"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus."
"Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar.
"Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."
Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan.
"Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya.
"Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."
Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"
Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu.
"Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu tidak boleh gegabah."
Kara ingin membantah, tetapi tidak bisa. Ia memang bersalah. Ia sendiri yang menandatangani kontrak tanpa memastikan siapa CEO-nya.
"Tapi, kalau kau ingin memanfaatkan situasi ini sebagai kesempatan, aku tidak apa-apa. Savior Group memiliki visi untuk menyelamatkan masa depan orang-orang. Barangkali, tiga bulan bekerja di sini, pola pikirmu bisa berubah. Percayalah, masa depanmu akan tetap suram kalau kepribadianmu masih seperti ini."
Kara menggertakkan rahang. Ia mulai kesulitan menahan kepulan emosi dari darahnya yang mendidih.
"Kaulah yang membuat hidupku suram!"
Kara ingin berteriak begitu. Namun, ia masih harus hidup. Sekarang, jalan terbaik adalah bersabar.
"Anda tidak keberatan bertatap muka dengan saya selama tiga bulan?"
Frank tersenyum kecil dan menaikkan alis. Responnya membuat Vivian memijat pelipis. Perempuan itu tahu kalau sang CEO pasti merencanakan sesuatu.
"Baiklah. Saya akan menjadi sekretaris Anda untuk tiga bulan ke depan," sahut Kara mantap.
Gadis itu mengerti bahwa pekerjaannya tidak akan mudah. Setan Cabul itu tidak mungkin membiarkannya damai. Namun, bukan Kara namanya jika tidak punya solusi dalam kesulitan.
"Lihat saja, Frank Harper! Sebelum tiga bulan, aku pasti sudah meninggalkan perusahaan ini. Kau tidak akan betah memiliki sekretaris sepertiku."
“Tunggu saja, Nona Tak Tahu Diri! Tiga bulan ke depan akan menjadi momen tak terlupakan dalam hidupmu. Kau akan mengemis-ngemis memohon maaf dariku, dan mengakui bahwa kesombongan bukanlah alat untuk meninggikan derajatmu.”
***
"Tuan, kenapa Anda mengungkit kejadian empat tahun yang lalu? Bukankah Anda sendiri yang meminta saya untuk berhenti mengusutnya?"
Mendengar pertanyaan tersebut, pria yang baru saja duduk di kursi bergeming. Aroma citrus yang terekam oleh hidungnya kembali terkenang, begitu pula dengan wajah lugu Kara yang tak asing.
Akan tetapi, ia tidak mungkin menjawab yang sejujurnya. Harkat dan martabatnya bisa jatuh.
"Apa kau lupa? Ben menghubungiku lagi. Dia seperti belum puas aku menolak permohonan kerja samanya empat tahun lalu. Atau bisa jadi, dia diam-diam menyiapkan sebuah rencana jangka panjang terkait insiden itu. Kalau itu benar, kita sudah kecolongan. Aku tidak seharusnya menyuruhmu menghentikan investigasi hanya karena gadis itu lenyap dari peradaban."
Frank bersandar pada kursi empuknya. Wajahnya tampak kesal. Padahal, hatinya gelisah. Ia takut jika keangkuhannya berbalik menjadi bumerang yang mematikan.
“Kenapa aku tidak mengantisipasi hal itu sejak awal? Aku tidak seharusnya membebaskan gadis itu begitu saja. Dia bisa saja kembali bersama seorang anak. Kehadirannya bisa menjadi bom atom yang menghancurkan reputasiku dan perusahaan.”
"Ada baiknya, Anda berhenti mencurigai Ben Wilson, Tuan. Bukti yang saya kumpulkan dulu belum cukup untuk membuat kesimpulan."
Frank menaikkan alis. Sebelum Jeremy menceramahinya panjang lebar, ia mengangkat tangan. Ia tidak peduli jika orang kepercayaannya itu dua tahun lebih tua darinya. Kedudukan Jeremy tidak lebih tinggi darinya.
"Kuharap kau tidak lupa. Aku mendadak kacau setelah bertemu dengannya di bar itu. Kalau bukan dia yang memasukkan obat ke dalam minumanku, siapa lagi? Dengan sembilan orang pengawal ditambah dirimu, satu-satunya orang yang berkesempatan melakukan itu hanya Ben. Kecuali, kau bisa memastikan bahwa seorang bartender yang melakukannya."
Memahami perintah tersirat dalam omongan itu, Jeremy pun mengangguk. Sudah lima tahun lebih ia menjadi orang terdekat Frank. Ia sudah sangat hafal dengan gerak-gerik dan siasat bosnya itu.
"Baiklah, saya akan melanjutkan investigasi. Lalu, bagaimana dengan Kara Martin? Haruskah saya menelusuri informasi tentangnya?"
Tawa kecil tiba-tiba tersembur dari mulut Frank. Telinganya gatal mendengar nama itu. "Kita tidak perlu menghabiskan waktu dan energi untuk gadis rendahan itu."
"Tapi Anda menahannya untuk tetap di sini. Bukankah itu malah dapat mengganggu performa Anda dan perusahaan? Atau jangan-jangan, Anda tertarik padanya? Anda tidak biasanya mempertahankan karyawan yang suka berbuat onar, Tuan."
Lengkung bibir Frank sontak berbalik arah. Tebakan Jeremy telah membekukan hatinya.
"Jaga mulutmu! Kau lupa kalau aku sudah memiliki tunangan yang nyaris sempurna? Aku tidak mungkin tertarik pada gadis culun seperti itu."
Frank melirik ke arah Kara dengan ekspresi jijik. Gadis di balik kaca itu sedang sibuk membaca buku panduan.
