, ia memasukkan kopi ke dalam cangkir, lalu menyiramnya dengan air yang belum mendidih. Ia bahkan menambahkan garam dan merica ke dalamnya. Begitu kopi siap disajikan, ia setengah mati menahan tawa.
"Apakah itu pesanan Tuan?" tanya Jeremy saat dirinya tiba di depan pintu.
"Ya." Kara cepat-cepat mengatupkan bibir agar tidak membocorkan kegelian. Ia sudah siap menerima kemarahan si Setan Cabul.
"Anda menyeduhnya sesuai petunjuk yang tertempel pada bagian belakang stoples, bukan?"
Mendengar nada serius itu, senyum Kara mendadak beku. Setelah berkedip, ia mengangguk kaku. "Ya."
"Baguslah. Kondisi hati Tuan Harper sedang tidak bagus dan Anda sudah menyebabkan masalah dua kali. Saya harap, Anda tidak menambah kesalahan lagi, Nona."
Mendapat peringatan seserius itu, nyali Kara sedikit menciut. "Apa yang terjadi jika saya membuat kesalahan yang ketiga? Apakah saya akan langsung dipecat?"
Jeremy meringis. "Hukuman dari Tuan Harper bukan hanya pemecatan, Nona. Saya harap, Anda tidak pernah tahu. Sekarang, cepat masuk! Jangan biarkan dia menunggu!"
Jantung Kara melompat tinggi ketika Jeremy mendorong punggungnya melewati pintu. Ia ingin mundur, tetapi mata abu-abu yang mengerikan itu sudah telanjur menyorotinya.
"Apa yang terjadi kalau Setan Cabul itu meminum ini? Apakah ini sungguh misi bunuh diri?"
Wajah Kara memucat. Tangannya mulai gemetar. Namun, pria yang sedang menyimak obrolan via telepon itu memanggilnya lewat gerak telunjuk. Mau tidak mau, ia menghampiri.
"Jadi, prototipe CB-23 gagal?"
Suara Frank menggetarkan lutut Kara. Namun, gadis itu masih bisa mengendalikan kegugupan.
Malangnya, ketika ia hendak meletakkan cangkir, Frank tiba-tiba menggebrak meja. Kopi di tangan Kara nyaris tumpah.
"Apa kalian lupa? Semua hal yang mengancam reputasi Savior Group harus dilenyapkan. Aku tidak peduli berapa milyar yang kalian habiskan untuk prototipe itu. Barang rusak dan tidak berguna itu tetap harus dihancurkan."
Kara terbelalak dan tidak berani bergerak. Tangannya seperti melekat pada cangkir yang telah mendarat dengan selamat.
Wajah Louis dan Emily kini terbayang di benaknya. Si Kembar juga mengancam reputasi perusahaan. Jika prototipe yang bernilai milyaran saja tidak ragu untuk dimusnahkan, apalagi anak-anak yang tidak diinginkan?
"Apa kalian ingin bernasib sama seperti awak kapal Savior? Meskipun sebagai individu mereka profesional, tapi sebagai tim mereka sangat buruk. Karyawan yang menghambat perusahaan pantas ditenggelamkan."
Kara menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di tengkuknya.
"Inikah yang dimaksud dengan hukuman selain pemecatan? Ditenggelamkan?"
Sambil menahan napas, Kara memperhatikan kopi yang diseduhnya. Kemarahan sang CEO sudah pasti akan berlipat ganda jika meminumnya. Kara bukan hanya akan dikeluarkan dari perusahaan, tetapi juga kehidupan. Misi harus segera dibatalkan.
Namun, belum sempat Kara memindahkan cangkir, Frank telah merebutnya. Pria itu ternyata sudah menutup telepon. Tenggorokannya kering dan butuh penyegaran.
"Jangan!" Kara spontan merebut cangkir.
"Aaargh!"
Frank langsung berdiri dan tersengal-sengal menatap sang sekretaris. Cairan hitam hangat telah mengotori celananya, tepat di bagian “itu”.
"... Kara Martin!"
Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. "Maafkan saya, Tuan! Maaf!" Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya. Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata. "Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan. Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. "Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?" Tis
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?" Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini." “Kami?” “Aku dan saudara laki-lakiku.” Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya. "Nenekmu pustakawan di sini?" Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut. "Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi." Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya. "Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sud
“Emily! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas tentang Papa. Kalau Mama tahu, Mama bisa sedih,” tegur Louis sembari mengguncang tangan adiknya. Pundak Emily mendadak lunglai. Kepalanya pun tertunduk. Ia ingat betul perasaannya saat dipeluk oleh pria asing itu, begitu tenang dan hangat walau diselingi ketegangan. Ia sampai lupa bahwa ayah mereka adalah orang jahat yang tega menelantarkan anak-anaknya. Laki-laki di perpustakaan tadi tidak mungkin memaafkannya kalau memang ia ayah mereka. Setiap kali Louis dan Emily bertanya, Kara selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah di surga. Awalnya, si Kembar percaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka sadar bahwa itu tidak benar. Kara tidak pernah menunjukkan makam sang ayah ataupun fotonya. Ayah mereka menghilang tanpa jejak dan ibu mereka tidak tega mengatakan kebenaran. “Louis, Emily, kita sudah sampai. Ayo turun!” Emily terbelalak. Sambil menurunkan kacamata ke hidung, ia menoleh ke luar jendela. Itu bukan halte dekat ruma
Helaan napas tak percaya lolos dari mulut Frank. Ia tidak menduga bahwa anak sekecil itu berani melawannya. "Apa yang salah dengan hari ini? Kenapa aku terus dihadapkan dengan anak kecil? Apakah takdir sedang menguji kesabaranku?" "Apa kau tahu ruangan apa ini?" tanya Frank dengan nada menantang. "Tahu," Louis mengangguk dengan percaya diri. Sedetik kemudian, telunjuknya teracung ke arah plat emas yang tertempel pada dinding. "Ini ruang VVIP, tempat untuk orang-orang penting." "Kau tahu kalau orang-orang penting biasanya membicarakan proyek rahasia di ruangan ini, bukan?" Louis berkedip lugu. "Aku tidak peduli dengan obrolan kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat." Mendapat jawaban seberani itu, mata Frank menyipit. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia memperhatikan Louis. Ia baru sadar bahwa mata anak itu juga berwarna abu-abu, sama seperti Emily dan dirinya. Ya, Louis tampak seperti potret Frank Kecil. "Apakah seseorang sengaja menerorku lewat anak-anak bermata abu-abu? Mu
“Itu karena kau terlihat sangat keren,” tutur Louis tulus. “Auramu seperti seorang CEO sukses yang dikagumi semua orang. Tapi, setelah tahu sifatmu yang tidak rasional ini, aku tidak lagi mengagumimu.”Frank tertegun. Baru kali ini, seseorang berani menyindirnya dan itu seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun.Harga dirinya terluka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak mungkin memasukkan bocah itu ke dalam karung lalu melemparnya ke laut. Dunia bisa gempar!Sementara itu, Ben terkesima mendengar bagaimana Louis mengutip potongan kalimatnya. Sambil berdecak kagum, ia menekuk lutut agar pandangan mereka sejajar.“Kau mengerti artinya rasional?” ujinya.Louis mengangguk. “Berpikiran logis. Tuduhan dari Tuan berjas biru itu sama sekali tidak masuk akal. Mana mungkin anak selucu diriku ini dibilang mata-mata?”Tawa Ben sontak mengudara. Tangannya pun tergerak untuk mengelus rambut Louis. “Tolong maafkan Tuan yang tidak rasional itu, Pria Kecil. Terkadang, dia memang
Keesokan paginya, Louis dan Emily masih membicarakan keseruan tadi malam. Bahkan di dalam bus sebelum berpisah dengan sang ibu, suara lucu mereka masih bergema. Kara tidak bisa berhenti tersenyum mengingatnya. "Setelah keluar dari sini, aku harus mencari pekerjaan yang mapan. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan lebih banyak keinginan mereka," pikir Kara sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan pena.Ia bisa merasakan tekadnya untuk menjadi orang tua yang lebih baik semakin membara. "Apa kau sedang kerasukan? Mengapa kau senyum-senyum sendiri tanpa sebab?" Kara spontan bangkit dari kursi. Ia benar-benar tidak sadar kapan Frank tiba di hadapannya.Para pengawal bahkan sudah standby di posisi masing-masing. Hanya Jeremy yang belum terlihat. "Selamat pagi, Tuan. Sarapan Anda sudah saya letakkan di meja, begitu juga dengan rangkuman email." Frank tidak menjawab. Ia terus mengamati Kara dari balik kacamata hitamnya. Emily m
Sedetik kemudian, Frank mendesah remeh. “Kau tidak sabar ingin mendapat akses ke email perusahaan, hmm?” “Bukan begitu!” Kara menggeleng sigap. “Saya hanya tidak ingin produktivitas perusahaan menurun karena pekerjaan yang tumpang-tindih. Kalaupun Anda belum bisa memercayai saya mengenai akses, mengapa tidak berikan tugas lain yang lebih berguna? Meskipun jabatan saya rendah, saya tetap punya harga diri. Saya tidak ingin bekerja di Savior Group malah memperburuk resume saya. Saya juga ingin berkembang.” Tiba-tiba, sudut bibir Frank bergerak naik. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. “Kebetulan sekali, Jeremy sedang ada urusan di luar kota. Kau bisa menggantikan posisinya selama dia tidak ada. Apakah kau bersedia?” Kara berubah ragu. Sorot mata abu-abu itu tampak mencurigakan. Namun, ia sudah berprinsip untuk selalu memberikan usaha terbaik dalam setiap pekerjaan. “Tentu saja.” Frank tanpa sadar tertunduk menahan tawa.