Perkataan Menyakitkan
Usai makan malam bersama Riko. Aku memutuskan untuk segera pulang. Ini sudah malam. Kasihan putraku kedinginan di jalan. Sebelum pulang aku melihat pekerjaan baju pengantin pesanan ku tadi. Ternyata sudah selesai pemotongan. Aku mengeceknya sebentar, memastikan tidak ada salah. Ini kain mahal dan berkualitas premium. "Hati- hati, ya. Jangan sampai salah." "Baik, Bu Santi," ucap salah satu karyawanku.Aku sendiri mempekerjakan 6 karyawan khusus bagian depan dan melayani pembeli. 3 lagi khusus bagian membantu menjahit pesanan baju. Mereka akan memotong dan aku yang akan mengerjakan jahitannya. Esok akan aku mulai jahit setelah mengantarkan Riko sekolah. "Baiklah.aku pulang dulu. Besok aku cek kembali." Setelah berpamitan pada seluruh karyawan ku, aku langsung pulang ke rumah. Entah apa yang akan terjadi lagi setibanya aku dirumah nanti. Kumasukkan motorku kedalam garasi dan segera mengajak masuk Riko. Menggandeng tangan kecilnya. "Assalamu'alaikum," Salam aku ucapkan saat masuk kedalam rumah. Terlihat disana Mama mertuaku dan anak perempuannya sedang menonton televisi. "Wa'alaikumsalam. Habis dari mana kamu, San? Suami dirumah sendiri malah di tinggal pergi seharian." Ku perintahkan putraku untuk salim dan mencium punggung tangan neneknya. Walau aku tahu, Mama mertuaku menolak memberikan tangannya untuk dicium cucunya. Entahlah apa salah putraku kepadanya. Ada rasa sakit hati ini kala melihat sikap Mertuaku begitu acuh pada putraku. Saat tangan mungilnya terulur tak mendapat respon, ia melihatku sekilas. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. "Masuk ke kamar gosok gigi terus istirahat. Besok sekolah bukan?" ucapku lembut sambil tersenyum hangat. "Baik, ma. Nenek, aku pamit ke kamar ya. Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam," jawabnya ketus tanpa memperhatikan cucunya. "Ma.... Mama kenapa selalu seperti itu terhadap Riko. Riko juga cucu Mama loh.""Siapa suruh kamu melahirkan anak laki- laki. Bukankah aku sudah bilang aku ingin cucu perempuan dari Adam. Lihat, aku sudah mempunyai 4 cucu laki- laki." "Ma, jika aku bisa menentukan aku akan berikan mama cucu perempuan. Tetapi apa, aku bukan yang menentukan ma. Allah yang menentukannya. Bersyukur Riko, lahir dengan selamat. Mau laki atau perempuan asal sehat, ma. Tetap bersyukur apa yang telah ditakdirkan oleh-Nya." "Banyak ceramah kamu, San. Dahulu sudah aku sarankan untuk kamu menitipkan anakmu ke orang tuamu di kampung, lalu kamu program hamil anak perempuan. Banyak kok yang berhasil melakukan program hamil anak perempuan. Malah sekarang gak mau hamil- hamil lagi." "Ma, Riko anakku, mana mungkin aku menitipkannya pada kedua orang tuaku. Aku Ibunya yang mempunyai kewajiban merawat dan mendidiknya. Aku bukannya tak mau hamil lagi, ma. Tetapi aku ingin fokus dulu sama, Riko. Apalagi sekarang mas Adam selalu mengurangi jatah bulanan milikku. Sudah hampir 1 tahun ini jatah bulanan ku terus berkurang. Mau dikasih gizi apa kalau aku hamil lagi. Program hamil juga membutuhkan biaya besar. Tanggungan mas Adam saja banyak. Mau kalian tak dapat jatah bulanan dari mas Adam." "Eeeeee, Ya gak bisa begitu dong, San. Rumahku saja belum lunas, terus siapa yang bayar kalau begitu," seloroh kakak ipar ku dengan melototkan matanya. "Kalau sudah tahu rumah belum lunas, kenapa pakai minta belikan mobil segala. Memangnya uang tinggal petik begitu mbak." "Makanya kamu bantuin suami kamu cari duit. Gak malah enak- enakan dirumah, jalan- jalan seharian. Gunanya istri itu buat bantuin suami bukan menyusahkan. Ini malah anaknya dimasukin sekolah full day dan mahal lagi. 'Kan bisa sekolah biasa yang tak membutuhkan biaya mahal," ucap Mama mertuaku. "Aku sudah bantuan dari rumah, Ma. Aku bantuin dia berdo'a. Lagian dahulu yang memintaku untuk tak bekerja juga mas Adam kok. Do'a istri itu juga penting, Ma." "Benar kata mama, San. Kamu kembali saja bekerja. Kamu juga terakhir menjadi Manager bukan. Akan lebih mudah lagi jika kamu melamar pekerjaan di perusahaan besar. Sekarang banyak perusahaan internasional. Kamu coba saja lagi melamar pekerjaan. Riko juga sekolahnya full day, bukan?" ucap suamiku yang terlihat turun dari kamarnya. Haaaa apa maksudnya bicara seperti itu. Enak saja dia yang menyuruhku untuk tak usah bekerja dan fokus membesarkan Riko dirumah saja. Sekarang ia memintaku untuk kembali bekerja. Apa se frustasinya itu mas Adam memikirkan permintaan saudara- saudaranya. "Kamu dahulu yang memintaku untuk tak bekerja. Mengapa sekarang kamu berubah haluan mas. Aku juga sudah membantumu lewat do'a- doaku selama ini. Belum lagi membantu kamu menyiapkan sarapan, mencuci baju kamu, membersihkan rumah ini. Menyiapkan segala keperluan kamu. Memangnya itu tak bekerja. Aku bekerja juga tanpa digaji oleh kamu. Jika aku bekerja terus uangnya untuk membelikan rumah dan mobil kakak kamu begitu. Suruh kakak kamu yang bekerja. Aku sudah nyaman seperti ini." "Santi jaga ucapan kamu! Apa seperti itu caramu menghormati suami!" bentak mas Adam. Ia terlihat menahan amarahnya. "Jangan keterlaluan kamu, Santi. Dia itu suami kamu. Kamu wajib menghormatinya. Menuruti kata- katanya. Apa salahnya juga membantu saudara," Kata mama mertua yang tak kalah sengit. "Membantu saudara itu ada batasannya, Ma. Kalau kita mampu boleh membantu seikhlasnya. Lah ini bukan membantu namanya tetapi memeras," ucapku tak kalah sengit. Aku gegas meninggalkan mereka untuk masuk kedalam kamar. Capek rasanya adu mulut dengan mereka. Apa salah dan dosaku selama ini sehingga mendapatkan cobaan ini. Aku segera mencuci muka dan mengganti pakaianku. Astaga, aku hampir lupa terhadap putraku. Gegas aku membuka pintu dan menuju kamar anakku. Kasihan dia, mungkin ia tahu kalau kami sedang ribut- ribut di bawah. Astaga. Maafkan mama, Nak. Saat aku buka pintu kamar putraku, ternyata ia belum tidur. Ia terlihat menangis, buru- buru aku menghampirinya. Memeluknya memberikan rasa tenang. "Stttt kenapa menangis? Ada apa, Nak? Coba cerita sama mama," bujuk ku sambil menggosok punggungnya dengan lembut. "Ma, apa bener kalau nenek tak menginginkan aku. Nenek cuma ingin cucu perempuan dari mama dan Papa. Makanya nenek membenciku?" "Astagfirullah, Nak. Kata siapa? Gak seperti itu sayang." Ujarku. Entah mengapa ketika putraku mengatakan itu sakit sekali dada ini. "Riko dengar tadi ma. Saat mau turun ambil minum." "Gak usah di pikirkan. Nenek hanya bercanda saja. Yang terpenting Riko belajar yang rajin biar menjadi anak yang membanggakan buat, mama, Papa, Nenek Tari, Nenek dan Kakek Bimo. Sekarang tidur lah besok sekolah. Jangan pikirkan yang Riko dengar tadi." Riko menganggukkan kepalanya dan segera tidur. Aku menemaninya hingga terlelap, tak lupa menyelimutinya agar tak kedinginan. Ku kecup kening putra kecilku. Tak terasa adzan subuh telah berkumandang, aku segera bangun dan menjalankan kewajiban ku. Usai menjalankan kewajiban ku, aku segera turun dan membuat sarapan. Entah dimana suamiku tidur semalam aku tak memperdulikannya. Bungkus dan piring kotor bekas makan masih berserakan di meja makan. Sungguh terlalu, aku membereskan sebentar menaruhnya di wastafel dan mencucinya. Usai mencuci piring kotor, aku segera meracik bahan untuk membuat sarapan. Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk memasak pagi ini, sop ayam lauk tahu dan tempe goreng tentu sambel terasi teri sudah tersaji di meja makan. "Cuma ini sarapan paginya?" tanya Ibu Mertuaku. Aku kira beliau sudah pulang bersama putrinya ternyata beliau menginap di sini. "Iya, Ma. Aku harus berhemat." "Kalau kamu mau menjual rumah ini dan tinggal bersamaku tentu akan masak dan makan enak setiap hari tak seperti ini. Ini namanya makanan bocah," Ketusnya sambil duduk di meja makan."Ya memang ini untuk Riko, ma. 'Kan ada bocah kecil dirumah ini, tentu aku masak untuknya yang utama. Jika mama tak berselera ya, Mama bisa masak sendiri 'kan. Di kulkas juga masih ada udang dan cumi kok. Riko gak suka dengan cumi soalnya," ucapku alakadarnya. Malas juga pagi- pagi sudah membuat mood ku hancur. "Kamu suruh mama masak? Mantu macam apa kamu itu. Dibilangin orang tua malah nyolot seperti itu. Nyesel mama merestui Adam menikahi mu." "Ya sudah suruh tuh anak mama untuk menceraikan aku saja. Enak kan, Ma. Terus mama juga bisa menjodohkannya pada Anisa mantan tunangan mas Adam yang kaya raya. Itukan harapan mama. Biar mama juga bisa menikmati hartanya." "Santi! Sopan sedikit bicara sama mamaku. Dia yang melahirkan aku, hargai dia. Gak usah seenaknya menuduh mama!" bentak Mas Adam yang membuatku terkejut. Kuambil nafas panjang untuk menetralkan emosiku. Hari ini pekerjaanku sangat banyak, aku gak mau mood ku hancur dan menghancurkan pekerjaanku. Ini untuk karir yang baru aku rintis, ini juga untuk anakku, untuk masa depannya yang cerah dan cemerlang. kulangkahkan kakiku menuju kamar putraku, pasti dia takut mendengar keributan di bawah. Lebih baik aku ajak saja sarapan diluar. Mama juga terkadang tak memikirkan perasaanku maupun Riko. Aku takut mentalnya terkena akan omongan, Mama.Bantuan Rere "Siap bos. Mama siap- siap dulu ya, Riko tunggu disini saja." Aku segera keluar dari kamar putraku dan segera masuk kedalam kamarku. Mengganti pakaian dan merias sedikit wajahku. Mengambil tas dan kunci motor yang semalam aku meletakkan di meja rias. Netra ku tak sengaja melihat map biru ada di atas ranjang ku, segera aku mengambilnya dan membacanya sekilas. Mataku membulat kala apa isi dalam map tersebut. "Tak akan aku biarkan rencana kamu berjalan mulus, Mas." Gumamku sambil meletakkan kembali map itu. Segera aku menghampiri putraku dan mengajaknya keluar pagi ini. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah, harusnya ia berangkat pukul 8 nanti. Tetapi aku sudah malas berada di rumah. Lebih baik keluar rumah pagi ini. Kulakukan sepeda motorku keluar komplek perumahanku, Riko begitu semangat untuk makan bubur ayam dekat sekolahannya, rasanya memang enak dan mantab. Aku saja selalu ketagihan jika makan disana. Setelah sampai, aku segera memesan 2 porsi bubur ayam
Tak terasa waktu terus berlalu, gaun pesanan milik mbak Dian juga telah selesai. Merek puas sekali akan pekerjaanku. Aku bahagia dan bersyukur tak mengecewakan mbak Dian dan calon suaminya. Aku bahkan diundang ke acara pernikahannya yang digelar di sebuah hotel berbintang. Ada rasa bimbang antara hadir dan tidak hadir. Jika aku hadir bagaimana dengan, Riko. Acaranya saja malam hari, mana mungkin aku meninggalkan Riko sendirian dirumah. Ku hempaskan tubuh ini di atas kasur yang begitu empuk dan nyaman. Mata ini terpejam tanpa aku sadari. Adzan subuh sayup- sayup mulai berkumandang segera aku bangun dan segera membersihkan diri ini lalu segera melakukan kewajiban ku menunaikan dua rakaat. Hari ini hari libur, aku ingin bersantai sejenak di rumah sebelum besok kembali beraktivitas. Aku awali pagi ini dengan melakukan aktivitas bersih- bersih rumah dan tentunya memasak. Sudah lama aku tak membuatkan menu kesukaan, Riko. Mumpung mas Adam pergi entah kemana. Sudah hampir satu minggu ini i
Perdebatan Malam ini aku habiskan waktuku bersama, Riko. Menemaninya menonton televisi sekaligus bercanda ria. Hidup kami sungguh nyaman dan damai tanpa adanya mas Adam. Aku seorang ibu sekaligus seorang ayah untuk anakku. Aku harus bisa memberikan kasih sayang lebih untuk putraku. "Ma, Mama kok gak beli mobil kaya Papa. 'Kan Mama bisa beli mobil sendiri. Butik milik Mama juga ramai." "Hmmm mobil? Memangnya Riko mau punya mobil?" tanyaku pada Riko."Mau, Ma. Teman- teman Riko pada diantar naik mobil. Katanya Riko gak pantes sekolah disana karena Riko hanya di antar jemput naik sepeda motor." Deg… Hati ini tentu terkejut akan pengakuan putraku ini. Bagaimana bisa anak kecil mengatakan hal seperti itu. "Astagfirullah. Kenapa begitu? Mau naik sepeda motor atau mobil sama saja. Itu sekolah umum. Lagi pula mama bayar sekolahnya loh. Do'akan mama lancar terus usahanya dan dapat beli mobil sesuai keinginan Riko," ujarku dengan lembut. Mencoba memberikan pengertian pada anak seusia Riko
Benar dugaanku, semua belum dibereskan. Bahan pakaian kotor telah menggunung di tempat cucian. Padahal di rumah ini ada mesin cuci. Pakaian tinggal dimasukan ke mesin sudah beres 'kan. Ibu dan anak sama saja meresahkan. "Santi kamu sudah pulang. Itu pakaian jangan lupa di cuci. Pakaian kotor sudah satu minggu, bau." "Kenapa gak kamu cuci sendiri. Bukankah ada mesin cuci mas. Aku capek mau istirahat," jawabku sambil berlalu meninggalkan mas Adam yang masih bengong di tempatnya. Seharusnya pagi ini aku ke butik, namun urung karena ingin melihat apa yang dilakukan keluarga suamiku. "Santi! Kamu istri macam apa seperti itu. Adam menikah lagi baru tahu rasa kamu!" cibir Ibu mertuaku"Oh.. silahkan ma. Silahkan jika mas Adam akan menikah lagi. Tapi sebelum itu, ceraikan aku terlebih dahulu," jawabku dengan semangat."Stop! Apa- apaan sih kamu, San. Kita gak akan berpisah," elak mas Adam. "Mama juga, jangan memperkeruh suasana deh. Aku masih mencintai Santi. Sampai kapanpun aku tak akan
Sumpah serapah bahkan hinaan dan kata- kata yang tak pantas keluar dari mulut Mama mertuaku, bahkan Mbak Dani dan juga Johan ikut berkata- kata mengimbangi, Mama mertua. Hanya Mas Adam yang tak pergi dari rumah ini, ia masih berada di dalam rumah. "Apalagi, Mas. Kenapa gak ikut keluarga kamu pergi dari rumahku." "San,aku itu suami kamu. Apa pantas kamu berbicara seperti itu? Ingat,San surgamu ada padaku. Bukan pada orangtuamu lagi. Kamu sudah menjadi istriku. Kamu harus patuh pada perintahku." "Perintah yang bagaimana dahulu, Mas. Perintah yang membuatku sengsara dan menyesalinya seumur hidupku? Aku tak sudi melakukannya, Mas!" "Kamu keras kepala,Santi. Aku menyesal menikahi kamu!" "Sama. Aku juga menyesal bersuamikan kamu, Mas! Aku sangat menyesal." Hardik ku tak mau kalah dengan, Mas Adam. Mas Adam keluar dengan membanting pintu rumah ini. Seketika aku terlonjak kaget. Astagfirullah... Ya Allah ... Maafkan hamba mu ini yang telah berdosa. Berkali- kali aku beristigfar memohon
Rumah Di JualSore ini sepulang kerja,aku mampir dahulu ke toko kue langganan Santi. Membelikannya kue kesukaannya. Aku juga membelikan kue untuk Riko. Semoga ia juga menyukai kue pilihanku. Aku memang tak tahu apa kesukaannya. Semoga ini bisa mengambil hati Riko dan Santi. Mobil kulajukan menuju rumah dimana aku selama ini tinggal bersama Santi. Aku masih mencintai Santi. Makanya aku menolak jika harus berpisah dengannya. Ia wanita cantik, sholehah, dan juga pintar. Aku bahkan memintanya berhenti bekerja karena jabatannya lebih tinggi daripada aku. Aku malu, masa istriku lebih tinggi jabatannya dan juga gajinya. Berkat bantuan Santi pula aku bisa naik jabatan dengan mudah. Ia selalu membantuku dalam pekerjaan. Bahkan ia tak tahu jika aku sudah naik jabatan lagi dan gaji ku lebih besar dari sebelumnya. Seluruh gaji ku, semuanya untuk memenuhi permintaan saudara dan juga Ibuku. Bahkan sekolah Riko aku tak tahu bagaimana caranya Santi membayarnya. Paling juga dari uang bulanan yang aku
Mobil Baru Entah ini salah atau tidak tindakan yang aku lakukan ini. Tetapi aku sudah tak sanggup jika harus terus menerus tertekan dalam pernikahanku. Walau rumah itu belum seutuhnya terjual, tapi setidaknya uang milik, Mas Adam telah aku kembalikan. Bahkan sudah aku lebihkan sedikit, kurang bagaimana coba aku sebagai istri. Seharusnya ia tak mendapatkan apa- apa atas rumah ini, tetapi demi kebaikan bersama mendingan aku kembalikan saja. Harga rumah ini juga tergolong mahal karena letaknya sangat strategis, banyak juga yang mengincarnya. Aku waktu itu sangat beruntung dapat membeli dengan harga yang murah. Apalagi rumah itu juga sudah aku renovasi sedemikian rupa hingga menambah nilai jual. "Kamu yakin,San mau bercerai sama Adam?" Tanya Rere. "Iya, Re. Aku yakin. Biarlah, Mas Adam kembali pada keluarganya. Biarlah gaji suamiku sepenuhnya untuk keluarganya. Aku sudah angkat tangan tak sanggup lagi." "Kamu yang sabar,Santi. Biar besok,Rere yang mengantar kamu ke pengadilan. Aku jug
Turun Jabatan Disisi lain kini Adam tengah dilanda kebingungan yang amat mendalam. Ia tak dapat menemukan keberadaan istri beserta anaknya. Bahkan surat panggilan untuk sidang pun telah ia dapatkan. Danik terus saja memaksa agar Adam dapat menemukan istrinya. Ia juga bahan telah mengunjungi Ibu Mertua di kampung halaman istrinya. Berharap istrinya ada di sana dan dapat ia bujuk untuk kembali nyatanya hanya zonk. Kemarahan Mbak Danik makin hari makin menjadi apalagi semenjak istrinya pergi dan menjual rumahnya kini Adam tinggal kembali bersama Ibunya. Tiada hari kemarahan Ibunya ia rasakan. Pekerjaan pun banyak yang terbengkalai oleh masalah ini. "Adam, bagaimana ini? Ini sudah pertengahan bulan loh. Pemilik rumah itu juga sudah menagih terus menerus. Masa cari istri saja kamu gak menemukannya." "Mbak, aku sudah bolak balik mencari keberadaan Santi. Bahkan pekerjaanku pun banyak yang aku tinggalkan. Entahlah bos pasti akan marah besar nantinya. Aku ingin fokus dulu sama pekerjaanku.