Frank menatap Kara lekat-lekat. Sudut bibirnya berkedut kecil. “Jadi menurutmu, aku ini kasar dan sombong?”
Sebelum gadis itu sempat menjawab, ia mendengus dan menepis telunjuk lentik yang tergantung di ujung hidungnya.
“Memangnya kau ini siapa? Berani-beraninya memberiku penilaian. Kau tidak punya rasa malu dan tata krama, heh?!”
“Maaf, Tuan Harper.” Vivian menarik Kara mundur. “Nona Martin baru saja menandatangani kontrak dan ini hari pertama dia mengunjungi perusahaan. Dia sama sekali belum mendapat pelatihan ataupun membaca buku panduan.”
“Itu bukan alasan untuk dia boleh bersikap tidak sopan kepadaku,” bantah Frank dengan suara dingin. Sedetik kemudian, kakinya melangkah maju.
Sambil menyempal tangan ke dalam saku, Frank membungkuk hingga matanya sejajar dengan Kara. Ia sudah siap untuk membentak. Namun, begitu hidungnya menangkap aroma citrus yang familiar, ia mematung.
“Aroma ini? Apakah dia gadis itu? Karena itukah dia berani denganku? Kalau diingat-ingat, dia memang agak mirip. Tapi, warna matanya berbeda. Apakah mungkin dia sengaja menutupinya agar tidak ketahuan?”
Tatapan Frank pun menyipit. Semakin fokus ia mengamati mata Kara, semakin dekat jarak mereka. Ia bahkan bisa mendengar desah napas gadis itu—kecil dan menggelitik telinga—persis seperti pada malam itu.
Menyadari tujuan sang CEO, Kara pun mengerjap. Sebelum contact lens-nya terlihat, ia mendorong pundak Frank dengan sekuat tenaga.
“Kau menuduhku tidak sopan dan tidak bermoral, tapi lihatlah! Kau yang lebih dulu melewati batas. Nyonya Bell, maaf. Saya ingin membatalkan kontrak. Saya tidak mau bekerja dengan orang yang semena-mena dan tidak bisa menghargai orang lain.”
Vivian spontan menghela napas. Kara dan Frank baru bertemu beberapa menit, tetapi mengapa mereka sudah seperti anjing dan kucing yang bermusuhan selama berabad-abad?
Sementara itu, Frank mulai menggeleng samar. Matanya menyipit mengamati Kara. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Kara terdiam. Ia sungguh tidak menduga bahwa kecurigaan si Setan Cabul bisa bangkit secepat itu.
"Tidak," jawabnya setegas mungkin. Akan tetapi, sorot mata Frank malah semakin runcing.
"Lalu mengapa kau seperti menyimpan dendam puluhan tahun terhadapku? Apakah aku pernah melindas kakimu dengan supercar-ku? Atau, sekretaris lain sengaja mengirimmu untuk memancing emosiku?"
Tangan Kara mengepal lebih erat. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah gegabah. Ia harus lebih berhati-hati kalau mau meloloskan diri dengan selamat.
"Tidak. Saya hanya kecewa karena CEO Savior Group ternyata berkepribadian seperti Anda. Kita tidak akan bisa cocok, apalagi bekerja sama. Karena itu, saya mengundurkan diri."
"Kau pikir ada yang salah dengan kepribadianku ini?"
Sudut bibir Frank kembali berkedut. Sambil mendesah jengkel, ia melonggarkan kerah baju. Gadis di hadapannya itu ternyata mahir membuatnya gerah.
"Asal kau tahu, dengan kepribadianku ini, Savior Group berhasil mengembangkan usaha hingga ke delapan bidang, memenangkan berbagai penghargaan bergengsi, dan menjadi perusahaan paling berpengaruh di dunia. Hampir semua penghargaan CEO terbaik jatuh ke tanganku. Apakah menurutmu aku bisa meraih semua itu dengan kepribadian lembek sepertimu?"
Kara menahan napas. Matanya bergetar menahan jijik dan kesal.
Frank Harper memang hebat dalam dunia bisnis, tetapi dalam urusan moral ... nol besar! Ia telah menelantarkan dua orang anak dan seorang wanita.
"Kalau Anda merasa sudah sempurna, itu hak Anda. Tapi maaf. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatur opini saya. Dan maaf jika saya terlalu cepat menandatangani kontrak. Lain kali, akan saya pastikan untuk tidak menampakkan muka di hadapan Anda lagi."
Masih dengan mata berlapiskan kaca, Kara menoleh ke arah Vivian. "Nyonya Bell, maaf telah mengecewakan Anda, tapi saya mengundurkan diri demi kebaikan perusahaan. Permisi."
Tepat ketika Kara hendak melangkah, Frank menghadang jalannya. Ekspresi pria itu kini sulit diartikan. Ia meringis, tetapi tawa sinis lolos dari celah bibirnya.
"Kau pikir bisa pergi begitu saja?"
Sedetik kemudian, Frank berbicara kepada pria yang berdiri dua langkah di belakangnya. "Jeremy, apakah ketentuan baru sudah disahkan?"
"Sudah, Tuan."
Mata Vivian mendadak melebar. "Ketentuan apa?"
"Bukan Anda saja yang bosan menghafal nama sekretaris baru setiap bulan, Nyonya, tapi saya juga. Karena itu, saya menetapkan aturan baru."
Sambil memasukkan tangan ke dalam saku, Frank mulai berjalan mengelilingi Kara.
"Pertama, tidak ada karyawan yang boleh mengundurkan diri sebelum mengabdi selama tiga bulan di perusahaan ini."
Alis Kara melengkung tinggi. Namun, sebisa mungkin, ia mengendalikan ekspresi. Ia tidak boleh terlihat goyah.
"Kedua, jika karyawan tersebut betul-betul ingin pergi, bisa saja ... tapi dia harus membayar denda."
"Berapa dendanya?" tanya Kara lantang. Ia kini menoleh ke samping karena Frank berhenti tepat di sisi kirinya.
Tiba-tiba, Frank memasang senyum miring yang menawan. Selang satu kedipan lambat, ia kembali membungkuk, menempatkan bibir di dekat telinga Kara.
"Sebesar tiga kali kompensasi tahunan yang ditawarkan kepadanya."
Kara terkesiap. Padahal, ia sudah berusaha untuk mengendalikan keterkejutan, tetapi angka tersebut terlalu besar. Dari mana ia bisa mendapat uang sebanyak itu?
"Frank Harper!" hardik Vivian tanpa terduga. "Berhentilah menyulitkan sekretarismu!"
"Dia bukan sekretarisku lagi, Bibi. Dia baru saja mengundurkan diri. Sekarang, dia harus membayar 3,6 Milyar kepada Savior Group. Bukankah itu menguntungkan?"
Melihat wajah Kara memucat, Frank tersenyum puas. "Jadi, kapan Anda mentransfernya ..., Nona?"
"Kalau kau tidak cocok dengan Nona Martin, biarkan saja dia pergi. Kenapa malah menjeratnya begini? Kita bisa mencari sekretaris lain."
Sambil terpejam, Frank mengangkat sebelah tangan di udara. Begitu Vivian bungkam, ia melipat jari hingga hanya tersisa telunjuk yang teracung.
"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus.""Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar."Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan. "Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya."Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu. "Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu
Jeremy diam-diam mengulum senyum. Ia sudah sering mengamati gelagat Frank Harper saat menghadapi wanita. Pria itu selalu menjaga jarak, sekalipun dengan Isabela.Namun, dengan Kara Martin tadi, jarak mereka terlalu dekat. Jeremy bahkan sempat mengira bahwa Frank akan mencium Kara. "Nona Martin, Tuan Harper memanggil Anda," ujar Jeremy dengan senyum lebar. Ia agak kesulitan menahan tawa karena imajinasi singkatnya itu.Melihat keramahan Jeremy, mata Kara melebar. Pria itu terlihat lebih sangar dari si Setan Cabul. Ia sempat mengira bahwa Jeremy adalah kepala pengawal. Namun ternyata, pria itu jauh lebih hangat. Dengan permintaan sesopan itu, Kara tidak perlu banyak waktu untuk mewujudkannya. Ia melangkah ringan menuju ruangan CEO.Namun, begitu melihat tampang dingin Frank, hatinya kembali berat. Sulit dipercaya bahwa dirinya akan sering bertemu mata abu-abu itu."Kau pikir aku membayarmu hanya untuk bersantai?" Nada bicara pria itu sama mengganggu dengan tatapan sinisnya."Saya memb
"Tuan!" hardik Kara tanpa terduga. Gadis itu sendiri terkejut dengan suaranya. "Tidakkah kelakuan Anda ini keterlaluan? Anda meminta saya untuk menjaga jarak, tapi Anda sendiri yang melanggarnya." Frank tertegun mendengar protes tersebut. Dengan alis berkerut, ia melirik ke arah genggamannya. Tangan Kara sedang menggeliat di sana. "Kau hendak menyerangku. Bukankah wajar jika aku membela diri?" "Anda yang memulai perkara. Kalau Anda tidak mengambil kacamata saya, mana mungkin saya menyerang? Apakah Anda diam-diam tertarik pada saya?" Bola mata Frank hampir melompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menuduhnya menyimpan rasa. "Kau gila? Impianmu itu ketinggian." Frank melepas Kara lalu membersihkan jari-jarinya dengan sapu tangan. "Lalu kenapa Anda tidak membiarkan saya mengundurkan diri? Anda juga bersikap seperti anak kecil yang meminta perhatian. Apakah tunangan Anda yang sempurna itu membosankan? Karena itukah Anda mencari sesuatu yang berbeda? Gadis je
Nyawa Kara hampir tercabut dari badan. Ia belum siap ditenggelamkan. Dengan gerak cepat, ia pun menarik beberapa helai tisu dan menjatuhkan lutut ke lantai. "Maafkan saya, Tuan! Maaf!" Kepanikan telah menghanyutkan akal sehat Kara. Gadis itu dengan sigap membersihkan noda. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang digosoknya. Di saat yang bersamaan, Jeremy dan para pengawal menyerbu masuk. Mereka mengira sesuatu sedang membahayakan sang CEO. Frank belum pernah mengerang sekencang itu. Namun, begitu mendapati apa yang terjadi, mereka terbelalak. Kara pun tersentak dan Frank berkedip tanpa kata. "Maaf, Tuan. Kami pikir ... keadaan darurat." Jeremy memecah keheningan. Kemudian, tanpa aba-aba, ia dan para pengawal keluar dari ruangan, meninggalkan Frank dan Kara yang masih mematung dalam keterkejutan. "Kau!" hardik Frank ketika kesadarannya kembali utuh. Tanpa iba, ia menarik rambut Kara hingga gadis itu mendongak paksa. "Kau kira aku laki-laki murahan yang gampang dirayu?" Tis
“Dia orang yang memimpin perusahaan. Dia kaya dan punya kekuasaan. Aku tahu dari buku yang dibacakan Emily kemarin di perpustakaan." Mendapat jawaban serius dari Louis, alis Kara melengkung tinggi. Matanya berbinar-binar memancarkan rasa bangga sekaligus iba. Ayah si Kembar adalah CEO kaya yang disegani banyak orang, tetapi anak-anaknya harus hidup sederhana dan bahkan terancam tidak bisa masuk sekolah. "Kalian suka perpustakaan itu?" tanya Kara, memalsukan senyuman. "Ya! Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka." Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan." "Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sa
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?" Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini." “Kami?” “Aku dan saudara laki-lakiku.” Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya. "Nenekmu pustakawan di sini?" Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut. "Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi." Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya. "Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sud
“Emily! Kita sudah sepakat untuk tidak membahas tentang Papa. Kalau Mama tahu, Mama bisa sedih,” tegur Louis sembari mengguncang tangan adiknya. Pundak Emily mendadak lunglai. Kepalanya pun tertunduk. Ia ingat betul perasaannya saat dipeluk oleh pria asing itu, begitu tenang dan hangat walau diselingi ketegangan. Ia sampai lupa bahwa ayah mereka adalah orang jahat yang tega menelantarkan anak-anaknya. Laki-laki di perpustakaan tadi tidak mungkin memaafkannya kalau memang ia ayah mereka. Setiap kali Louis dan Emily bertanya, Kara selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah di surga. Awalnya, si Kembar percaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka sadar bahwa itu tidak benar. Kara tidak pernah menunjukkan makam sang ayah ataupun fotonya. Ayah mereka menghilang tanpa jejak dan ibu mereka tidak tega mengatakan kebenaran. “Louis, Emily, kita sudah sampai. Ayo turun!” Emily terbelalak. Sambil menurunkan kacamata ke hidung, ia menoleh ke luar jendela. Itu bukan halte dekat ruma
Helaan napas tak percaya lolos dari mulut Frank. Ia tidak menduga bahwa anak sekecil itu berani melawannya. "Apa yang salah dengan hari ini? Kenapa aku terus dihadapkan dengan anak kecil? Apakah takdir sedang menguji kesabaranku?" "Apa kau tahu ruangan apa ini?" tanya Frank dengan nada menantang. "Tahu," Louis mengangguk dengan percaya diri. Sedetik kemudian, telunjuknya teracung ke arah plat emas yang tertempel pada dinding. "Ini ruang VVIP, tempat untuk orang-orang penting." "Kau tahu kalau orang-orang penting biasanya membicarakan proyek rahasia di ruangan ini, bukan?" Louis berkedip lugu. "Aku tidak peduli dengan obrolan kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat." Mendapat jawaban seberani itu, mata Frank menyipit. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia memperhatikan Louis. Ia baru sadar bahwa mata anak itu juga berwarna abu-abu, sama seperti Emily dan dirinya. Ya, Louis tampak seperti potret Frank Kecil. "Apakah seseorang sengaja menerorku lewat anak-anak bermata abu-abu? Mu