Cacha Brigitte Egmont baru saja pulang ke rumah Damien pada pukul 3 dini hari. Cacha berjalan gontai memasuki rumah dan mengabaikan Damien yang sudah menunggunya di ruang tamu sejak 10 menit lalu. Sesekali Cacha terlihat menyenggol beberapa barang dan sekat dinding rumah sambil sesekali tertawa cekikikan. Damien yang melihat hal itu sangat kesal dan marah. Siapa yang sudah meracuni pikiran istrinya hingga bersikap aneh seperti itu?
Damien berjalan mendekati Cacha dan menahan lengannya. Wanita berusia 28 tahun itu menoleh dan memberi tatapan kesal pada Damien. Ia pun dengan sengaja melepaskan tangan suaminya dengan kasar, lalu memukul kepala Damien dengan tas yang ia bawa.
“Apa maumu, hah?! Sudah kukatakan, jangan menggangguku saat mabuk! Apa kau tidak punya telinga, hah?!” teriak Cacha kesal.
“Kau benar-benar keterlaluan. Aku ini suamimu. Dimana rasa hormatmu padaku, hah?” ujar Damien berusaha mengontrol emosinya.
Cacha justru mendecih. “Kau ingin dihormati, hah? Baiklah. Ini, aku hormat untukmu, Tuan Damien Curtis.”
Cacha meledek suaminya dengan mengangkat tangannya dan memberi hormat layaknya seorang polisi kepada atasannya. Setelah itu, dia tertawa sambil menunjuk dada bidang Damien dengan telunjuknya.
“Sadarlah, Tuan Damien Curtis. Kau itu tidak pantas untuk kuhormati. Aku menikah denganmu karena uangmu, bukan karena cinta,” ucap Cacha sarkas sambil tetap tertawa.
“Apa maksudmu?” tanya Damien.
Cacha berdecak kesal, lalu menoyor kepala suaminya sendiri. “Kau itu bodoh ya? Aku sudah jelas mengatakan bahwa aku tidak mencintaimu. Aku hanya mencintai hartamu saja.”
Mendengar hal itu, hati Damien terasa perih. Apa maksud semua ini? Jika memang Cacha tidak mencintainya, lantas kenapa dia mau menerima lamaran Damien waktu itu? Apa ini karena pengaruh alkohol? Mungkinkah hanya karena itu?
“Kenapa kau bicara seperti itu padaku?” tanya Damien yang berusaha untuk menahan rasa sakit di hatinya.
“Hah? Kenapa? Karena aku membencimu. Jadi lebih baik aku membuatmu sakit hati. Benar, kan?” ucap Cacha dan kembali cekikikan.
Setetes airmata jatuh membasahi pipi Damien. Pernikahan yang semestinya menjadi kebahagiaan, sekarang berubah menjadi kesedihan bagi Damien. Cacha benar-benar sudah menyakiti hatinya. Istri macam apa yang tega memperlakukan suami sebaik Damien? Pria itu tidak pernah selingkuh dan tidak pernah main gila dengan wanita manapun sebelum menikah dengan Cacha. Harusnya Cacha bersyukur memiliki Damien.
Damien mencoba mengingat orang yang sudah mengantar istrinya tadi. Tanpa sengaja, ia melihat Cacha bergelayut manja dengan pria yang ada di dalam mobil tersebut. Apa mungkin pria itu yang membuat istrinya kehilangan akal sehat?
“Apa kau bermain api di belakangku?” tanya Damien dengan suara sedikit bergetar. “Siapa pria yang baru saja mengantarmu pulang? Apa dia orangnya?”
“Ah, jadi kau sudah melihatnya?” tanya Cacha balik. Damien hanya mengangguk. “Baiklah. Karena kau sudah melihatnya, akan kuberitahu sekarang. Dia memang kekasih gelapku. Lantas, kau mau apa, hah?”
“Kenapa kau tega mengkhianatiku, hah? Kenapa?!” teriak Damien.
Cacha mendecih. “Kan sudah kukatakan tadi. Aku tidak mencintaimu, jadi aku mengkhianatimu.”
“Kau....”
“Apa? Kau mau apa, hah?” tantang Cacha.
Damien menghela napas lelah. Airmatanya sudah tidak mampu ia tahan lagi. Hatinya benar-benar hancur mendengar kenyataan ini. Bahkan dirinya sudah tak sanggup untuk berdiri.
“Jika memang kau tidak mencintaiku, harusnya kau tidak menerima lamaranku,” ujar Damien lirih. “Jika kau ingin uangku, katakan saja. Tapi jangan menerima lamaranku. Kalau sudah begini, aku yang kau sakiti.”
“Aku tidak peduli,” jawab Cacha.
“Apa? Kau tidak peduli?”
Cacha mengangguk bersamaan dengan tatapan sinisnya. Lalu ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan memberikan benda itu pada Damien. “Aku sudah menggugatmu. Cepat tandatangani agar aku bisa segera menikah dengan kekasihku,” ucap Cacha yang sudah duduk di sofa.
Damien membuka amplop tersebut dan benar, itu adalah surat dari pengadilan. Cacha menggugatnya atas dasar kekerasan fisik. Padahal selama ini, Damien tidak pernah melakukan kekerasan pada istrinya. Justru Cacha-lah yang melakukan itu padanya.
Damien menatap Cacha. “Apa yang kau lakukan, hah? Aku tidak pernah memukulmu. Kenapa kau menjadikan kekerasan sebagai alasannya?”
“Aku hanya ingin mendapat ganti rugi darimu. Jadi aku membuatnya sebagai alasan. Itu saja,” jawab Cacha sambil melipat kedua tangannya di bawah dada.
“Tidak. Aku tidak akan tandatangan.”
Damien membuang surat itu dan bergegas menuju kamarnya. Ia mengabaikan teriakan Cacha yang terlihat memungut surat tersebut. Damien benar-benar tidak memikirkan, hal seperti ini bisa terjadi di pernikahannya.
“Kenapa harus aku yang mengalaminya, Tuhan?” batin Damien.
***
Keesokan harinya, Damien tampak tidak bersemangat menjalani hari. Dia lebih banyak melamun dan tidak fokus pada pekerjaannya. Padahal ini bukanlah style seorang Damien. Elsa saja sampai dibuat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara beberapa klien tampak sibuk menghubunginya untuk mengatur jadwal pertemuan dengan Damien.
Elsa tahu bahwa bosnya itu sedang mengalami masalah serius. Jika sudah seperti ini, Elsa memilih untuk meng-cancel semua jadwal pertemuan Damien dengan klien. Dia juga memberi penjelasan kepada beberapa klien yang protes pada kinerja Damien hari ini. Untung saja mereka bisa mengerti. Setidaknya itu bisa membuat Elsa sedikit lega. Ia juga meminta semua karyawan untuk tidak mengganggu Damien dan semuanya mengerti.
“Sebaiknya Tuan pulang saja. Tuan tampak tidak sehat,” ucap Elsa hati-hati.
“Ah, tidak. Saya baik-baik saja,” jawab Damien bohong. “Apa semua jadwalnya sudah diatur?”
“Maaf, Tuan. Saya sudah meng-cancel semua jadwal.”
Damien mengernyit heran. “Kenapa?”
“Saya rasa sebaiknya Tuan tidak bertemu dengan klien dulu. Sejak tadi saya melihat, Tuan sedang tidak fokus pada pekerjaan,” ujar Elsa sedikit takut.
Damien tersenyum. “Terima kasih karena sudah mengerti kondisi saya.”
“Iya, Tuan.”
“Baiklah. Saya akan pulang ke rumah. Jika ada sesuatu, telepon saja ya,” kata Damien sambil bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Elsa.
Damien sedang berada di lampu merah persimpangan kota untuk pulang ke rumah. Elsa benar. Hari ini, ia sedang tidak fokus pada pekerjaan karena memikirkan gugatan cerai Cacha. Damien hanya tidak habis pikir, kenapa semudah itu istrinya menggugat cerai dirinya? Tidak masuk diakal jika sejak awal Cacha tidak mencintainya. Selama 6 bulan pertama, istrinya sangat baik dan menyayanginya. Tapi setelah 6 bulan berikutnya, sikapnya mendadak berubah. Damien yakin, pria itu penyebabnya. Tapi, siapa pria itu? Apa motifnya melakukan ini?
Damien menghela napas berat. Sejenak ia menyandarkan bahunya ke kursi kemudi sambil menunggu lampu merah di depannya berubah menjadi hijau. Pandangannya tertuju kearah kanan, dimana ia melihat sosok Cacha sedang bergelayut manja dengan seorang pria. Damien menegakkan tubuhnya dan memastikan bahwa yang ia lihat benar-benar istrinya. Dan pria itu....
“Albert? Jadi dia yang....”
Suara klakson mobil dari belakang mengejutkan Damien. Ia pun melihat kearah lampu lalu lintas yang ternyata sudah berubah menjadi warna hijau. Dengan cepat Damien melajukan kembali mobilnya sambil mengikuti kemana arah mobil yang ditumpangi istrinya itu. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Cacha itu masih menjadi istrinya, karena ia belum menandatangani surat cerai itu.
“Keterlaluan!” umpat Damien kesal.
Mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah hotel yang baru saja dikunjungi Damien kemarin. Hotel dimana ia menunggu klien mesumnya di lobi dan kembali ke kantor dengan perasaan kesal.
“Jadi, suara wanita itu adalah suara istriku? Ya Tuhan! Apa salahku padanya sampai dia tega berbuat seperti ini padaku?” gumam Damien yang masih berada dalam mobil sambil melihat Cacha berpelukan mesra dengan pria lain.
Damien mengambil ponselnya dan menghubungi Elsa. “Elsa, batalkan rencana kerjasama kita dengan Tuan Albert Beaufort sekarang juga. Dan bilang padanya untuk tidak mengunjungi kantor kita lagi mulai dari sekarang dan seterusnya.”
“Baik, Tuan.”
Setelah menghubungi Elsa, Damien menghubungi ibunya. Ia merasa bahwa inilah saatnya untuk bercerita. Damien sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semuanya sendirian. Mungkin ia akan tenang beberapa hari di rumah ibunya.
“Bu, aku akan ke rumah sekarang. Masak yang enak ya,” ujar Damien saat dirinya menghubungi Airin.
“Ah, tentu saja. Ibu akan memasak makanan kesukaanmu.”
“Baik, Bu. Aku jalan dulu,” ucap Damien tersenyum.
“Hati-hati di jalan, Nak.”
Damien pun meletakkan ponselnya di dashboard dan segera melajukan mobilnya. Meninggalkan hotel dimana istrinya sedang berhubungan dengan pria lain selain dirinya. Mengingat hal itu saja sudah membuat hatinya terasa sakit.
“Semoga Tuhan tidak membalasmu dengan keburukan, Ca,” batin Damien.
TBC~Damien tiba di rumah Airin disaat yang tepat. Ternyata ayahnya, Bailey Curtis juga baru saja pulang dari kantor. Bailey yang sudah 3 minggu tidak bertemu Damien pun langsung memeluk putra semata-wayangnya dengan erat. Ia merasa senang karena kehadiran Damien di rumahnya. Airin pun terlihat begitu semangat menyiapkan beberapa makanan kesukaan putranya itu.Meski sudah menikah, Damien tetap dimanjakan oleh Airin dan Bailey setiap kali ia datang berkunjung. Kasih sayang mereka tidak pernah hilang untuk Damien. Damien merasa senang dan bangga memiliki orang tua seperti mereka yang selalu mengerti setiap keadaannya.“Ayo, Nak! Duduk di sebelah ayah,” ujar Bailey sambil menunjuk sebuah kursi kosong di samping kanannya. “Sudah tiga minggu kita tidak bertemu, Damien. Ayah sangat merindukanmu.”Damien tersenyum. “Aku juga rindu kalian. Itu sebabnya aku datang berkunjung hari ini.”“Lalu, dimana istrimu? Kenapa tidak kau ajak sekalian, hm?”Pertanyaan Airin membu
Setelah puas melepaskan seluruh kesedihannya, Damien pun pamit pulang pada Bailey dan Airin. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan pun juga tidak terlalu padat hingga membuat Damien bisa sedikit santai mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan perkataan orang tuanya. Haruskah ia mengakhiri semua ini? Apa tidak bisa ia perbaiki dulu?Damien menghela napas berat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia pun menghentikan mobilnya sambil tetap memikirkan banyak hal. Sepertinya besok Damien juga belum bisa masuk kantor, karena permasalahannya cukup berat. Ia mungkin tidak akan bisa fokus jika dalam kondisi seperti ini.Saat Damien menoleh ke arah kirinya, tampaklah seorang wanita tengah berjalan gontai sambil merangkul pria di sampingnya. Wanita itu sudah pasti Cacha. Damien mengepalkan tangannya erat lalu turun dari mobil dan menghampiri Cacha bersama kekasih gelapnya itu. Tanpa pikir panjang, Damien langsung memukul Albert bertubi-t
Cacha tampak gelisah memikirkan ucapan suaminya yang sama sekali tidak menyerah untuk mempertahankannya. Ia harus apa sekarang? Keinginan untuk menguasai perusahaan Damien bukanlah hal yang utama baginya. Albert adalah alasan dia tetap bersikeras untuk berpisah dengan Damien. Hanya saja yang terlihat begitu ambisi untuk menguasai perusahaan Damien adalah Albert.Bagaimana tidak? Perusahaan Damien adalah perusahaan terbesar di Perancis dan sudah memiliki banyak cabang di beberapa negara besar. Perusahaan yang dibangun oleh hasil kerja keras Damien itu merupakan perusahaan yang sangat maju, dibanding perusahaan lain. Tak heran jika banyak investor asing yang berani menanam saham di perusahaan Damien. Selain perusahaan, para investor juga menilai dari segi kinerja Damien. Menurut mereka, Damien sangat cekatan dan tidak pernah membuang waktu untuk hal yang tak penting. Itu sebabnya Albert begitu berambisi ingin memilikinya, dengan cara merebut Cacha dan memintanya untuk mengambil
Damien menatap selembar kertas dari pengadilan yang ada di hadapannya. Rasa sesak di dadanya tak kunjung reda saat Cacha terus memaksanya untuk menandatangani surat itu. Berkas perusahaan yang ia inginkan juga sudah Cacha kembalikan. Apa tidak ada hal lain yang bisa menahan istrinya untuk tetap tinggal bersamanya? Tentu tidak. Keputusan Cacha tak bisa diganggu-gugat lagi.Cacha yang kini berhadapan dengan Damien pun merasa jengah karena menunggu terlalu lama. Sejak tadi, ia hanya memerhatikan Damien yang menatap surat itu tanpa melakukan apapun. Ini benar-benar membosankan baginya. Padahal dirinya sudah susah payah mengambil berkas perusahaan itu agar Damien segera menandatanganinya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pria itu tak kunjung melakukan tugasnya.Cacha berdecak kesal. "Cepat tandatangani suratnya. Jangan terlalu banyak drama.""Apa rumah tangga kita tidak bisa dipertahankan saja seperti sebelumnya? Apa ini harus berakhir?" tanya Damien sambil menatap s
Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini. Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena. "Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman." Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana. "Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu. Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar s
Prang! Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri. Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha. Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien.
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka