Entah mengapa, Santi malah marah saat aku berikan uang bulanan jatahnya. Memang aku pangkas uangnya, toh selama ini juga sayur- mayur ia petik di kebun belakang atau depan rumah. Bumbu dapur juga ia menanamnya sendiri ia juga jarang membeli. Lagian Johan juga meminta tambahan uang buat membeli sepeda motor baru. Jadi wajar kalau aku mau membantunya.
Tiba- tiba mbak Danik juga meminta aku untuk membantunya membeli rumah baru di perumahan elit di kota harganya pun fantastis. Angsuran mobilku saja belum lunas, ditambah angsuran rumah milik mbak Luna juga belum lunas. Gaji ku memang banyak 10 juta perbulan belum lagi kalau ada bonus. Gaji ku lebih banyak aku serahkan pada keluargaku. Karena bagiku mereka adalah saudaraku sampai kapanpun. Tentu aku tak bisa menolak permintaan mbak Danik. Ia juga telah berjasa dalam hidupku. Tapi bagaimana caranya agar aku bisa memenuhi permintaan mbak Danik. Pusing ? Tentu aku pusing tujuh keliling. Apa yang harus aku lakukan. Santi saja hanya aku berikan sisa dari gaji ku. "Dam, ada apa? Apa Santi protes lagi karena jatah bulanannya berkurang?" tanya Mama padaku kala melihatku termenung di dekat kolam ikan."Aku memikirkan permintaan mbak Danik, Ma. Gaji ku saja sudah terbagi- bagi. Santi juga marah aku kurangi lagi jatahnya." "Kamu jual saja rumah itu. Santi dan kamu tinggal di rumah, mama. Rumah ini juga besar. Lagian lumayan kalau Santi tinggal dirumah ini. Mama bisa menghemat biaya menyewa pembantu. Uang jatah pembantu juga bisa buat jatah masak bukan?" Ada benarnya juga ide mama. Biaya pembantu di rumah Mama 1,5 juta. Lumayan juga kan? "Akan aku coba bicara sama Santi, Ma. Semoga dia mau." Belum selesai masalahku teratasi mbak Luna datang kerumah Mama. Ia juga ingin di belikan mobil olehku. "Mbak Danik saja meminta dibelikan perumahan mewah kamu mau menuruti, lah aku cuma beli rumah sederhana loh itu, harganya masih jauh dari rumah yang mbak Danik minta. Makanya aku mau tambah mobil. Harganya gak mahal, Dam." "Besok Adam pikirkan lagi mbak." "Sudah jual saja rumah kamu, Dam. Kamu bisa tinggal dirumah ini. Daripada istri kamu cuma nganggur dirumah. Foya- foya mending 'kan bantuin mama disini. " "Bener, Dam. Lebih untung tinggal dirumah Mama. Rumah kamu itu dijual juga bisa buat nambahin mbak Danik dan juga belikan aku mobil." "Eh mama juga minta bagian dong. Mama mau beli perhiasan. Ada perhiasan bagus dan limited edisi. Mama harus punya." Setelah pembahasan itu, aku kembali pulang untuk membujuk, Santi. Semoga saja ia mau tinggal dirumah, Mama. Mana sekarang,Santi masak cuma sayur lauk tempe, tahu atau telur lagi. Aku kan jadi gak berselera makan. Kadang juga ia tak masak. ******************Hari minggu ini aku bersantai sejenak, memikirkan sertifikat rumah yang hilang entah kemana membuatku semakin pusing. Mbak Danik dan juga mbak Luna menanyakan terus kapan aku menjual rumah ini. Mana Mama juga memintaku segera pindah kerumahnya karena Mama juga sudah memecat pembantu yang biasanya di rumah. "San, kamu mau kemana?" tanyaku kala melihat Santi dan juga Riko telah rapi. Sepertinya mereka mau pergi. "Aku mau ajak Riko ke taman." "San, mending kita kerumah mama saja daripada ke taman," ajakkuAku berharap agar Santi mau ikut ke rumah mama dan aku berharap mama mau membujuk Santi untuk mau tinggal di rumahnya. "Ayolah. Kita sudah lama tak mengunjungi Mama 'kan?" bujuk ku kembali karena Santi masih diam saja..entah dia memikirkan apa."Bukankah mas sudah sering ke rumah mama 'kan?" "Kok gitu sih, San. Kamu kan menantunya, masa gak kangen- kangennya sama mertua kamu. Kamu sering ditanyain terus sama mama. Apalagi mama juga kangen sama Riko cucunya. Kamu sih membiarkan dia sekolah seharian full. Libur hanya sabtu dan minggu. Itu pun kamu ajak keluyuran saja." "Apa kamu bilang mas! Kami hanya refreshing saja, apa salahnya juga. Lagian situ juga selalu liburan bareng mama dan saudara- saudara kamu tanpa mengajakku maupun Riko. Kalian hanya bersenang- senang sendiri tanpa memikirkan anak dan istri. Memang kamu pernah memikirkan anak kamu yang tak pernah refreshing? Jangankan memikirkannya, memberi nafkah saja setiap bulan terpotong. Entah bulan depan seperti apa?" ucap Santi begitu kesal atas perkataanku barusan."Santi, kumohon dengarkan aku ya. Plisss ." Mohon ku padanya. "Riko, kamu bermain dulu ya. Mama dan Papa mau bicara sebentar. Nanti kita pergi setelah, Mama dan Papa selesai bicara," ucap Santi pada Rico putra ya."Baik ma," jawap bocah kecil itu dan langsung berlari menuju ruang tengah untuk bermain karena semua mainannya ada disana.Usai Riko tak terlihat lagi segera aku membujuk Santi. Semoga kali ini berhasil. "San, tolonglah mengerti keadaanku. Kita pindah kerumah mama, ya. Mbak Danik hanya ingin rumah saja. Uang suaminya kurang. Dia hanya pinjam nanti juga dikembalikan. Kalau uangnya dikembalikan kita beli lagi rumah yang lebih bagus dari ini. Kamu tahu, aku masih banyak tanggungan di bank dan dealer." "Kamu lucu deh mas. Mana pernah mbak Danik mengembalikan uang yang dia pinjam apa kamu lupa waktu itu dia juga bilang mau pinjam uang buat tambah beli mobil nyatanya tak diganti bukan. Itu yang di pinjam uangku. Uang tabunganku selama aku bekerja dahulu. Banyak loh mas 80 juta. Sekarang kamu bilang mau pinjam lagi dan kamu rela menjual rumah ini demi mbak Danik? Dan kami tinggal numpang dirumah ibu?" "Y... Ya mau bagaimana lagi. Mbak Danik juga menyekolahkan aku membiayai aku hingga aku sukses seperti ini, San. Tapi aku gak bisa nolak permintaan mbak Danik, dia kakak aku. Dia berjasa buatku." "Kalau belum mampu ya sudah gak usah beli rumah di perumahan elit seperti itu. Jangan menyusahkan adiknya. Lagian aku juga gak ikhlas rumah ini dijual dan uangnya dibagi- bagikan oleh saudara kamu. Bilang juga sama mbak Luna kalau mau beli mobil. Belilah sendiri atau minta pada suaminya bukan pada adiknya. Dan satu lagi Mas, aku gak mau jadi babu di rumah ibu kamu!" Mataku membulat kala, Santi mengatakan hal itu. Bagaimana bisa ia mengetahui semuanya? Apa dia mendengarkan percakapan ku dengan mbak Luna kemarin? Ahhh aku harusnya tak membahasnya dirumah ini waktu itu. Ini semuanya juga gara- gara mbak Luna yang tak sabaran padahal aku sudah bilang kepadanya waktu di grup Wa. Ku acak rambutku karena frustasi, sedangkan Santi dan Riko entah sudah pergi kemana. Aku tak peduli, yang aku pikirkan dimana sertifikat itu. Masa hilang begitu saja 'kan gak mungkin? Santi juga gak punya perhiasan atau apapun lagi padahal dia dulu bekerja dengan gaji besar. Dia saja bisa membangunkan rumah untuk orangtuanya di kampung masa setelah menikah denganku dia tak punya simpanan perhiasan atau apa. Mana ATMnya juga gak ada isinya lagi hanya 100 ribu saja. Kalau tau begini ceritanya dia tak usah aku suruh berhenti bekerja pasti jabatannya lebih tinggi kalau dia tak berhenti bekerja dan gajinya juga bisa lebih banyak. Bisa membantuku memenuhi kebutuhan dan keinginan saudara- saudaraku dengan mudah. Aku tak jadi pusing tujuh keliling seperti ini. Apa aku minta ia kembali bekerja lagi, toh Riko juga ia sekolahkan full day? Ahhh aku akan merayunya nanti setelah ia kembali. Aku harus bisa meyakinkannya."Asyikkk kita ke Mall lagi. Makasih, Ma. Riko seneng banget," ucap bocah kecil yang ada di gandengen tanganku."Apa sih yang gak buat anak ganteng Mama. Asal Riko nurut sama, mama. Mama akan kabulkan keinginan anak ganteng ini," sahutku sambil tersenyum bahagia.Bahagia hati ini kala melihat Riko tertawa dan ceria. Hampir satu bulan aku tak mengajaknya jalan- jalan seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Berharap pada suami tapi tak mungkin. Dia juga sibuk dengan keluarga dan saudaranya seolah dia belum mempunyai istri dan juga anak. Maafkan mama, Nak. Mama belum bisa membahagiakan kamu lebih dari ini. Tapi mama janji akan selalu membuat kamu tersenyum dan bahagia walau kamu tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Papa. "Ma,aku mau main di Timzon*." "Baiklah ayo kita kesana. Mama belikan dahulu kartunya." Setelah membeli kartu dan mengisi saldo untuk anakku main, aku membiark
Perkataan MenyakitkanUsai makan malam bersama Riko. Aku memutuskan untuk segera pulang. Ini sudah malam. Kasihan putraku kedinginan di jalan. Sebelum pulang aku melihat pekerjaan baju pengantin pesanan ku tadi. Ternyata sudah selesai pemotongan. Aku mengeceknya sebentar, memastikan tidak ada salah. Ini kain mahal dan berkualitas premium. "Hati- hati, ya. Jangan sampai salah." "Baik, Bu Santi," ucap salah satu karyawanku.Aku sendiri mempekerjakan 6 karyawan khusus bagian depan dan melayani pembeli. 3 lagi khusus bagian membantu menjahit pesanan baju. Mereka akan memotong dan aku yang akan mengerjakan jahitannya. Esok akan aku mulai jahit setelah mengantarkan Riko sekolah. "Baiklah.aku pulang dulu. Besok aku cek kembali." Setelah berpamitan pada seluruh karyawan ku, aku langsung pulang ke rumah. Entah apa yang akan terjadi lagi setibanya aku dirumah nanti. Kumasukkan motorku kedalam garasi dan segera mengajak masuk Riko. Menggandeng tangan kecilnya. "Assalamu'alaikum," Salam aku
Bantuan Rere "Siap bos. Mama siap- siap dulu ya, Riko tunggu disini saja." Aku segera keluar dari kamar putraku dan segera masuk kedalam kamarku. Mengganti pakaian dan merias sedikit wajahku. Mengambil tas dan kunci motor yang semalam aku meletakkan di meja rias. Netra ku tak sengaja melihat map biru ada di atas ranjang ku, segera aku mengambilnya dan membacanya sekilas. Mataku membulat kala apa isi dalam map tersebut. "Tak akan aku biarkan rencana kamu berjalan mulus, Mas." Gumamku sambil meletakkan kembali map itu. Segera aku menghampiri putraku dan mengajaknya keluar pagi ini. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah, harusnya ia berangkat pukul 8 nanti. Tetapi aku sudah malas berada di rumah. Lebih baik keluar rumah pagi ini. Kulakukan sepeda motorku keluar komplek perumahanku, Riko begitu semangat untuk makan bubur ayam dekat sekolahannya, rasanya memang enak dan mantab. Aku saja selalu ketagihan jika makan disana. Setelah sampai, aku segera memesan 2 porsi bubur ayam
Tak terasa waktu terus berlalu, gaun pesanan milik mbak Dian juga telah selesai. Merek puas sekali akan pekerjaanku. Aku bahagia dan bersyukur tak mengecewakan mbak Dian dan calon suaminya. Aku bahkan diundang ke acara pernikahannya yang digelar di sebuah hotel berbintang. Ada rasa bimbang antara hadir dan tidak hadir. Jika aku hadir bagaimana dengan, Riko. Acaranya saja malam hari, mana mungkin aku meninggalkan Riko sendirian dirumah. Ku hempaskan tubuh ini di atas kasur yang begitu empuk dan nyaman. Mata ini terpejam tanpa aku sadari. Adzan subuh sayup- sayup mulai berkumandang segera aku bangun dan segera membersihkan diri ini lalu segera melakukan kewajiban ku menunaikan dua rakaat. Hari ini hari libur, aku ingin bersantai sejenak di rumah sebelum besok kembali beraktivitas. Aku awali pagi ini dengan melakukan aktivitas bersih- bersih rumah dan tentunya memasak. Sudah lama aku tak membuatkan menu kesukaan, Riko. Mumpung mas Adam pergi entah kemana. Sudah hampir satu minggu ini i
Perdebatan Malam ini aku habiskan waktuku bersama, Riko. Menemaninya menonton televisi sekaligus bercanda ria. Hidup kami sungguh nyaman dan damai tanpa adanya mas Adam. Aku seorang ibu sekaligus seorang ayah untuk anakku. Aku harus bisa memberikan kasih sayang lebih untuk putraku. "Ma, Mama kok gak beli mobil kaya Papa. 'Kan Mama bisa beli mobil sendiri. Butik milik Mama juga ramai." "Hmmm mobil? Memangnya Riko mau punya mobil?" tanyaku pada Riko."Mau, Ma. Teman- teman Riko pada diantar naik mobil. Katanya Riko gak pantes sekolah disana karena Riko hanya di antar jemput naik sepeda motor." Deg… Hati ini tentu terkejut akan pengakuan putraku ini. Bagaimana bisa anak kecil mengatakan hal seperti itu. "Astagfirullah. Kenapa begitu? Mau naik sepeda motor atau mobil sama saja. Itu sekolah umum. Lagi pula mama bayar sekolahnya loh. Do'akan mama lancar terus usahanya dan dapat beli mobil sesuai keinginan Riko," ujarku dengan lembut. Mencoba memberikan pengertian pada anak seusia Riko
Benar dugaanku, semua belum dibereskan. Bahan pakaian kotor telah menggunung di tempat cucian. Padahal di rumah ini ada mesin cuci. Pakaian tinggal dimasukan ke mesin sudah beres 'kan. Ibu dan anak sama saja meresahkan. "Santi kamu sudah pulang. Itu pakaian jangan lupa di cuci. Pakaian kotor sudah satu minggu, bau." "Kenapa gak kamu cuci sendiri. Bukankah ada mesin cuci mas. Aku capek mau istirahat," jawabku sambil berlalu meninggalkan mas Adam yang masih bengong di tempatnya. Seharusnya pagi ini aku ke butik, namun urung karena ingin melihat apa yang dilakukan keluarga suamiku. "Santi! Kamu istri macam apa seperti itu. Adam menikah lagi baru tahu rasa kamu!" cibir Ibu mertuaku"Oh.. silahkan ma. Silahkan jika mas Adam akan menikah lagi. Tapi sebelum itu, ceraikan aku terlebih dahulu," jawabku dengan semangat."Stop! Apa- apaan sih kamu, San. Kita gak akan berpisah," elak mas Adam. "Mama juga, jangan memperkeruh suasana deh. Aku masih mencintai Santi. Sampai kapanpun aku tak akan
Sumpah serapah bahkan hinaan dan kata- kata yang tak pantas keluar dari mulut Mama mertuaku, bahkan Mbak Dani dan juga Johan ikut berkata- kata mengimbangi, Mama mertua. Hanya Mas Adam yang tak pergi dari rumah ini, ia masih berada di dalam rumah. "Apalagi, Mas. Kenapa gak ikut keluarga kamu pergi dari rumahku." "San,aku itu suami kamu. Apa pantas kamu berbicara seperti itu? Ingat,San surgamu ada padaku. Bukan pada orangtuamu lagi. Kamu sudah menjadi istriku. Kamu harus patuh pada perintahku." "Perintah yang bagaimana dahulu, Mas. Perintah yang membuatku sengsara dan menyesalinya seumur hidupku? Aku tak sudi melakukannya, Mas!" "Kamu keras kepala,Santi. Aku menyesal menikahi kamu!" "Sama. Aku juga menyesal bersuamikan kamu, Mas! Aku sangat menyesal." Hardik ku tak mau kalah dengan, Mas Adam. Mas Adam keluar dengan membanting pintu rumah ini. Seketika aku terlonjak kaget. Astagfirullah... Ya Allah ... Maafkan hamba mu ini yang telah berdosa. Berkali- kali aku beristigfar memohon
Rumah Di JualSore ini sepulang kerja,aku mampir dahulu ke toko kue langganan Santi. Membelikannya kue kesukaannya. Aku juga membelikan kue untuk Riko. Semoga ia juga menyukai kue pilihanku. Aku memang tak tahu apa kesukaannya. Semoga ini bisa mengambil hati Riko dan Santi. Mobil kulajukan menuju rumah dimana aku selama ini tinggal bersama Santi. Aku masih mencintai Santi. Makanya aku menolak jika harus berpisah dengannya. Ia wanita cantik, sholehah, dan juga pintar. Aku bahkan memintanya berhenti bekerja karena jabatannya lebih tinggi daripada aku. Aku malu, masa istriku lebih tinggi jabatannya dan juga gajinya. Berkat bantuan Santi pula aku bisa naik jabatan dengan mudah. Ia selalu membantuku dalam pekerjaan. Bahkan ia tak tahu jika aku sudah naik jabatan lagi dan gaji ku lebih besar dari sebelumnya. Seluruh gaji ku, semuanya untuk memenuhi permintaan saudara dan juga Ibuku. Bahkan sekolah Riko aku tak tahu bagaimana caranya Santi membayarnya. Paling juga dari uang bulanan yang aku