"Tapi Anda tidak pernah menyimpan rasa terhadap Isabela, Tuan. Hubungan kalian bahkan masih jalan di tempat. Saya rasa, bukan sesuatu yang mustahil jika Anda tertarik pada Kara Martin. Dia cantik, cerdas, dan berani. Sangat cocok untuk menaklukkan hati Anda."
"Kau sudah tidak sayang dengan lidahmu lagi, hmm?" ucap Frank sinis. "Jika masih, hentikan omong kosongmu. Sekarang, cepat panggil Gadis Tak Tahu Diri itu kemari.”
“Permainan harus segera dimulai.”
Jeremy diam-diam mengulum senyum. Ia sudah sering mengamati gelagat Frank Harper saat menghadapi wanita. Pria itu selalu menjaga jarak, sekalipun dengan Isabela.Namun, dengan Kara Martin tadi, jarak mereka terlalu dekat. Jeremy bahkan sempat mengira bahwa Frank akan mencium Kara. "Nona Martin, Tuan Harper memanggil Anda," ujar Jeremy dengan senyum lebar. Ia agak kesulitan menahan tawa karena imajinasi singkatnya itu.Melihat keramahan Jeremy, mata Kara melebar. Pria itu terlihat lebih sangar dari si Setan Cabul. Ia sempat mengira bahwa Jeremy adalah kepala pengawal. Namun ternyata, pria itu jauh lebih hangat. Dengan permintaan sesopan itu, Kara tidak perlu banyak waktu untuk mewujudkannya. Ia melangkah ringan menuju ruangan CEO.Namun, begitu melihat tampang dingin Frank, hatinya kembali berat. Sulit dipercaya bahwa dirinya akan sering bertemu mata abu-abu itu."Kau pikir aku membayarmu hanya untuk bersantai?" Nada bicara pria itu sama mengganggu dengan tatapan sinisnya."Saya memb
"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang melanggarnya." Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana. "Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?" "Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?" Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menuduhnya menyimpan rasa. "Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan sapu tangan. "Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan? Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis je
Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. "Maafkan saya, Tuan! Maaf!" Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya. Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata. "Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan. Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. "Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?" Tis
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?" Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini." “Kami?” “Aku dan saudara laki-lakiku.” Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya. "Nenekmu pustakawan di sini?" Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut. "Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi." Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya. "Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sud
“Emily! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas tentang Papa. Kalau Mama tahu, Mama bisa sedih,” tegur Louis sembari mengguncang tangan adiknya. Pundak Emily mendadak lunglai. Kepalanya pun tertunduk. Ia ingat betul perasaannya saat dipeluk oleh pria asing itu, begitu tenang dan hangat walau diselingi ketegangan. Ia sampai lupa bahwa ayah mereka adalah orang jahat yang tega menelantarkan anak-anaknya. Laki-laki di perpustakaan tadi tidak mungkin memaafkannya kalau memang ia ayah mereka. Setiap kali Louis dan Emily bertanya, Kara selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah di surga. Awalnya, si Kembar percaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka sadar bahwa itu tidak benar. Kara tidak pernah menunjukkan makam sang ayah ataupun fotonya. Ayah mereka menghilang tanpa jejak dan ibu mereka tidak tega mengatakan kebenaran. “Louis, Emily, kita sudah sampai. Ayo turun!” Emily terbelalak. Sambil menurunkan kacamata ke hidung, ia menoleh ke luar jendela. Itu bukan halte dekat ruma
Helaan napas tak percaya lolos dari mulut Frank. Ia tidak menduga bahwa anak sekecil itu berani melawannya. "Apa yang salah dengan hari ini? Kenapa aku terus dihadapkan dengan anak kecil? Apakah takdir sedang menguji kesabaranku?" "Apa kau tahu ruangan apa ini?" tanya Frank dengan nada menantang. "Tahu," Louis mengangguk dengan percaya diri. Sedetik kemudian, telunjuknya teracung ke arah plat emas yang tertempel pada dinding. "Ini ruang VVIP, tempat untuk orang-orang penting." "Kau tahu kalau orang-orang penting biasanya membicarakan proyek rahasia di ruangan ini, bukan?" Louis berkedip lugu. "Aku tidak peduli dengan obrolan kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat." Mendapat jawaban seberani itu, mata Frank menyipit. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia memperhatikan Louis. Ia baru sadar bahwa mata anak itu juga berwarna abu-abu, sama seperti Emily dan dirinya. Ya, Louis tampak seperti potret Frank Kecil. "Apakah seseorang sengaja menerorku lewat anak-anak bermata abu-abu? Mu
“Itu karena kau terlihat sangat keren,” tutur Louis tulus. “Auramu seperti seorang CEO sukses yang dikagumi semua orang. Tapi, setelah tahu sifatmu yang tidak rasional ini, aku tidak lagi mengagumimu.”Frank tertegun. Baru kali ini, seseorang berani menyindirnya dan itu seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun.Harga dirinya terluka, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia tidak mungkin memasukkan bocah itu ke dalam karung lalu melemparnya ke laut. Dunia bisa gempar!Sementara itu, Ben terkesima mendengar bagaimana Louis mengutip potongan kalimatnya. Sambil berdecak kagum, ia menekuk lutut agar pandangan mereka sejajar.“Kau mengerti artinya rasional?” ujinya.Louis mengangguk. “Berpikiran logis. Tuduhan dari Tuan berjas biru itu sama sekali tidak masuk akal. Mana mungkin anak selucu diriku ini dibilang mata-mata?”Tawa Ben sontak mengudara. Tangannya pun tergerak untuk mengelus rambut Louis. “Tolong maafkan Tuan yang tidak rasional itu, Pria Kecil. Terkadang, dia memang
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum