Damien Curtis berjalan memasuki salah satu hotel yang ada di Perancis untuk menemui klien barunya. Kebetulan kliennya sedang menginap di hotel tersebut. Rencananya, mereka akan membahas salah satu proyek peluncuran produk terbaru yang dibuat oleh perusahaan Damien. Pria berusia 30 tahun itu berharap, kliennya akan menyetujui proyek ini agar lebih memajukan perusahaannya. Meskipun sudah terbilang konglomerat, Damien tak melunturkan semangatnya untuk terus berkembang. Itu sebabnya para karyawan merasa kagum dan bangga pada Damien.
Saat ini, Damien tengah menunggu kliennya di lobi. Sesekali ia terlihat membaca beberapa dokumen penting yang dibawanya serta membaca beberapa materi yang sudah ia siapkan di Macbook. Semuanya sempurna dan tidak ada kesalahan sedikitpun. Asisten pribadinya benar-benar bekerja keras dalam mengerjakan proyek baru ini. Mungkin nanti ia akan menaikkan gajinya setelah sang klien menandatangani kontrak dengan perusahaannya.
Damien mencoba menghubungi kliennya, karena tak kunjung terlihat sejak 5 menit ia sampai di hotel. Sambil menunggu panggilannya di jawab, ia pun melihat ke sekitar hotel. Barangkali kliennya sudah muncul, namun hasilnya nihil.
“Halo!”
Damien terkejut sesaat, lalu menjawab sapaan itu, “Halo, Tuan! Saya sudah menunggu di lobi hotel sejak 5 menit lalu.”
“Ah, maaf sudah membuat anda menunggu.”
Damien terdiam lalu melihat layar ponselnya. Ternyata masih tersambung. Saat ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga, tiba-tiba saja suara desahan wanita mengganggu pendengarannya.
“Astaga! Dia sedang apa?” batin Damien.
“Maaf, Tuan. Bisakah anda ke kamar saya sekarang?”
Damien menggerutu kesal. Baru kali ini ia mendapatkan seorang klien yang sangat tidak profesional pada pekerjaannya. Yang benar saja? Untuk apa dia ke kamar klien itu, sementara mereka masih melakukan hal yang tak pantas untuk dilihat? Ah, memalukan.
“Ah, lain waktu saja pertemuannya dilanjutkan, Tuan. Mungkin anda sedang sibuk saat ini. Saya kembali saja ke kantor,” ujar Damien akhirnya.
“Tidak. Aku tidak sibuk.”
Tidak sibuk apanya? Jelas-jelas Damien masih mendengar suara wanita itu mendesah tidak karuan. Entah apa jadinya jika ia menyetujui tawaran kliennya itu. “Maaf, lain waktu saja. Nanti bicarakan kembali jadwal pastinya pada asisten saya, Tuan.”
Damien langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas kembali ke kantornya. Perasaannya benar-benar kacau saat ini. Ini klien pertama yang sangat-sangat mengecewakan baginya. Padahal, seluruh timnya sudah bekerja keras untuk menyelesaikan produk yang diminta, tapi apa balasan yang didapat? Hanya membuang-buang waktu saja.
Beberapa staf dan karyawan merasa bingung dengan Damien yang baru saja tiba di kantor. Wajahnya terlihat kusut, tidak seperti biasanya. Biasanya mereka akan melihat wajah ceria Damien dan mendapatkan kabar gembira. Tapi tidak untuk hari ini.
“Ada masalah, Tuan?” tanya asisten pribadi Damien—Elsa.
Damien menghela napas lalu mengangguk. “Klien kita kali ini sangat mengecewakan.”
“Mengecewakan bagaimana, Tuan?” tanya Elsa penasaran.
“Ah, ya ampun! Dia itu ternyata klien yg sangat mesum, Elsa!” ujar Damien kesal sambil melonggarkan sedikit dasinya. “Dia meminta saya untuk datang tepat waktu, karena dia tidak suka keterlambatan. Tapi setelah saya tiba tepat waktu, dia justru enak-enakan dengan wanita di kamarnya.”
Elsa terkejut. Begitu juga dengan yang lainnya. “Astaga. Itu benar-benar menjengkelkan, Tuan,” ujar Elsa.
“Ya, sangat menjengkelkan,” kata Damien dan memberi tekanan pada kata ‘menjengkelkan’. “Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, dia meminta saya untuk datang ke kamarnya. Apa dia sudah gila?”
“Itu keterlaluan, Tuan. Apa kita harus membatalkan rencana kerjasama ini dengannya?” tanya Elsa.
“Saya rasa memang harus. Tapi, saya harus menanyakan keputusan ini pada divisi yang lain,” kata Damien. “Siapkan berkas-berkas dan kita akan rapat sekarang.”
“Baik, Tuan.”
“Jangan lupa untuk memberitahukan hal ini pada semua divisi ya,” ucap Damien sebelum pergi pada Elsa.
