Prang!
Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri.
Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha.
Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien. Bahkan orang tua Cacha juga turut membantu mengurus Damien.
Ya, meskipun Damien dan Cacha telah berpisah, Darrel dan Fanette tak pernah absen untuk menjenguk Damien yang kini tinggal bersama Bailey dan Airin. Mereka turut prihatin dan merasa bersalah saat melihat kondisi Damien. Pria itu menjadi depresi karena perbuatan putri mereka.
"CACHA! AKU MENCINTAIMU! APA KAU TAHU ITU, HAH?!" teriak Damien.
Airin menangis, namun tak berani mendekat karena saat ini dirinya sedang sendirian. Ia tak mampu mengatasi kemarahan anaknya sendiri. Airin pun bergegas menghubungi Bailey dan memintanya untuk segera pulang ke rumah.
"Halo, Suamiku," sapa Airin saat panggilannya dijawab oleh Bailey.
"Ada apa? Apa Damien mengamuk lagi?" tanya Bailey di seberang telepon.
Airin mengangguk sendiri. "Iya. Dia mengamuk lagi seperti sebelumnya. Apa kau sudah menemukan dokter yang tepat? Kapan kita bisa membawanya?"
"Aku sudah menemukannya. Besok, aku akan membawanya untuk menemui dokter itu."
Airin sedikit menghela napas lega. "Baiklah. Cepat pulang. Aku tidak bisa mengatasinya sendirian."
"Ya, sebentar lagi aku sampai. Kau tunggu saja dan jaga dia," ujar Bailey lalu segera mematikan sambungan teleponnya.
Airin pun kembali menatap Damien. Seisi kamar benar-benar tidak sedap di pandang mata. Sangat kacau.
"Ya Tuhan. Kenapa putraku menjadi seperti ini? Aku benar-benar tidak tega melihatnya," gumam Airin sambil menangis.
"CACHA! DIMANA KAU?! AKU RINDU!"
Prang!
Kali ini, piala kebanggaan Damien pun turut menjadi korban. Piala itu jatuh ke lantai dan sudah tak berbentuk seperti piala lagi. Damien tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Tak berselang lama, Bailey datang dan langsung mendekati Damien saat hendak menghancurkan cermin di depannya. Bailey terpaksa harus mengikat kedua tangan dan kaki Damien agar putranya itu tak lagi menghancurkan barang-barang. Meskipun sedih, tapi Bailey harus melakukan ini. Setidaknya sampai Damien bertemu dengan Dyandta besok.
"Kau benar-benar sudah dibutakan cinta, Damien!" bentak Bailey.
"DIAM!" balas Damien sambil meronta-ronta di atas kursinya karena ikatan tali di kaki dan tangannya. "LEPASKAN! DIMANA KAU SEMBUNYIKAN ISTRIKU!"
"Sadarlah, Nak. Dia bukan istrimu lagi. Kalian sudah berpisah," ujar Airin lirih.
Damien menatap tajam Airin. "TIDAK! DIA MASIH ISTRIKU! KAU PEMBOHONG!"
Plak!
Bailey menampar pipi kiri Damien hingga menimbulkan bekas merah di sana. "KAU YANG BODOH! DIA SUDAH MENINGGALKANMU! SADARLAH!" teriaknya kemudian.
Mendengar hal itu, tiba-tiba saja Damien tertawa. Tertawa layaknya orang gila yang benar-benar tidak bisa disadarkan. Dia tertawa lalu menangis.
"Dia meninggalkanku? Benarkah?" gumam Damien sambil tertawa. "Ah, dia meninggalkanku ya? Apa salahku? Aku tampan, kan? Lalu, kenapa?"
Bailey mengusak wajahnya kasar. Dia tak mampu menahan segala kekesalan dan kesedihannya lagi. Kondisi Damien sangat buruk sekali. Bailey ingin sekali membalaskan dendam Damien kepada Cacha. Tapi Airin selalu menghalanginya.
Ayah Damien itu menghela napas, lalu berjalan keluar meninggalkan Damien yang masih menggumam sendirian sambil tertawa. Bailey mengajak Airin untuk ikut bersamanya. Tapi sebelum itu, Bailey mengunci pintu kamar Damien agar putranya itu tidak kabur.
Kini, sepasang suami-istri itu duduk berdua di sofa ruang tamu. Airin masih saja menangis karena memikirkan nasib Damien.
"Aku harus menemui Cacha," ujar Bailey.
Sontak Airin menghentikan tangisnya lalu menatap Bailey. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya.
"Aku ingin memberi pelajaran pada wanita itu. Dia sudah membuat putraku menjadi seperti ini," jawab Bailey.
"Apa dengan kau melakukan itu, Damien bisa kembali normal lagi? Apa dia akan bersikap baik lagi?" tanya Airin seakan tidak setuju dengan rencana Bailey. "Tentu tidak, Suamiku. Hal itu tidak akan mengembalikan Damien seperti semula. Yang kita butuhkan saat ini hanyalah pengobatan untuk Damien. Bukan menemui wanita tak tahu diri itu."
Bailey menatap Airin. Kedua matanya tampak sudah berkaca-kaca. Sejujurnya, ia sudah tak sanggup melihat Damien seperti itu. Ia berpikir, jika dirinya bisa membalaskan dendam Damien pada Cacha, Damien akan kembali normal dan senang. Tapi ia tersadar setelah Airin mengatakan fakta yang sebenarnya. Tidak semudah itu membuat Damien sembuh dari kegilaannya.
"Aku tahu, kau sangat ingin Damien sembuh. Tapi kita tidak perlu berurusan dengan wanita itu lagi. Masih banyak cara lain yang lebih baik," ujar Airin sambil mengelus pundak suaminya.
"Ya, kau benar."
"Sekarang istirahatlah di kamar. Aku akan menyusul," kata Airin.
Bailey mengangguk lalu pergi untuk masuk ke kamar. Sementara Airin menuju ke dapur untuk membuat segelas susu.
***
Pagi ini, Bailey membawa Damien pergi menemui Dyandta untuk melakukan terapi. Airin pun turut ikut Bailey dan menjaga Damien di kursi belakang mobil. Tangan dan kaki Damien masih diikat agar tidak melakukan hal-hal yang buruk nantinya.
Selang beberapa menit, Bailey sudah tiba di rumah sakit tempat Dyandta bekerja. Bailey dan Airin membawa Damien dibantu beberapa perawat, karena Damien sedikit memberontak. Dan mereka pun sudah masuk kedalam ruangan Dyandta.
"Kalian berdua bisa menunggu di luar," ujar Dyandta.
"Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk putra kami," pinta Airin penuh harap.
Dyandta mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan melakukan yang terbaik, Nyonya."
Bailey dan Airin mengangguk bersamaan sambil keluar dari ruangan Dyandta. Setelah kepergian orang tua Damien, Dyandta pun duduk di samping Damien. Ia dengan tenang membuka ikatan tali di tangan dan kaki Damien. Sementara Damien tampak diam dan tak memberontak.
Setelah membuka ikatan tersebut, Dyandta menatap Damien dengan tatapan lembut sambil tersenyum. Ia mulai memegang buku catatan serta penanya untuk mencatat hal-hal tentang perkembangan pasiennya.
"Hai," sapa Dyandta.
Damien hanya diam namun tetap menatap Dyandta. Tatapannya sungguh tidak bisa diartikan oleh Dyandta.
"Baiklah. Perkenalkan, aku Dyandta. Aku bekerja di sini dan akan merawatmu sampai sembuh. Apa kau bersedia menjadi teman sekaligus pasienku?" tanya Dyandta.
Damien masih diam. Tak memberi respon apa-apa, hingga membuat Dyandta sedikit kebingungan. Sepertinya, Damien masih harus beradaptasi lagi dengannya. Pikir Dyandta.
Dyandta menyentuh tangan Damien dan sedikit menggenggamnya. Tatapan Damien pun beralih pada tangan Dyandta yang berada di atas tangannya.
"Aku sudah punya istri."
Ucapan Damien sedikit membuat Dyandta tersentak kaget. Ia pun bergegas menjauhkan tangannya dari tangan Damien.
"Maaf. Aku tidak tahu jika kau sudah menikah," ucap Dyandta.
"Tidak apa-apa."
Dyandta berpura-pura menatap ke arah pintu ruangannya. "Tapi, dimana istrimu? Kenapa tidak ikut bersamamu?"
"Dia sedang sibuk mengurus bisnis berliannya. Jadi tidak ikut denganku," jawab Damien.
Dyandta mengangguk sambil mencatat respon Damien yang begitu mengejutkan ini. Menurut penilaiannya, respon Damien tidak menunjukkan bahwa ia sedang mengalami depresi berat. Tapi mungkin dia masih berhalusinasi bahwa dirinya masih bersama istrinya. Sementara menurut laporan Bailey, Damien sudah diceraikan oleh istrinya hingga mengalami depresi.
"Apa yang kau rasakan saat istrimu tidak ada bersamamu?" tanya Dyandta.
"Aku merasa kehilangan," jawab Damien yang mendadak tatapannya menjadi sendu lalu menunduk. "Aku benar-benar merasa kesepian tanpanya."
Ah, gejala itu sudah mulai muncul. Damien menunjukkan reaksinya saat Dyandta menanyakan tentang hal sensitif itu. Dyandta mengerti bagaimana perasaan Damien. Ia melihat pria itu sangat mencintai mantan istrinya dan sangat sulit untuk mengikhlaskannya pergi.
Dyandta mengelus pundak Damien. "Jangan bersedih. Aku ada di sini untukmu. Masih ada orang tuamu juga di luar sana. Kau tidak sendiri."
"Aku butuh dia. Aku butuh dia," ucap Damien sambil menangis sesenggukan.
Dyandta turut menangis melihat Damien seperti itu. Tidak mudah melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Bahkan hiburan sirkus sekalipun tidak akan bisa menghilangkan kesedihannya.
"Baiklah. Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri saat ini. Kau boleh pulang dan datanglah kembali besok bersama orang tuamu," ujar Dyandta sambil menuntun Damien keluar dari ruangannya untuk menemui Bailey dan Airin.
Dyandta meminta Bailey untuk berbicara sejenak dengannya. Sementara Airin membawa Damien dan menunggu Bailey di mobil.
"Bagaimana, Dok?" tanya Bailey sedikit cemas.
"Begini, Tuan. Untuk melupakan seseorang yang dicintai itu butuh waktu. Tidak mudah. Saat ini, Damien masih terobsesi dengan mantan istrinya. Jadi saran saya, tolong buang semua barang-barang yang berhubungan dengan mantan istrinya," jelas Dyandta.
"Apa itu akan berhasil?"
Dyandta tersenyum. "Lambat-laun akan berhasil, Tuan. Tapi tidak instan. Semuanya butuh proses. Yang terpenting anda sabar untuk menghadapi sikapnya nanti."
"Baiklah. Terima kasih karena sudah bersedia membantuku," ucap Bailey. "Aku permisi."
Dyandta hanya mengangguk sambil melihat kepergian Bailey dan menghilang di balik pintu ruangannya. Ia pun sedikit menghela napas lalu melihat catatan tentang Damien. Dyandta berharap, semoga Damien segera sembuh dari depresinya dan melanjutkan hidup yang baru.
TBC~
Hai semua. Silahkan dibaca kelanjutan cerita ini ya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote kalian ya. Terima kasih đ
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dyandta heran. George pun tampak panik dan bingung harus mengatakan apa. "Aku sedang... ehm...." Dyandta masih memperhatikan gelagat George. Dia seorang psikolog dan pasti mengetahui makna dari sikap gugup George ini. Dyandta menaruh curiga pada rekan sesama dokternya ini, karena biasanya George tidak pernah memperhatikan ruang kerjanya. "Ke-napa kau melihatku seperti itu?" tanya George gugup. "Karena kau aneh," jawab Dyandta jujur. "Kau sudah lupa kalau aku seorang psikolog? Aku bisa membaca gerak-gerikmu, George." George sendiri semakin tersudutkan dan membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika Dyandta sampai tahu bahwa dirinya sedang memata-matai Damien, maka tamatlah riwayatnya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu, dan ini pasti ada kaitannya dengan pasienku, Damien. Benarkan?" tanya Dyandta memastikan apakah opininya benar atau salah. George langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kenapa kau
George tampak begitu bersemangat menyiapkan beberapa bahan untuk menjebak Dyandta. Gadis itu sudah merusak penghasilannya. Membungkam seseorang seperti Dyandta memang harus dengan cara yang kasar. Kalau tidak, George akan mendapat masalah besar dan kemungkinan yang akan terjadi adalah dirinya akan dipecat dari rumah sakit. Izinnya sebagai dokter bedah juga akan terancam nantinya. George tidak ingin hal itu sampai terjadi padanya. Itu sebabnya, dia harus mengikuti saran dari Cacha untuk memberi pelajaran pada Dyandta.Pria berdarah German - Inggris itu pun berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan Dyandta. Kebetulan sekali, George melihat tidak ada siapapun yang melewati lorong ini. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ini waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya. Ia juga sudah mematikan kamera cctv yang berada di sekitar lorong yang mengarah ke ruangan Dyandta. George benar-benar merasa puas dikala dirinya bisa mengelabui petugas yang mengawasi setiap sudut ru
Pagi ini, Cacha tampak mendatangi George. Ia hanya ingin memastikan keadaan George dan sedikit penasaran dengan kejadian semalam. Namun kedatangannya justru mengundang perhatian Dyandta. Gadis itu tak sengaja melihat Cacha masuk ke rumah sakit tempatnya bekerja, karena saat ini George memang sedang dirawat di sana dan tetap dalam pengawasan pihak kepolisian Perancis. Dyandta pun mengikuti langkah Cacha dan berhentilah ia di salah satu ruang rawat tempat George terbaring lemas akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. George sempat koma semalam, namun pagi ini dia sudah sadarkan diri. Kondisinya masih sangat buruk.Cacha dengan santai masuk ke dalam kamar tersebut, namun Dyandta hanya bisa melihatnya dari luar. Ingin mendekat ke pintu, namun di luar ada dua polisi yang sedang berjaga. Jadi dia tidak mungkin mendekat. Sementara di dalam kamar George, Cacha tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengumpati George."Kenapa kau ceroboh sekali, hah?" tanya Cacha dengan nada kesal
Seminggu kemudian, Damien tampak sudah bisa berinteraksi dengan normal setelah melakukan terapi psikis. Ia sudah bisa mengingat kembali tentang perusahaannya, bahkan orang tuanya. Pikirannya yang semula hanya terfokus pada Cacha, kini sudah terpecah sedikit demi sedikit. Perlahan Damien sudah bisa menerima beberapa orang karyawan yang mengunjunginya di kediaman Bailey dan Airin. Namun memang Damien masih sangat sensitif jika seseorang menyinggung tentang Cacha. Nama itu belum sepenuhnya hilang dan masih harus tetap dikontrol.Kemarin malam, Dyandta mengatakan pada Bailey bahwa untuk tiga hari kedepan, dirinya tidak dapat melakukan terapi psikis pada Damien. Dyandta harus pergi ke luar kota untuk beberapa urusan keluarga dan Bailey pun memahaminya. Dokter muda itu sempat berpesan pada Bailey untuk tetap mengontrol emosi Damien, karena depresi itu belum hilang sepenuhnya. Jadi peranan Bailey dan Airin di sini sangatlah penting. Mereka wajib mengingatkan beberapa kerabat dan karyawa
Damien terlihat begitu sibuk hari ini, karena harus mengurus beberapa berkas yang sempat terbengkalai. Memang sudah ada sebagian berkas yang diselesaikan oleh Bailey, namun tumpukan berkas itu seakan tidak berkurang sedikitpun dari hadapannya. Bahkan Damien sampai melewatkan jam makan siangnya selama 30 menit. Untung saja sekretarisnya mengingatkan dan saat ini dirinya tengah berada di kantin perusahaan sambil membawa bekal makan siang dari Airin. Ia juga ditemani oleh Fransisco, karena kebetulan rekannya itu juga mengalami nasib yang sama seperti Damien hari ini.Mereka berdua makan bersamaan dan sesekali membahas tentang beberapa gagasan untuk proyek terbaru. Bagaimanapun juga, Fransisco harus membantu Damien untuk kembali bangkit lagi seperti dulu dan ini juga termasuk permintaan dari Bailey. Fransisco tidak merasa keberatan dengan hal itu. Menurutnya, jika Damien terus disibukkan dengan hal pekerjaan, mungkin ingatan tentang Cacha akan sirna dengan cepat. Jadi, dia memutuskan
"PERGI!"Damien masih saja berteriak sehingga membuat Bailey, Janet dan Fransisco begitu panik dan bingung. Bailey sendiri sedang berusaha menghubungi Dyandta, namun dokter muda itu tidak menjawabnya sama sekali. Padahal Bailey berharap sekali Dyandta bisa membantunya untuk kali ini saja. Tapi harapannya seakan terhempas begitu saja."Bagaimana, Paman? Belum ada jawaban?" tanya Janet panik sambil sesekali memegangi Damien yang terus memberontak dan berteriak. "Kita tidak bisa mengendalikan Damien lebih lama lagi, Paman.""Aku sedang berusaha. Tapi aku rasa, Dyandta memang sedang sibuk dengan urusannya. Aku juga tidak tahu harus bagaimana," jawab Bailey yang masih tetap berusaha menghubungi Dyandta.Fransisco yang sedari tadi diam pun menoleh ke arah pintu ruangan Damien. Sudah ada beberapa karyawan yang menatap iba pada kondisi Damien saat ini. Fransisco pun menghampiri mereka lalu meminta untuk tetap diam dan jangan mengatakan apapun di luar. Karena para media pasti aka
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka