Sumpah serapah bahkan hinaan dan kata- kata yang tak pantas keluar dari mulut Mama mertuaku, bahkan Mbak Dani dan juga Johan ikut berkata- kata mengimbangi, Mama mertua. Hanya Mas Adam yang tak pergi dari rumah ini, ia masih berada di dalam rumah. "Apalagi, Mas. Kenapa gak ikut keluarga kamu pergi dari rumahku." "San,aku itu suami kamu. Apa pantas kamu berbicara seperti itu? Ingat,San surgamu ada padaku. Bukan pada orangtuamu lagi. Kamu sudah menjadi istriku. Kamu harus patuh pada perintahku." "Perintah yang bagaimana dahulu, Mas. Perintah yang membuatku sengsara dan menyesalinya seumur hidupku? Aku tak sudi melakukannya, Mas!" "Kamu keras kepala,Santi. Aku menyesal menikahi kamu!" "Sama. Aku juga menyesal bersuamikan kamu, Mas! Aku sangat menyesal." Hardik ku tak mau kalah dengan, Mas Adam. Mas Adam keluar dengan membanting pintu rumah ini. Seketika aku terlonjak kaget. Astagfirullah... Ya Allah ... Maafkan hamba mu ini yang telah berdosa. Berkali- kali aku beristigfar memohon
Rumah Di JualSore ini sepulang kerja,aku mampir dahulu ke toko kue langganan Santi. Membelikannya kue kesukaannya. Aku juga membelikan kue untuk Riko. Semoga ia juga menyukai kue pilihanku. Aku memang tak tahu apa kesukaannya. Semoga ini bisa mengambil hati Riko dan Santi. Mobil kulajukan menuju rumah dimana aku selama ini tinggal bersama Santi. Aku masih mencintai Santi. Makanya aku menolak jika harus berpisah dengannya. Ia wanita cantik, sholehah, dan juga pintar. Aku bahkan memintanya berhenti bekerja karena jabatannya lebih tinggi daripada aku. Aku malu, masa istriku lebih tinggi jabatannya dan juga gajinya. Berkat bantuan Santi pula aku bisa naik jabatan dengan mudah. Ia selalu membantuku dalam pekerjaan. Bahkan ia tak tahu jika aku sudah naik jabatan lagi dan gaji ku lebih besar dari sebelumnya. Seluruh gaji ku, semuanya untuk memenuhi permintaan saudara dan juga Ibuku. Bahkan sekolah Riko aku tak tahu bagaimana caranya Santi membayarnya. Paling juga dari uang bulanan yang aku
Mobil Baru Entah ini salah atau tidak tindakan yang aku lakukan ini. Tetapi aku sudah tak sanggup jika harus terus menerus tertekan dalam pernikahanku. Walau rumah itu belum seutuhnya terjual, tapi setidaknya uang milik, Mas Adam telah aku kembalikan. Bahkan sudah aku lebihkan sedikit, kurang bagaimana coba aku sebagai istri. Seharusnya ia tak mendapatkan apa- apa atas rumah ini, tetapi demi kebaikan bersama mendingan aku kembalikan saja. Harga rumah ini juga tergolong mahal karena letaknya sangat strategis, banyak juga yang mengincarnya. Aku waktu itu sangat beruntung dapat membeli dengan harga yang murah. Apalagi rumah itu juga sudah aku renovasi sedemikian rupa hingga menambah nilai jual. "Kamu yakin,San mau bercerai sama Adam?" Tanya Rere. "Iya, Re. Aku yakin. Biarlah, Mas Adam kembali pada keluarganya. Biarlah gaji suamiku sepenuhnya untuk keluarganya. Aku sudah angkat tangan tak sanggup lagi." "Kamu yang sabar,Santi. Biar besok,Rere yang mengantar kamu ke pengadilan. Aku jug
Turun Jabatan Disisi lain kini Adam tengah dilanda kebingungan yang amat mendalam. Ia tak dapat menemukan keberadaan istri beserta anaknya. Bahkan surat panggilan untuk sidang pun telah ia dapatkan. Danik terus saja memaksa agar Adam dapat menemukan istrinya. Ia juga bahan telah mengunjungi Ibu Mertua di kampung halaman istrinya. Berharap istrinya ada di sana dan dapat ia bujuk untuk kembali nyatanya hanya zonk. Kemarahan Mbak Danik makin hari makin menjadi apalagi semenjak istrinya pergi dan menjual rumahnya kini Adam tinggal kembali bersama Ibunya. Tiada hari kemarahan Ibunya ia rasakan. Pekerjaan pun banyak yang terbengkalai oleh masalah ini. "Adam, bagaimana ini? Ini sudah pertengahan bulan loh. Pemilik rumah itu juga sudah menagih terus menerus. Masa cari istri saja kamu gak menemukannya." "Mbak, aku sudah bolak balik mencari keberadaan Santi. Bahkan pekerjaanku pun banyak yang aku tinggalkan. Entahlah bos pasti akan marah besar nantinya. Aku ingin fokus dulu sama pekerjaanku.
Menghadiri Pernikahan Konglomerat Malam ini adalah malam dimana Santi harus menghadiri acara pernikahan milik kliennya. Ia menitipkan putranya pada Rere sang sahabat. Ada rasa sungkan tetapi, Rere terus saja memaksanya untuk menitipkan Riko padanya. "Riko, ingat pesan Mama tadi ya. Mama tinggal sebentar, nanti mama jemput lagi." "Iya, Ma." "Kamu tenang saja, San. Riko anak pintar kok. Sudah kamu enjoy saja di acara Mbak Dinda. Riko aman kok sama aku.""Makasih ya, Re. Kamu selalu menolong dan membantu aku. Aku titip anakku." "Kaya sama siapa aja sih kamu itu, San. Sudah sana berangkat. Nanti telat loh." "Iya.. iya.. ya sudah aku pergi dahulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Santi segera berangkat menggunakan mobilnya menuju gedung dimana acara pernikahan Mbak Dinda klien nya di adakan. Ia sebenarnya ingin mengajak Rere, tetapi sahabatnya itu tak mau. Ia memilih untuk menjaga Riko saja dirumahnya. Ingin tidak hadir tetapi ia tak enak menolak undangan khusus yang diberikan
Santi tiba di gedung pengadilan bertepatan dengan datangan Adam beserta keluarganya. Ia mengambil nafas panjang sebelum ia keluar dari mobil milik Rere. Dengan anggun ia turun dari mobil dan tersenyum melihat Adam dan keluarganya. "Apa kabar, Mas? Mama apa kabar?" Tanya Santi sambil berbasa- basi sejenak. Tatapan sinis dan tajam menghujani Santi. Santi tetap tenang dan tetap tersenyum. Akan ia tunjukan bahwa ia bukan perempuan lemah yang harus benyak mengalah. "Cihhh sombong. Kamu kira adikku akan menyesal bercerai dengan kamu? Tentu tidak, Santi. Gak usah banyak basa- basi," Cibir Mbak Danik menjawab pertanyaan, Santi tadi. "Aku hanya menyapa, Mbak. Siapa yang menyesal? Aku gak menyesal sama sekali. Malah aku bersyukur hari ini sidang sehingga aku akan lebih leluasa dengan status baruku. Bukankah enak kalau aku bercerai dari, Mas Adam. Gajinya sepenuhnya milik kalian lagi, tak akan dibagi denganku." "Santi jaga ucapan kamu! Kamu punya mobil juga dari hasil jual tanah dan rumah k
Saling menantang Hari- hari telah berlalu, Aku terus menyibukkan diri ini dengan pekerjaan tentu tak melupakan peranku sebagai Ibu sekaligus Ayah untuk Riko. Aku tetap melakukan aktifitas seperti sedia kala. Mengantar jemput Riko, mengajarinya belajar. Aku hanya ingin melupakan kejadian itu, melupakan semua kejadian buruk akhir- akhir ini. "Pergilah berlibur untuk beberapa hari,San." "Setelah ini, Re. Setelah semua pekerjaan ini selesai aku akan ke Desa, menemui kedua orangtuaku dan mengajaknya tinggal di sini. Sekalian mencari rumah yang pas untuk kami tinggali. Gak mungkin juga kan kedua orangtuaku aku suruh tinggal di ruko ini." "Iya juga ya. Sudah gampang nanti aku beritahu suamiku aja buat bantuin kamu cari rumah. Mau yang seperti apa?" "Biar aku cari sendiri aja, Re. Sebenarnya aku kemarin sudah melihat rumah di perumahan Mustika, rencananya nanti setelah menjemput Riko, mau aku ajak sekalian dia kesana buat lihat rumahnya. Kalau dia cocok aku akan ambil." "Haa Perumahan M
"Mama... Mama gak pa- pa. Kata tante Winda,Mama sakit?" Aku tersenyum kala melihat putraku yang begitu perhatian kepadaku. Begitu mencemaskan aku, ahh sungguh membuatku terharu. Dia adalah penyemangat hidupku. "Alhamdulillah, Mama sudah baikan kok. Besok sudah bisa antar jemput Riko lagi. Sekarang, Riko ganti baju ya. Sudah makan belum?" "Riko masih kenyang, Ma." Bocah kecil itu langsung menuju kamar mandi, tak lupa ia mengambil baju gantinya. Ya ruangan ini hanya ada 1 kamar saja buat aku dan Riko tidur. "Maafkan Mama ya, Nak. Mama janji kita akan pindah kerumah yang lebih luas lagi. Semoga usaha Mama dilancarkan." Gumam ku sambil menyeka air mata ini. Sedih? Jelas aku sedih saat ini. Aku Ibu yang masih gagal memberikan kenyamanan untuk putraku. Bahkan tempat tinggal saja aku belum mampu memberikannya. Mungkin dahulu ia akan senang bermain didalam rumah atau berkebun. Ia bahkan bisa bermain dengan tetangga, kini setiap pulang sekolah ia hanya akan bermain di ruangan ini kadang