Elsa mengangguk patuh. Damien pun bergegas pergi ke ruang rapat untuk membahas masalah ini. Selama mengurus perusahaan dan proyek, belum pernah Damien mengalami masalah seperti ini. Mungkin terkesan berlebihan, tapi pria satu ini selalu mengutamakan profesionalisme dalam pekerjaan. Ada saatnya bercinta dengan pasangan, dan ada saatnya untuk fokus bekerja. Klien tadi benar-benar tidak layak dijadikan rekan bisnis Damien kali ini.
***
Sore hari, Damien sudah tiba di rumah. Ia melihat keadaan rumahnya yang begitu sepi. Damien baru menyadari jika istrinya tidak ada di rumah. Ia pun menghela napas lelah sambil menaiki tangga, menuju lantai dua. Damien membuka pintu kamar dan terkejut melihat kondisi kamar yang berantakan seperti kapal pecah.
Damien memutuskan untuk mandi, menghilangkan rasa lengket di tubuhnya karena keringat. Seharian ini, banyak proyek yang harus ia urus di luar bersama beberapa rekan lamanya. Dia benar-benar sangat lelah sampai tertidur sesaat di dalam bathup.
Setelah beberapa menit, Damien keluar dari kamar mandi. Ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk sambil membersihkan kamarnya. Benar-benar berantakan. Selanjutnya, Damien duduk di tepian kasur sambil mengecek ponselnya. Tidak ada satupun notifikasi dari istrinya itu.
Damien menghela napas berat. Mencoba menghubungi sang istri, namun tidak tersambung. Damien heran dengan perubahan sikap istrinya semenjak 6 bulan terakhir ini. Sudah setahun pernikahan mereka berjalan dan manisnya hanya 6 bulan pertama saja. Setelah itu, sikap istrinya berubah total. Jarang di rumah dan selalu pulang tengah malam. Setiap kali Damien bertanya, istrinya selalu marah dan memilih pergi dari rumah selama semalam. Akan kembali besok paginya dalam kondisi mabuk berat.
Beberapa hari lalu mereka juga baru bertengkar hebat dengan alasan yang sama setiap minggunya. Terkadang, Damien merasa lelah dan ingin berbagi cerita pada orang tuanya. Tapi ia tak tega membebani kedua orang tuanya karena masalah rumah tangganya.
“Halo, Nak! Apa kabar?”
Damien tersenyum lembut dan merasa tenang saat mendengar suara lembut ibunya—Airin Beatrice. “Halo, Bu. Kabarku baik. Bagaimana kabar ibu dan ayah?” tanya Damien sambil merebahkan diri di atas kasur.
“Kami baik, Nak. Kapan kau akan kemari? Ibu sangat rindu padamu.”
“Mungkin minggu depan, Bu. Aku sedang sibuk mengurus beberapa proyek minggu ini. Jadi, aku belum bisa datang mengunjungi ibu dan ayah,” jawab Damien.
“Ya, ibu tahu itu. Tidak masalah. Selesaikan saja dulu pekerjaanmu ya.”
Airin memang selalu mengerti Damien dari segi apapun. Ia tak pernah mengeluh jika putranya tak datang ke rumah. Airin juga tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga Damien. Itu sebabnya Damien sangat menyayangi dan menghargai Airin.
“Bu, apa istriku tidak berkunjung ke sana tadi?” tanya Damien.
“Istrimu? Tidak, Nak. Memangnya kenapa?”
Damien menggeleng sendiri. “Ah, tidak ada apa-apa, Bu. Ibu jaga kesehatan di sana ya. Bilang juga pada ayah.”
“Iya, Nak. Kau juga jaga kesehatan. Jangan terlalu kelelahan. Ibu tidak ingin putra semata wayang ibu jadi sakit.”
“Baik, Ibu. Aku tutup dulu ya.”
“Iya, Nak.”
Damien meletakkan ponselnya di atas nakas. Pikirannya menerawang entah kemana. Ia begitu merindukan istrinya yang dulu. Yang selalu memperhatikannya dan menyiapkan segala keperluannya. Damien benar-benar rindu.
“Dimana kau, Istriku? Pulanglah. Aku merindukanmu,” gumam Damien sambil memejamkan kedua matanya.
TBC~Cacha Brigitte Egmont baru saja pulang ke rumah Damien pada pukul 3 dini hari. Cacha berjalan gontai memasuki rumah dan mengabaikan Damien yang sudah menunggunya di ruang tamu sejak 10 menit lalu. Sesekali Cacha terlihat menyenggol beberapa barang dan sekat dinding rumah sambil sesekali tertawa cekikikan. Damien yang melihat hal itu sangat kesal dan marah. Siapa yang sudah meracuni pikiran istrinya hingga bersikap aneh seperti itu?Damien berjalan mendekati Cacha dan menahan lengannya. Wanita berusia 28 tahun itu menoleh dan memberi tatapan kesal pada Damien. Ia pun dengan sengaja melepaskan tangan suaminya dengan kasar, lalu memukul kepala Damien dengan tas yang ia bawa.“Apa maumu, hah?! Sudah kukatakan, jangan menggangguku saat mabuk! Apa kau tidak punya telinga, hah?!” teriak Cacha kesal.“Kau benar-benar keterlaluan. Aku ini suamimu. Dimana rasa hormatmu padaku, hah?” ujar Damien berusaha mengontrol emosinya.Cacha justru mendecih. “Kau ingin dihormati,
Damien tiba di rumah Airin disaat yang tepat. Ternyata ayahnya, Bailey Curtis juga baru saja pulang dari kantor. Bailey yang sudah 3 minggu tidak bertemu Damien pun langsung memeluk putra semata-wayangnya dengan erat. Ia merasa senang karena kehadiran Damien di rumahnya. Airin pun terlihat begitu semangat menyiapkan beberapa makanan kesukaan putranya itu.Meski sudah menikah, Damien tetap dimanjakan oleh Airin dan Bailey setiap kali ia datang berkunjung. Kasih sayang mereka tidak pernah hilang untuk Damien. Damien merasa senang dan bangga memiliki orang tua seperti mereka yang selalu mengerti setiap keadaannya.“Ayo, Nak! Duduk di sebelah ayah,” ujar Bailey sambil menunjuk sebuah kursi kosong di samping kanannya. “Sudah tiga minggu kita tidak bertemu, Damien. Ayah sangat merindukanmu.”Damien tersenyum. “Aku juga rindu kalian. Itu sebabnya aku datang berkunjung hari ini.”“Lalu, dimana istrimu? Kenapa tidak kau ajak sekalian, hm?”Pertanyaan Airin membu
Setelah puas melepaskan seluruh kesedihannya, Damien pun pamit pulang pada Bailey dan Airin. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan pun juga tidak terlalu padat hingga membuat Damien bisa sedikit santai mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan perkataan orang tuanya. Haruskah ia mengakhiri semua ini? Apa tidak bisa ia perbaiki dulu?Damien menghela napas berat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia pun menghentikan mobilnya sambil tetap memikirkan banyak hal. Sepertinya besok Damien juga belum bisa masuk kantor, karena permasalahannya cukup berat. Ia mungkin tidak akan bisa fokus jika dalam kondisi seperti ini.Saat Damien menoleh ke arah kirinya, tampaklah seorang wanita tengah berjalan gontai sambil merangkul pria di sampingnya. Wanita itu sudah pasti Cacha. Damien mengepalkan tangannya erat lalu turun dari mobil dan menghampiri Cacha bersama kekasih gelapnya itu. Tanpa pikir panjang, Damien langsung memukul Albert bertubi-t
Cacha tampak gelisah memikirkan ucapan suaminya yang sama sekali tidak menyerah untuk mempertahankannya. Ia harus apa sekarang? Keinginan untuk menguasai perusahaan Damien bukanlah hal yang utama baginya. Albert adalah alasan dia tetap bersikeras untuk berpisah dengan Damien. Hanya saja yang terlihat begitu ambisi untuk menguasai perusahaan Damien adalah Albert.Bagaimana tidak? Perusahaan Damien adalah perusahaan terbesar di Perancis dan sudah memiliki banyak cabang di beberapa negara besar. Perusahaan yang dibangun oleh hasil kerja keras Damien itu merupakan perusahaan yang sangat maju, dibanding perusahaan lain. Tak heran jika banyak investor asing yang berani menanam saham di perusahaan Damien. Selain perusahaan, para investor juga menilai dari segi kinerja Damien. Menurut mereka, Damien sangat cekatan dan tidak pernah membuang waktu untuk hal yang tak penting. Itu sebabnya Albert begitu berambisi ingin memilikinya, dengan cara merebut Cacha dan memintanya untuk mengambil
Damien menatap selembar kertas dari pengadilan yang ada di hadapannya. Rasa sesak di dadanya tak kunjung reda saat Cacha terus memaksanya untuk menandatangani surat itu. Berkas perusahaan yang ia inginkan juga sudah Cacha kembalikan. Apa tidak ada hal lain yang bisa menahan istrinya untuk tetap tinggal bersamanya? Tentu tidak. Keputusan Cacha tak bisa diganggu-gugat lagi.Cacha yang kini berhadapan dengan Damien pun merasa jengah karena menunggu terlalu lama. Sejak tadi, ia hanya memerhatikan Damien yang menatap surat itu tanpa melakukan apapun. Ini benar-benar membosankan baginya. Padahal dirinya sudah susah payah mengambil berkas perusahaan itu agar Damien segera menandatanganinya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pria itu tak kunjung melakukan tugasnya.Cacha berdecak kesal. "Cepat tandatangani suratnya. Jangan terlalu banyak drama.""Apa rumah tangga kita tidak bisa dipertahankan saja seperti sebelumnya? Apa ini harus berakhir?" tanya Damien sambil menatap s
Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini. Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena. "Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman." Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana. "Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu. Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar s
Prang! Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri. Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha. Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien.
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka