Setelah puas melepaskan seluruh kesedihannya, Damien pun pamit pulang pada Bailey dan Airin. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan pun juga tidak terlalu padat hingga membuat Damien bisa sedikit santai mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan perkataan orang tuanya. Haruskah ia mengakhiri semua ini? Apa tidak bisa ia perbaiki dulu?
Damien menghela napas berat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia pun menghentikan mobilnya sambil tetap memikirkan banyak hal. Sepertinya besok Damien juga belum bisa masuk kantor, karena permasalahannya cukup berat. Ia mungkin tidak akan bisa fokus jika dalam kondisi seperti ini.
Saat Damien menoleh ke arah kirinya, tampaklah seorang wanita tengah berjalan gontai sambil merangkul pria di sampingnya. Wanita itu sudah pasti Cacha. Damien mengepalkan tangannya erat lalu turun dari mobil dan menghampiri Cacha bersama kekasih gelapnya itu. Tanpa pikir panjang, Damien langsung memukul Albert bertubi-tubi hingga kekasih Cacha itu tak mampu lagi untuk berdiri.
“Apa-apaan kau ini, hah?!” teriak Cacha sambil mendorong tubuh Damien lalu melihat kondisi Albert yang tampak kesakitan. “Berani sekali kau memukul kekasihku!”
“Aku berhak memukulnya, karena dia sudah merebut kau dariku!” balas Damien dengan seluruh amarahnya. “Itu masih belum seberapa. Aku bisa lebih menggila lagi untuk menghukumnya.”
“Kita sudah cerai! Kau tidak berhak mengganggu kehidupan baruku!”
Damien mendengus kesal. “Aku belum menandatangani surat itu. Jadi kau masih menjadi istriku. Dan ya, aku akan menuntut kekasih gelapmu itu ke pengadilan karena sudah merebut istriku.”
Cacha yang semakin geram pun langsung berdiri dan menampar Damien, hingga pipi kiri pria itu memerah sempurna. “Jangan coba-coba menantangku, Damien! Kau pikir, kau siapa, hah? Kau itu cuma benalu di kehidupanku. Kau tidak berguna untukku. Aku bahagia bersamanya dan kau tidak berhak mencampuri urusanku.”
Albert yang masih duduk di bawah pun tertawa mengejek kearah Damien. Sepertinya, ia puas saat mendengar perkataan Cacha yang begitu membela dirinya daripada suaminya itu. Albert tak menyangka, rencananya untuk menghancurkan rumah tangga Damien berhasil dengan sempurna.
“Berhenti tertawa!” bentak Damien.
“Apa hakmu melarangku tertawa, hah? Kau sudah dengar ucapan Cacha, bukan? Dia lebih mencintaiku daripada kau. Lebih baik kau mundur saja dan tidak perlu repot-repot melaporkanku,” ujar Albert dengan senyum miringnya.
Damien mengepalkan tangannya. “Kau memang pria bajingan. Kau sudah tahu dia punya suami, dan kau masih mengganggunya.”
“Bukan aku yang mengganggunya. Tapi dia yang mau denganku. Aku tidak memaksanya,” ujar Albert angkuh.
“Ya, terserah apa katamu. Dimataku, kau hanya seorang pengganggu rumah tangga orang. Kau bahkan tidak pantas untuk dipuja wanita. Kau hanya seorang pria murahan,” ucap Damien sarkas.
“Apa katamu?!”
Albert mencoba berdiri dan hendak memberikan pukulannya pada Damien. Namun Damien langsung menahan tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat sampai Albert memekik kesakitan. Albert merasa tulang-tulangnya akan patah jika cengkeraman itu tidak segera dilepaskan. Sementara Cacha terus berteriak dan berusaha untuk melepaskan tangan Damien dari tangan kekasihnya.
“Lepaskan dia, Damien!” teriak Cacha.
“Kenapa? Bukankah kekasihmu ini kuat? Dia pasti bisa melepaskannya sendiri,” ucap Damien dengan senyum miringnya.
“Kau gila, hah?! Tangannya bisa patah!”
“Cih! Biarkan saja. Memang itu yang kumau,” ujar Damien.
Cacha geram dan memukul Damien dengan tasnya. Namun hal itu tak mampu menolong Albert sama sekali. Tubuh Damien lebih kekar dibanding Albert. Bahkan Damien sempat terpikir, apa yang dilihat Cacha dari pria di hadapannya ini? Tubuhnya juga tidak kekar. Hatinya tidak baik, karena sudah berani mengganggu istri orang.
“Damien, lepaskan dia!”
“Ca, tolong aku!” rintih Albert.
Damien hanya tertawa melihat rintihan dari pria itu. Sungguh memalukan. Batin Damien. Damien merasa bahwa ini hukuman yang pantas didapatkan Albert. Untung saja kerjasama produk barunya itu dibatalkan dengan cepat. Jika tidak, mungkin pria di hadapannya ini akan bertindak sesuka hati padanya.
“Damien!” teriak Cacha lagi.
Damien menatap Cacha. “Masuk ke mobilku sekarang juga. Aku akan melepaskannya setelah itu.”
“Tidak. Aku tidak mau,” tolak Cacha.
“Baiklah.”
Damien semakin mengeratkan cengkeramannya dan Albert juga semakin berteriak kesakitan. Cacha pun terkejut dan kembali memukul Damien. Namun pukulan itu justru semakin membuat Damien tak ingin melepaskannya. Mendengar Albert memohon-mohon seperti itu benar-benar membuatnya bahagia. Mungkin ini yang dinamakan jiwa psikopat?
“Aargghh!” teriak Albert lagi.
“Ya, baiklah. Aku akan ikut denganmu. Tapi lepaskan dia,” kata Cacha.
“Kau masuk dulu ke mobil, baru aku lepaskan.”
Cacha mendengus kesal sambil berjalan ke arah mobil Damien lalu masuk kedalam. Setelah itu, Damien melepaskan tangan Albert dan bergegas pergi. Membiarkan Albert kesakitan di sana. Sendirian.
“Aku sudah memutuskan untuk tetap mempertahankanmu, Ca. Aku yakin, kau masih mencintaiku,” batin Damien.
***
Kini Damien dan Cacha duduk berdampingan di atas kasur. Cacha sendiri masih membuang wajahnya, enggan untuk melihat Damien. Sementara Damien senantiasa memandang istrinya. Pria itu masih berharap Cacha kembali mencintainya dan meninggalkan Albert. Ia belum siap untuk berpisah dengan Cacha.
“Kenapa kau berubah, Ca?” tanya Damien membuka pembicaraan. “Apa aku pernah membuat sakit hati? Jika memang pernah, katakan saja padaku. Aku akan menerimanya.”
“Bukannya sudah kukatakan kalau aku tidak mencintaimu. Aku hanya mencintai Albert. Kau hanya kuanggap sebagai pelarianku saja,” ujar Cacha tetap dengan posisi wajah yang sama.
“Pelarian?”
“Iya, pelarian. Aku dan Albert sudah pernah berhubungan sebelumnya. Tapi dia sempat meninggalkanku begitu saja tanpa kabar. Saat kau datang, aku hanya memanfaatkanmu sambil menunggu kabar dari kekasihku. Aku yakin, dia kembali. Dan ternyata dugaanku benar,” kata Cacha menjelaskan.
Damien pun terkejut. Jadi selama ini, dia hanya menjadi tempat pelarian saja? Tidak ada cinta yang tulus dari Cacha untuknya? Astaga. Kenapa harus seperti ini? Pikir Damien.
“Perlu aku tekankan sekali lagi bahwa aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya mencintai Albert. Bahkan Albert rela meninggalkan istrinya demi aku. Jadi, aku akan melakukan hal yang sama yaitu meninggalkanmu demi dia,” lanjut Cacha sarkas.
Damien memalingkan wajahnya saat airmata itu jatuh dari pelupuk matanya. “Kenapa kau tega mempermainkan perasaanku, Ca? Jika memang kau tidak mencintaiku, harusnya kau tolak saja lamaranku saat itu. Jika sudah begini, aku bisa apa? Aku sudah terlalu mencintaimu. Bahkan lebih dari nyawaku sendiri.”
“Aku tidak peduli.”
Damien memejamkan matanya sejenak. “Ya, aku tahu itu.”
“Jika sudah tahu, kenapa kau menggangguku, hah? Harusnya kau tandatangani saja surat itu dan biarkan aku hidup bahagia bersama Albert,” kata Cacha tegas.
Damien menggeleng. “Aku belum siap berpisah denganmu. Tolong, kasih aku waktu untuk memikirkannya.”
“Terserah. Jika terlalu lama, aku akan menikah terlebih dulu dengan Albert. Aku tidak peduli padamu,” ucap Cacha sambil keluar dari kamar utama menuju kamar tamu.
Damien hanya bisa diam sambil menangis tanpa suara. Hatinya benar-benar hancur. Ia bingung, yang salah itu dirinya atau Albert? Andai saja dia tahu lebih awal, mungkin hatinya tidak akan sehancur ini.
Beberapa menit kemudian, Damien teringat akan ucapan ayahnya. Ia harus memeriksa beberapa berkas penting tentang perusahaan. Jika memang Cacha hanya menginginkan hartanya, kemungkinan besar ia pasti akan mengambil berkas kepemilikan perusahaan. Damien tidak mungkin tinggal diam jika itu memang benar.
Damien berjalan menuju meja kerjanya lalu memeriksa beberapa dokumen penting di laci. Ia melihat ada beberapa berkas yang berantakan. Bahkan beberapa stempel juga hilang. Damien pun terus mencari berkas kepemilikan perusahaan itu, berharap berkas itu tidak hilang dari tempatnya.
“Astaga. Dimana berkas itu?” gumam Damien mulai panik saat berkasnya tidak ada di tempat biasa.
Damien mencoba mencarinya kembali. Barangkali ia lupa meletakkannya. Ia pun membongkar laci yang ada di lemari pakaian, namun tidak menemukan apapun di sana.
“Tidak mungkin berkas itu hilang begitu saja. Aku sudah meletakkannya dengan baik. Pasti dia yang mengambilnya.”
Damien pun langsung menemui Cacha di kamar tamu. Meskipun pintunya dikunci, Damien tetap bisa membukanya. Ia pun membangunkan Cacha yang sudah tertidur.
“Dimana berkas kepemilikan perusahaanku?” tanya Damien.
“Aku tidak tahu,” jawab Cacha malas.
Damien mendesis. “Jangan berbohong. Aku tahu, kau yang mengambilnya. Aku tidak pernah menyentuh berkas itu.”
“Kenapa kau menuduhku? Mungkin saja ada penyusup,” ujar Cacha kesal.
“Ya, kau penyusupnya,” tuduh Damien. “Karena yang tahu letak berkas itu hanya kau dan aku. Tidak mungkin ada orang lain yang mengambilnya begitu saja dengan mudah.”
Cacha berdiri dan menatap tajam Damien. “Berani sekali kau menuduhku, hah?! Mana buktinya?!”
Damien mengeluarkan ponsel dan memutar rekaman cctv di kamarnya. Di sana terlihat jelas memang Cacha yang mengambilnya. Jadi, sebelum ke kamar Cacha, ia memastikan terlebih dulu melalui cctv. Untung saja Damien memasang cctv itu di kamarnya.
“Masih mau mengelak?” tanya Damien.
Cacha pun terlihat gelagapan. “Ya, memangnya kenapa?”
“Kembalikan berkas itu sekarang juga,” ujar Damien.
“Aku tidak mau.”
“Baiklah. Aku akan menghubungi polisi dan menyerahkan bukti ini pada mereka. Setelah itu, kau akan ditangkap dan di penjara. Lalu Albert, dia akan meninggalkanmu selamanya,” kata Damien, mengancam.
Cacha ketakutan. Ia tidak ingin hidupnya berakhir di penjara. Belum tentu Albert akan menolongnya. Bagaimana ini? Batin Cacha.
“Apa kau masih tidak ingin mengembalikannya?” tanya Damien.
“Ya, baiklah. Aku akan kembalikan, tapi sebelum itu hapus videonya,” ujar Cacha.
Damien tersenyum lalu menggeleng. “Tidak akan. Video ini akan kuhapus setelah kau mengembalikan berkasnya. Aku beri waktu sampai besok siang. Jika tidak, kau akan berurusan dengan polisi.
Setelah itu, Damien pergi dengan sedikit senyum kemenangan. Ternyata dugaan ayahnya benar. Cacha ingin menguasai perusahaannya sekaligus hidup bahagia dengan Albert. Wanita itu benar-benar ingin menghancurkan kehidupannya.
“Tidak akan kubiarkan kau mengambil alih perusahaanku,” gumam Damien.
TBC~Cacha tampak gelisah memikirkan ucapan suaminya yang sama sekali tidak menyerah untuk mempertahankannya. Ia harus apa sekarang? Keinginan untuk menguasai perusahaan Damien bukanlah hal yang utama baginya. Albert adalah alasan dia tetap bersikeras untuk berpisah dengan Damien. Hanya saja yang terlihat begitu ambisi untuk menguasai perusahaan Damien adalah Albert.Bagaimana tidak? Perusahaan Damien adalah perusahaan terbesar di Perancis dan sudah memiliki banyak cabang di beberapa negara besar. Perusahaan yang dibangun oleh hasil kerja keras Damien itu merupakan perusahaan yang sangat maju, dibanding perusahaan lain. Tak heran jika banyak investor asing yang berani menanam saham di perusahaan Damien. Selain perusahaan, para investor juga menilai dari segi kinerja Damien. Menurut mereka, Damien sangat cekatan dan tidak pernah membuang waktu untuk hal yang tak penting. Itu sebabnya Albert begitu berambisi ingin memilikinya, dengan cara merebut Cacha dan memintanya untuk mengambil
Damien menatap selembar kertas dari pengadilan yang ada di hadapannya. Rasa sesak di dadanya tak kunjung reda saat Cacha terus memaksanya untuk menandatangani surat itu. Berkas perusahaan yang ia inginkan juga sudah Cacha kembalikan. Apa tidak ada hal lain yang bisa menahan istrinya untuk tetap tinggal bersamanya? Tentu tidak. Keputusan Cacha tak bisa diganggu-gugat lagi.Cacha yang kini berhadapan dengan Damien pun merasa jengah karena menunggu terlalu lama. Sejak tadi, ia hanya memerhatikan Damien yang menatap surat itu tanpa melakukan apapun. Ini benar-benar membosankan baginya. Padahal dirinya sudah susah payah mengambil berkas perusahaan itu agar Damien segera menandatanganinya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pria itu tak kunjung melakukan tugasnya.Cacha berdecak kesal. "Cepat tandatangani suratnya. Jangan terlalu banyak drama.""Apa rumah tangga kita tidak bisa dipertahankan saja seperti sebelumnya? Apa ini harus berakhir?" tanya Damien sambil menatap s
Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini. Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena. "Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman." Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana. "Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu. Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar s
Prang! Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri. Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha. Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien.
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dyandta heran. George pun tampak panik dan bingung harus mengatakan apa. "Aku sedang... ehm...." Dyandta masih memperhatikan gelagat George. Dia seorang psikolog dan pasti mengetahui makna dari sikap gugup George ini. Dyandta menaruh curiga pada rekan sesama dokternya ini, karena biasanya George tidak pernah memperhatikan ruang kerjanya. "Ke-napa kau melihatku seperti itu?" tanya George gugup. "Karena kau aneh," jawab Dyandta jujur. "Kau sudah lupa kalau aku seorang psikolog? Aku bisa membaca gerak-gerikmu, George." George sendiri semakin tersudutkan dan membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika Dyandta sampai tahu bahwa dirinya sedang memata-matai Damien, maka tamatlah riwayatnya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu, dan ini pasti ada kaitannya dengan pasienku, Damien. Benarkan?" tanya Dyandta memastikan apakah opininya benar atau salah. George langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kenapa kau
George tampak begitu bersemangat menyiapkan beberapa bahan untuk menjebak Dyandta. Gadis itu sudah merusak penghasilannya. Membungkam seseorang seperti Dyandta memang harus dengan cara yang kasar. Kalau tidak, George akan mendapat masalah besar dan kemungkinan yang akan terjadi adalah dirinya akan dipecat dari rumah sakit. Izinnya sebagai dokter bedah juga akan terancam nantinya. George tidak ingin hal itu sampai terjadi padanya. Itu sebabnya, dia harus mengikuti saran dari Cacha untuk memberi pelajaran pada Dyandta.Pria berdarah German - Inggris itu pun berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan Dyandta. Kebetulan sekali, George melihat tidak ada siapapun yang melewati lorong ini. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ini waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya. Ia juga sudah mematikan kamera cctv yang berada di sekitar lorong yang mengarah ke ruangan Dyandta. George benar-benar merasa puas dikala dirinya bisa mengelabui petugas yang mengawasi setiap sudut ru
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka