Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong.
"Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?"
"Apa?"
"Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan."
Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi.
"Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta.
"Kau tahu darimana?" tanya wanita yang sudah jelas adalah Cacha.
"Hei, aku bekerja di rumah sakit ini. Jadi, segala informasi pasti aku dapatkan dengan mudah."
Dyandta semakin penasaran dengan pria itu. Pria itu mengaku bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Ini semakin membuatnya curiga. Bisa jadi, pria itu memata-matainya semenjak dirinya bersedia menerima Damien sebagai pasiennya.
"Jangan banyak basa-basi. Aku datang karena ingin mendengar informasi yang detail, bukan setengah-setengah," ujar Cacha sedikit kesal.
"Dengar, aku tahu informasi ini dari salah satu perawat Dokter Dyandta. Dia mengatakan kalau Dokter Dyandta baru saja mendapatkan pasien bernama Damien, karena orang tuanya memohon padanya."
Cacha mengernyit heran. "Maksudmu, si tua Bailey itu yang memohon pada dokter itu?"
"Iya. Aku melihat sendiri di lobi dan aku langsung bertanya pada perawat Dokter Dyandta."
"Kau tidak bercanda, kan?" tanya Cacha seakan tidak yakin dengan ucapan pria itu. "Karena tidak mungkin, seorang Bailey memohon seperti itu pada orang lain. Aku tahu betul watak mantan mertuaku itu."
Pria itu mendecak kesal. "Jika kau tidak percaya, jangan pernah hubungi aku lagi."
"Astaga! Kau itu terlalu sensitif," cibir Cacha. "Baiklah, aku percaya. Ini imbalanmu. Tetap beri informasi tentang Damien padaku. Jika tidak, aku tidak akan membayarmu lagi. Dan kupastikan, kau dipecat dari rumah sakit ini."
"Itu ancaman yang mengerikan," gerutu pria itu kesal. "Aku akan terus memberi informasi itu, selagi kau memberiku uang. Jika tidak, aku tidak akan memberimu informasi sedikitpun tentang Damien."
Cacha mendengus. "Terserah!"
Setelah itu, Cacha bergegas pergi. Pria itu hendak pergi, namun tak sengaja menangkap sosok Dyandta di balik tembok penyekat. Ia pun bergegas pergi agar tidak ketahuan. Dyandta mencoba untuk mengejar, namun tidak berhasil.
"Sial! Larinya cepat sekali," gerutu Dyandta.
Dyandta pun memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Hari ini memang ia bertugas untuk berjaga di rumah sakit. Jadi dia harus tetap di sana sampai besok pagi.
Di ruangan, Dyandta masih memikirkan identitas pria tersebut. Apakah dia seorang dokter? Atau perawat? Atau bahkan petugas lainnya? Ah, hal ini membuat kepalanya mendadak pusing. Ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang memanfaatkan kekurangan orang lain untuk kepentingannya sendiri? Demi uang?
"Apa aku harus memberitahukan hal ini pada Tuan Bailey? Apakah tidak mengganggu jika aku menghubunginya di jam selarut ini?"
Dyandta mencoba mencari nomor telepon Bailey di kontak ponselnya, lalu menekan tanda memanggil. Meskipun ragu, tapi Dyandta harus mencoba. Ia tidak bisa menutupi kejadian ini sendirian. Dia harus berbicara pada salah satu keluarga yang bersangkutan.
"Halo, Dok," sapa Bailey di seberang telepon.
"Halo, Tuan. Maaf, mengganggumu," ucap Dyandta.
"Ah, tidak apa-apa. Ada perihal apa, Dok?" tanya Bailey.
"Begini, Tuan. Tadi aku tidak sengaja mendengar percakapan antara mantan istri Damien dengan seorang pria yang bekerja di rumah sakit ini. Pria itu memberikan informasi mengenai psikis Damien pasca ditinggal oleh mantan istrinya dan menerima sejumlah uang darinya," ujar Dyandta.
"Apa? Untuk apa Cacha mengetahui kondisi Damien? Dan siapa pria yang dokter maksud?"
Dyandta menghela napas berat. "Aku tidak tahu siapa pria itu. Saat aku ingin mendekatinya, tiba-tiba saja dia lari. Untuk Cacha sendiri, mungkin dia ingin tahu apakah Damien bahagia pasca ditinggalkan olehnya atau tidak."
"Astaga! Dia masih saja ingin mengganggu putraku!"
Bailey terdengar marah dan tidak terima dengan apa yang sudah diperbuat Cacha. Pasalnya, Damien menderita seperti ini juga karena ulahnya. Kenapa dia masih ingin mencari informasi tentang Damien? Apa dia belum puas dengan penderitaan yang dialami Damien?
"Tenang, Tuan. Aku akan mencari informasi yang lebih tentang mereka. Fokuslah pada kesembuhan Damien," kata Dyandta mencoba menenangkan Bailey.
"Baiklah. Aku serahkan padamu, Dok."
Dyandta mengangguk sendiri. "Aku tutup teleponnya, Tuan. Selamat malam."
"Selamat malam."
Dyandta meletakkan ponselnya di atas meja kerja, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya terpejam sambil memikirkan bagaimana cara untuk mengetahui informasi tentang pria itu.
"Aku harus menemukan identitasnya dengan cepat," gumam Dyandta.
***
Dyandta terlihat membereskan buku-buku yang ia baca semalaman di ruang kerjanya. Sinar mentari pagi juga sudah memasuki ruangannya hingga membuatnya merasa bersemangat, meskipun tidak tidur. Ia bergegas keluar ruangan untuk menikmati suasana pagi di taman rumah sakit. Dyandta menyapa beberapa pasien yang berlalu lalang di sana sambil mengumbar senyum termanisnya.
Langkahnya mendadak terhenti saat seseorang menghampirinya. George tersenyum manis padanya dan menyodorkan sebuah bucket bunga mawar untuknya. Hal itu tentu saja membuat dahi Dyandta mengernyit kebingungan.
"Bunga mawar indah untuk orang yang spesial," ucap George.
Dyandta tertawa pelan. "Ada hal apa yang membuatmu memberikan bunga ini?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin memberikan ini padamu. Karena menurutku, kau orang yang istimewa," jawab George.
"Ya, itu menurutmu. Tapi tidak menurutku," ujar Dyandta. "Berikan saja pada pasien di sana itu. Aku rasa, dia lebih membutuhkannya."
"Tapi aku...."
"Bye, George!"
Dyandta pun langsung bergegas pergi sambil melambaikan tangannya pada George. Entah kenapa, akhir-akhir ini George selalu bertingkah aneh padanya. Karena tidak biasanya George bersikap baik seperti itu padanya. Tapi sudahlah. Dyandta tidak ingin memusingkan perubahan sikap George padanya. Fokusnya saat ini adalah menyembuhkan Damien dan mencari tahu siapa pria yang bekerjasama dengan Cacha.
Kini, Dyandta tampak menikmati suasana taman dengan santai tanpa diganggu siapapun. Dia menghirup harum bunga-bunga yang ditanam di sana dan menikmati sinar matahari pagi sambil duduk di salah satu kursi taman. Tanpa ia sadari, seseorang sudah muncul di hadapannya.
"Da-Damien?"
Dyandta langsung berdiri dan berhadapan dengan Damien. Ia masih sangat terkejut dengan kehadiran pria itu di hadapannya. Dyandta juga melirik ke arah lain, barangkali ada Bailey di sana. Tapi, hasilnya nihil.
"Kau datang sendiri?" tanya Dyandta.
Damien menggeleng. Lalu dia menunjuk ke arah Bailey yang baru saja muncul di tengah orang-orang yang berlalu-lalang di teras rumah sakit. Dyandta pun menghela napas lega. Ia sempat mengira Damien datang sendirian ke ruamh sakit untuk menemuinya.
"Ayo, duduk di sini!"
Dyandta mengajak Damien untuk duduk bersamanya dan Damien pun hanya menurut saja. Dyandta menatap Damien sambil tersenyum manis. Seketika timbul ucapan di hatinya mengenai pria itu.
"Pria setampan dan semenarik ini saja, bisa disia-siakan wanita. Ah, betapa bodohnya wanita itu meninggalkan pria yang begitu mencintainya sampai separah ini," batin Dyandta.
Damien membalas tatapan Dyandta dengan tatapan datarnya. "Lapar," ucapnya.
Dyandta tertegun sesaat. "Kau lapar? Apa kau belum sarapan?"
"Belum. Istriku belum membuatkannya untukku," jawab Damien yang langsung membuat hati Dyandta terenyuh.
"Aku bisa membuatkannya untukmu," ujar Dyandta.
Damien langsung menggeleng cepat. "Aku tidak mau buatan siapapun! Aku mau buatan istriku!"
"Ah, baiklah. Maaf ya," ucap Dyandta, mencoba untuk tetap tenang menghadapi tingkah Damien.
Bailey baru saja tiba dengan napas yang sedikit tersengal-sengal. Ia menatap Damien dan Dyandta secara bergantian.
"Selamat pagi, Tuan Bailey," sapa Dyandta ramah sambil berdiri.
"Selamat pagi, Dok," balas Bailey. "Aku tidak menyangka Damien bisa tahu keberadaanmu."
Dyandta tertawa kecil lalu menatap Damien dengan senyumannya. "Aku juga terkejut saat dia sudah ada di hadapanku, Tuan. Aku sempat mengira dia datang sendirian."
Bailey hanya tertawa sambil mengusap kepala Damien dengan penuh kasih sayang.
"Bagaimana kalau kita ke ruanganku saja? Kita bisa berbicara banyak di sana," kata Dyandta.
Bailey mengangguk setuju dan membawa Damien mengikuti Dyandta untuk masuk ke ruangan. Dyandta hanya tidak ingin ada yang mengetahui segala aktivitasnya saat ini, karena dirinya masih belum menemukan siapa yang sedang memata-matainya. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya sampai Bailey datang dan memohon padanya untuk merawat Damien hingga sembuh.
TBC~Hai semua. Ini lanjutan ceritanya. Silahkan dibaca dan jangan lupa beri dukungan kalian. Terima kasih 😊
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dyandta heran. George pun tampak panik dan bingung harus mengatakan apa. "Aku sedang... ehm...." Dyandta masih memperhatikan gelagat George. Dia seorang psikolog dan pasti mengetahui makna dari sikap gugup George ini. Dyandta menaruh curiga pada rekan sesama dokternya ini, karena biasanya George tidak pernah memperhatikan ruang kerjanya. "Ke-napa kau melihatku seperti itu?" tanya George gugup. "Karena kau aneh," jawab Dyandta jujur. "Kau sudah lupa kalau aku seorang psikolog? Aku bisa membaca gerak-gerikmu, George." George sendiri semakin tersudutkan dan membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika Dyandta sampai tahu bahwa dirinya sedang memata-matai Damien, maka tamatlah riwayatnya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu, dan ini pasti ada kaitannya dengan pasienku, Damien. Benarkan?" tanya Dyandta memastikan apakah opininya benar atau salah. George langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kenapa kau
George tampak begitu bersemangat menyiapkan beberapa bahan untuk menjebak Dyandta. Gadis itu sudah merusak penghasilannya. Membungkam seseorang seperti Dyandta memang harus dengan cara yang kasar. Kalau tidak, George akan mendapat masalah besar dan kemungkinan yang akan terjadi adalah dirinya akan dipecat dari rumah sakit. Izinnya sebagai dokter bedah juga akan terancam nantinya. George tidak ingin hal itu sampai terjadi padanya. Itu sebabnya, dia harus mengikuti saran dari Cacha untuk memberi pelajaran pada Dyandta.Pria berdarah German - Inggris itu pun berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan Dyandta. Kebetulan sekali, George melihat tidak ada siapapun yang melewati lorong ini. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ini waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya. Ia juga sudah mematikan kamera cctv yang berada di sekitar lorong yang mengarah ke ruangan Dyandta. George benar-benar merasa puas dikala dirinya bisa mengelabui petugas yang mengawasi setiap sudut ru
Pagi ini, Cacha tampak mendatangi George. Ia hanya ingin memastikan keadaan George dan sedikit penasaran dengan kejadian semalam. Namun kedatangannya justru mengundang perhatian Dyandta. Gadis itu tak sengaja melihat Cacha masuk ke rumah sakit tempatnya bekerja, karena saat ini George memang sedang dirawat di sana dan tetap dalam pengawasan pihak kepolisian Perancis. Dyandta pun mengikuti langkah Cacha dan berhentilah ia di salah satu ruang rawat tempat George terbaring lemas akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. George sempat koma semalam, namun pagi ini dia sudah sadarkan diri. Kondisinya masih sangat buruk.Cacha dengan santai masuk ke dalam kamar tersebut, namun Dyandta hanya bisa melihatnya dari luar. Ingin mendekat ke pintu, namun di luar ada dua polisi yang sedang berjaga. Jadi dia tidak mungkin mendekat. Sementara di dalam kamar George, Cacha tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengumpati George."Kenapa kau ceroboh sekali, hah?" tanya Cacha dengan nada kesal
Seminggu kemudian, Damien tampak sudah bisa berinteraksi dengan normal setelah melakukan terapi psikis. Ia sudah bisa mengingat kembali tentang perusahaannya, bahkan orang tuanya. Pikirannya yang semula hanya terfokus pada Cacha, kini sudah terpecah sedikit demi sedikit. Perlahan Damien sudah bisa menerima beberapa orang karyawan yang mengunjunginya di kediaman Bailey dan Airin. Namun memang Damien masih sangat sensitif jika seseorang menyinggung tentang Cacha. Nama itu belum sepenuhnya hilang dan masih harus tetap dikontrol.Kemarin malam, Dyandta mengatakan pada Bailey bahwa untuk tiga hari kedepan, dirinya tidak dapat melakukan terapi psikis pada Damien. Dyandta harus pergi ke luar kota untuk beberapa urusan keluarga dan Bailey pun memahaminya. Dokter muda itu sempat berpesan pada Bailey untuk tetap mengontrol emosi Damien, karena depresi itu belum hilang sepenuhnya. Jadi peranan Bailey dan Airin di sini sangatlah penting. Mereka wajib mengingatkan beberapa kerabat dan karyawa
Damien terlihat begitu sibuk hari ini, karena harus mengurus beberapa berkas yang sempat terbengkalai. Memang sudah ada sebagian berkas yang diselesaikan oleh Bailey, namun tumpukan berkas itu seakan tidak berkurang sedikitpun dari hadapannya. Bahkan Damien sampai melewatkan jam makan siangnya selama 30 menit. Untung saja sekretarisnya mengingatkan dan saat ini dirinya tengah berada di kantin perusahaan sambil membawa bekal makan siang dari Airin. Ia juga ditemani oleh Fransisco, karena kebetulan rekannya itu juga mengalami nasib yang sama seperti Damien hari ini.Mereka berdua makan bersamaan dan sesekali membahas tentang beberapa gagasan untuk proyek terbaru. Bagaimanapun juga, Fransisco harus membantu Damien untuk kembali bangkit lagi seperti dulu dan ini juga termasuk permintaan dari Bailey. Fransisco tidak merasa keberatan dengan hal itu. Menurutnya, jika Damien terus disibukkan dengan hal pekerjaan, mungkin ingatan tentang Cacha akan sirna dengan cepat. Jadi, dia memutuskan
"PERGI!"Damien masih saja berteriak sehingga membuat Bailey, Janet dan Fransisco begitu panik dan bingung. Bailey sendiri sedang berusaha menghubungi Dyandta, namun dokter muda itu tidak menjawabnya sama sekali. Padahal Bailey berharap sekali Dyandta bisa membantunya untuk kali ini saja. Tapi harapannya seakan terhempas begitu saja."Bagaimana, Paman? Belum ada jawaban?" tanya Janet panik sambil sesekali memegangi Damien yang terus memberontak dan berteriak. "Kita tidak bisa mengendalikan Damien lebih lama lagi, Paman.""Aku sedang berusaha. Tapi aku rasa, Dyandta memang sedang sibuk dengan urusannya. Aku juga tidak tahu harus bagaimana," jawab Bailey yang masih tetap berusaha menghubungi Dyandta.Fransisco yang sedari tadi diam pun menoleh ke arah pintu ruangan Damien. Sudah ada beberapa karyawan yang menatap iba pada kondisi Damien saat ini. Fransisco pun menghampiri mereka lalu meminta untuk tetap diam dan jangan mengatakan apapun di luar. Karena para media pasti aka
Setelah Damien tenang, barulah Bailey bisa membawa pulang putranya itu. Suasana kantor sudah sunyi, karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Janet dan Fransisco juga sudah pulang lebih dulu sebab ada hal lain yang harus mereka kerjakan. Tinggallah Bailey seorang yang menjaga Damien hingga putranya itu bangun dari tidurnya. Perasaan Bailey sedikit lega karena Damien sudah jauh lebih tenang. Untung saja Dyandta menerima panggilan teleponnya. Kalau tidak, mungkin sampai detik ini Damien masih terus berteriak sambil menyebut nama Cacha.Bailey terlihat berjalan berdampingan dengan Damien. Tatapannya sesekali memerhatikan Damien yang masih sering melamun. Mungkin putranya itu masih sangat trauma akan kehadiran Cacha yang tiba-tiba tadi siang."Damien," panggil Bailey hingga membuyarkan lamunan Damien saat tengah berjalan ke lobi. "Lupakan kejadian yang terjadi hari ini. Jangan diingat, seperti yang dikatakan Dokter Dyandta."Damien hanya diam sambil memerhatikan ayahnya b
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka