Adam segera memarkirkan mobilnya kebetulan halaman rumah Ibunya cukup luas. Bahkan 4 mobil pun cukup di halaman depan rumahnya. Dengan pelan tapi pasti Adam memasuki rumahnya. Tampaklah anak kecil yang masih bermain di ruang tamunya rambut ikalnya dengan pipi yang gembul, belum lagi gigi di bagian depan yang membuatnya mengemaskan.
'Kenapa ada anak kecil dirumah ini? Anak siapa ini?' Gumam Adam sambil terus memperhatikan tingkah lucu anak di depannya."Mas.. ayo masuk. Didalam ada anak- anak Mbak Danik. Maaf Mas, Alika ini suka sekali bikin berantakan.""Ini anak kamu, Wi. Kapan kamu datang?""Iya, Mas. Ini Alika anakku dan Mas Johan. Kami datang tadi pagi. Sekitar jam depalanan. Oh Oya itu Mama dan Mas Johan ada diruang makan bersama kedua anak Mbak Danik.""Baiklah. Aku ke kamar dahulu sebelum menemui mereka."Adam segera berlalu. Sebelum benar- benar berlalu ia sempat mencium pipi gembul Alika. Ia sungguh terpesonaSanti merasa ada yang memanggil. Ia segera menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat orang yang memanggilnya. Mengatur nafasnya dan berusaha bersikap santai dan biasa melupakan ketegangan malam itu. "Loh Mas Adam sama siapa?" "Aku mengantar Johan dan istrinya. Katanya ingin berbelanja, itu mereka ada di butik kamu. Kebetulan aku sedang cari tempat makan malah ketemu kamu disini." "Oh,,, kebetulan kami habis makan disini bareng anak- anak." "Mana suami dan anak- anak kamu. Apa ada Riko,San?" "Hmmm suamiku baru di toilet dan anak-anak sudah menuju butik katanya mau ambil barang." "Riko? Berarti ia ada di butik kamu?" "Riko...." "Ma... Aku sudah selesai, ayo kebawah. Ayah biar nyusulin kita aja." Seketika Adam menoleh dan melihat putranya berada tepat di belakangnya. Rasa haru dan bahagia terpancar dari wajah Adam. Sekian lama mencari kini ia bertemu dengan putranya kembali. "Riko..
Kehidupanku saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahagia? Jelas... Jelas aku bahagia dan bersyukur. Apalagi memiliki anak- anak yang begitu perhatian dan saling menjaga satu sama lain. Riko bertanggung jawab atas kedua adik- adiknya. Hanya saja aku sedih dan gelisah saat ini. Sekian tahun lamanya ternyata putraku belum bisa menghapus rasa itu dari dalam dirinya. Entah apa yang harus aku lakukan lagi. Pertemuanku dengan Mas Adam membuat hati ini menjadi dilema dan serba salah. Riko yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu terus menerus menolak bertemu dengan Mas Adam. Setiap kali aku membahasnya ia akan tetap menolaknya mentah- mentah. Aku sudah bertekad akan mendekatkan Riko dengan Mas Adam. Bagaimanapun ia masih memiliki hubungan darah dengannya. Jika mantan istri itu ada tetapi tak ada yang namanya mantan anak. Mas Faiz berjanji akan terus membantuku. Aku tak ingin di cap negatif dalam mendidik Riko. Riko lulusan pesantren dan lulusan perguruan
"Santi, ini uang bulanan kamu bulan ini," kata suamiku. Ia menyerahkan amplop coklat gajinya kepadaku. Tapi ada yang aneh dengan amplop ini, aku segera menghitung uang bulanan yang diberikan suamiku. Betapa terkejutnya aku bahwa uang yang biasa aku terima kini terpotong setengah."Mas, kenapa segini? Biasanya kamu berikan aku 3juta." "Johan kan ganti motor baru buat kuliahnya, nah angsurannya minta bantuan aku, sedangkan Mbak Luna minta bantuan buat membantu biaya sekolah anaknya. Mulai sekarang uang bulanan kamu segitu. Cukup gak cukup harus cukup." "Mas, uang segini mana cukup. Belum biaya listrik dan uang sekolah, Riko." "Ahh kamu ini bukannya bersyukur sudah aku beri nafkah tapi malah ngomel gak jelas. Johan juga adikku dan Mbak Luna juga kakakku. Apa salahnya aku membantu. Sudah cepat siapkan kopi dan makan malam ku. Aku mau mandi." Mas Adam segera berlalu masuk kedalam kam
Mengamankan barang berharga Pagi hari aku bangun sedikit kesiangan akibat semalam aku tak bisa tidur. Segera aku menunaikan ibadahku dan meluncur ke dapur memasak untuk sarapan kami. Usai memasak dan beberes singkat, aku segera memandikan Riko yang sudah bangun. Ia selalu bangun pagi karena selalu aku ajak sholat bersama. "Cuma nasi goreng telur, Dek? Gak ada yang lainnya?" "Gak ada, Mas. Kita harus berhemat. Makan saja yang ada," ujarku sambil meletakkan teh hangat di samping suamiku. "Ahhh kamu itu gak pandai mengelola uang. Makanya bekerja biar tau gimana susahnya cari uang. Gak cuma protes saja dirumah. Masa uang segitu dibilang kurang. Kamu-nya yang boros berarti." "Sekarang semuanya serba naik, Mas. Jadi aku akan benar- benar berhemat dan jangan tanya ikan, ayam ataupun daging lagi. Kecuali kamu beri aku nafkah seperti semula. Sekarang Riko juga sekolah dan belum bayar uang bulanannya."
Pagi bikin emosi Tok ... Tok ... Tok ... "Adam." "Adam buka pintunya!" Gedoran demi gedoran sangat mengganggu aktivitasku pagi ini. Ini masih pukul 5.30 pagi. Aku mematikan kompor dan segera membuka pintu depan yang digedor secara tak manusiawi. Ceklek ... "Ada apa sih, Mbak. Datang itu yang sopan sedikit. Mengganggu tau. Ini juga masih pagi." "Halah gitu doang. Mana Adam, suruh temui aku." "Memangnya ada apa, Mbak? Mas Adam masih tidur jam segini. Mbak kepagian datang kemari." Kebiasaan mbak Luna jika datang ke rumahku ia langsung masuk ke dalam padahal belum aku persilahkan masuk. Kami memang tinggal satu desa, hanya beda RT saja. Mbak Luna tinggal di RT 10, dan aku tinggal di RT 15. Jadi ia leluasa ke rumahku sesuka hatinya. Sedangkan rumah Ibu Mertuaku tak jauh dari rumah Mbak Luna.
Entah mengapa, Santi malah marah saat aku berikan uang bulanan jatahnya. Memang aku pangkas uangnya, toh selama ini juga sayur- mayur ia petik di kebun belakang atau depan rumah. Bumbu dapur juga ia menanamnya sendiri ia juga jarang membeli. Lagian Johan juga meminta tambahan uang buat membeli sepeda motor baru. Jadi wajar kalau aku mau membantunya. Tiba- tiba mbak Danik juga meminta aku untuk membantunya membeli rumah baru di perumahan elit di kota harganya pun fantastis. Angsuran mobilku saja belum lunas, ditambah angsuran rumah milik mbak Luna juga belum lunas. Gaji ku memang banyak 10 juta perbulan belum lagi kalau ada bonus. Gaji ku lebih banyak aku serahkan pada keluargaku. Karena bagiku mereka adalah saudaraku sampai kapanpun. Tentu aku tak bisa menolak permintaan mbak Danik. Ia juga telah berjasa dalam hidupku. Tapi bagaimana caranya agar aku bisa memenuhi permintaan mbak Danik. Pusing ? Tentu aku pusing tujuh keliling. Apa yang harus aku lakuk
"Asyikkk kita ke Mall lagi. Makasih, Ma. Riko seneng banget," ucap bocah kecil yang ada di gandengen tanganku."Apa sih yang gak buat anak ganteng Mama. Asal Riko nurut sama, mama. Mama akan kabulkan keinginan anak ganteng ini," sahutku sambil tersenyum bahagia.Bahagia hati ini kala melihat Riko tertawa dan ceria. Hampir satu bulan aku tak mengajaknya jalan- jalan seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Berharap pada suami tapi tak mungkin. Dia juga sibuk dengan keluarga dan saudaranya seolah dia belum mempunyai istri dan juga anak. Maafkan mama, Nak. Mama belum bisa membahagiakan kamu lebih dari ini. Tapi mama janji akan selalu membuat kamu tersenyum dan bahagia walau kamu tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Papa. "Ma,aku mau main di Timzon*." "Baiklah ayo kita kesana. Mama belikan dahulu kartunya." Setelah membeli kartu dan mengisi saldo untuk anakku main, aku membiark
Perkataan MenyakitkanUsai makan malam bersama Riko. Aku memutuskan untuk segera pulang. Ini sudah malam. Kasihan putraku kedinginan di jalan. Sebelum pulang aku melihat pekerjaan baju pengantin pesanan ku tadi. Ternyata sudah selesai pemotongan. Aku mengeceknya sebentar, memastikan tidak ada salah. Ini kain mahal dan berkualitas premium. "Hati- hati, ya. Jangan sampai salah." "Baik, Bu Santi," ucap salah satu karyawanku.Aku sendiri mempekerjakan 6 karyawan khusus bagian depan dan melayani pembeli. 3 lagi khusus bagian membantu menjahit pesanan baju. Mereka akan memotong dan aku yang akan mengerjakan jahitannya. Esok akan aku mulai jahit setelah mengantarkan Riko sekolah. "Baiklah.aku pulang dulu. Besok aku cek kembali." Setelah berpamitan pada seluruh karyawan ku, aku langsung pulang ke rumah. Entah apa yang akan terjadi lagi setibanya aku dirumah nanti. Kumasukkan motorku kedalam garasi dan segera mengajak masuk Riko. Menggandeng tangan kecilnya. "Assalamu'alaikum," Salam aku