Turun Jabatan Disisi lain kini Adam tengah dilanda kebingungan yang amat mendalam. Ia tak dapat menemukan keberadaan istri beserta anaknya. Bahkan surat panggilan untuk sidang pun telah ia dapatkan. Danik terus saja memaksa agar Adam dapat menemukan istrinya. Ia juga bahan telah mengunjungi Ibu Mertua di kampung halaman istrinya. Berharap istrinya ada di sana dan dapat ia bujuk untuk kembali nyatanya hanya zonk. Kemarahan Mbak Danik makin hari makin menjadi apalagi semenjak istrinya pergi dan menjual rumahnya kini Adam tinggal kembali bersama Ibunya. Tiada hari kemarahan Ibunya ia rasakan. Pekerjaan pun banyak yang terbengkalai oleh masalah ini. "Adam, bagaimana ini? Ini sudah pertengahan bulan loh. Pemilik rumah itu juga sudah menagih terus menerus. Masa cari istri saja kamu gak menemukannya." "Mbak, aku sudah bolak balik mencari keberadaan Santi. Bahkan pekerjaanku pun banyak yang aku tinggalkan. Entahlah bos pasti akan marah besar nantinya. Aku ingin fokus dulu sama pekerjaanku.
Menghadiri Pernikahan Konglomerat Malam ini adalah malam dimana Santi harus menghadiri acara pernikahan milik kliennya. Ia menitipkan putranya pada Rere sang sahabat. Ada rasa sungkan tetapi, Rere terus saja memaksanya untuk menitipkan Riko padanya. "Riko, ingat pesan Mama tadi ya. Mama tinggal sebentar, nanti mama jemput lagi." "Iya, Ma." "Kamu tenang saja, San. Riko anak pintar kok. Sudah kamu enjoy saja di acara Mbak Dinda. Riko aman kok sama aku.""Makasih ya, Re. Kamu selalu menolong dan membantu aku. Aku titip anakku." "Kaya sama siapa aja sih kamu itu, San. Sudah sana berangkat. Nanti telat loh." "Iya.. iya.. ya sudah aku pergi dahulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Santi segera berangkat menggunakan mobilnya menuju gedung dimana acara pernikahan Mbak Dinda klien nya di adakan. Ia sebenarnya ingin mengajak Rere, tetapi sahabatnya itu tak mau. Ia memilih untuk menjaga Riko saja dirumahnya. Ingin tidak hadir tetapi ia tak enak menolak undangan khusus yang diberikan
Santi tiba di gedung pengadilan bertepatan dengan datangan Adam beserta keluarganya. Ia mengambil nafas panjang sebelum ia keluar dari mobil milik Rere. Dengan anggun ia turun dari mobil dan tersenyum melihat Adam dan keluarganya. "Apa kabar, Mas? Mama apa kabar?" Tanya Santi sambil berbasa- basi sejenak. Tatapan sinis dan tajam menghujani Santi. Santi tetap tenang dan tetap tersenyum. Akan ia tunjukan bahwa ia bukan perempuan lemah yang harus benyak mengalah. "Cihhh sombong. Kamu kira adikku akan menyesal bercerai dengan kamu? Tentu tidak, Santi. Gak usah banyak basa- basi," Cibir Mbak Danik menjawab pertanyaan, Santi tadi. "Aku hanya menyapa, Mbak. Siapa yang menyesal? Aku gak menyesal sama sekali. Malah aku bersyukur hari ini sidang sehingga aku akan lebih leluasa dengan status baruku. Bukankah enak kalau aku bercerai dari, Mas Adam. Gajinya sepenuhnya milik kalian lagi, tak akan dibagi denganku." "Santi jaga ucapan kamu! Kamu punya mobil juga dari hasil jual tanah dan rumah k
Saling menantang Hari- hari telah berlalu, Aku terus menyibukkan diri ini dengan pekerjaan tentu tak melupakan peranku sebagai Ibu sekaligus Ayah untuk Riko. Aku tetap melakukan aktifitas seperti sedia kala. Mengantar jemput Riko, mengajarinya belajar. Aku hanya ingin melupakan kejadian itu, melupakan semua kejadian buruk akhir- akhir ini. "Pergilah berlibur untuk beberapa hari,San." "Setelah ini, Re. Setelah semua pekerjaan ini selesai aku akan ke Desa, menemui kedua orangtuaku dan mengajaknya tinggal di sini. Sekalian mencari rumah yang pas untuk kami tinggali. Gak mungkin juga kan kedua orangtuaku aku suruh tinggal di ruko ini." "Iya juga ya. Sudah gampang nanti aku beritahu suamiku aja buat bantuin kamu cari rumah. Mau yang seperti apa?" "Biar aku cari sendiri aja, Re. Sebenarnya aku kemarin sudah melihat rumah di perumahan Mustika, rencananya nanti setelah menjemput Riko, mau aku ajak sekalian dia kesana buat lihat rumahnya. Kalau dia cocok aku akan ambil." "Haa Perumahan M
"Mama... Mama gak pa- pa. Kata tante Winda,Mama sakit?" Aku tersenyum kala melihat putraku yang begitu perhatian kepadaku. Begitu mencemaskan aku, ahh sungguh membuatku terharu. Dia adalah penyemangat hidupku. "Alhamdulillah, Mama sudah baikan kok. Besok sudah bisa antar jemput Riko lagi. Sekarang, Riko ganti baju ya. Sudah makan belum?" "Riko masih kenyang, Ma." Bocah kecil itu langsung menuju kamar mandi, tak lupa ia mengambil baju gantinya. Ya ruangan ini hanya ada 1 kamar saja buat aku dan Riko tidur. "Maafkan Mama ya, Nak. Mama janji kita akan pindah kerumah yang lebih luas lagi. Semoga usaha Mama dilancarkan." Gumam ku sambil menyeka air mata ini. Sedih? Jelas aku sedih saat ini. Aku Ibu yang masih gagal memberikan kenyamanan untuk putraku. Bahkan tempat tinggal saja aku belum mampu memberikannya. Mungkin dahulu ia akan senang bermain didalam rumah atau berkebun. Ia bahkan bisa bermain dengan tetangga, kini setiap pulang sekolah ia hanya akan bermain di ruangan ini kadang
"Ada apa ini?" "Selamat siang, Pak. Saya kemari ingin menyampaikan sesuatu sama Bapak tentang karyawan Bapak ini. Pasti Bapak pemilik butik ini kan?" Ucap Tari secara langsung dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. "Iya, Pak. Karyawan Bapak yang bernama Santi ini seorang pencuri dan penipu. Gak pantaslah Bapak mempekerjakan dia disini. Bisa- bisanya Bapak bangkrut gara- gara ulah satu karyawan. Dia itu dahulu kakak ipar saya, tapi untung suaminya segera sadar kalau wanita ini licik dan ingin menguasai harta kakak saya. Dia juga bawa kabur uang kakak saya." "Benar Pak. Dia memang sedikit rada eror Pak. Mendingan Bapak segera pecat dia saja daripada nanti Bapak rugi besar. Kami ini saksinya loh, Pak. Jadi sayang aja kalau butik ini gulung tikar akibat ulah wanita itu." "Maaf sayang bingung. Anda siapa? Kok tiba- tiba bicara seperti itu?" "Saya Tari, Pak, mantan mertua Santi. Percaya deh sama saya, Pak. Bapak gak akan menyesal memecat dia. Saya kasihan kalau sampai Bapak d
Pov Danik Deru mobil memasuki halaman rumahku. Aku yakin itu Mas Wira, suamiku. Aku mengintipnya dari balik jendela, benar dugaan ku. Segera aku melihat jam diatas nakas samping tempat tidurku. Dahi ku mengernyit heran tak biasanya, Mas Wira sudah pulang dari bekerja lebih awal. "Lah kok tumben Mas Wira udah pulang. Ini masih jam 3," gumamku didalam kamar. Segera aku bergegas merapikan penampilan, memperbaiki make up dan tak lupa memoleskan perona bibir warna merah. Menyisir rambut yang berantakan dan menyemprotkan parfum kesukaanku. Parfum pilihan Mas Wira. Gegas aku menyelesaikan semuanya karena Mas Wira sudah memanggilku sedari tadi. "Ya Mas, Sebentar," teriak ku dari lantai atas. Ya kamarku ada di lantai 2. Rumahku berada di perumahan kecil di kampung tak jauh dari rumah Ibuku. Awalnya aku dan Mas Wira merantau berdua, mengadu nasib kehidupan. Alhamdulillah, semua keinginan kami berhasil. Mas Wira semakin hari semakin baik dalam bekerja. Perekonomian keluarga kecilku berangsu
Tak ada ruginya Adam berpisah dari Santi tapi malah mendapatkan Mira. Mira juga terlihat royal sekali terhadap aku terutama Mama. Ia tak segan- segan membelikan barang- barang branded incaran ku. Aku juga semakin gencar memposting di statusku. Tujuanku hanya satu, membuat Santi tambah menderita. Sayang seribu sayang aku tak dapat membeli rumah incaran ku. Ternyta rumah incaran ku telah di beli orang lain dengan atau tanpa negosiasi. Aku kalah cepat dengan orang itu. Pasti orang yang membeli rumah ini orang kaya raya tak mungkin ia membeli tanpa negosiasi. Tapi sampai sekarang aku belum tahu siapa yang membeli rumah itu. Tapi tak masalah bagiku, karena aku bisa memamerkan perkebunan luas milik Mira calon adik ipar baruku kepada teman- temanku. Apalagi rumah Mira juga tak kalah bagus dari rumah milikku atau rumah incaran ku terdahulu. "Adam jangan sampai kamu bod*h seperti dahulu bersama Santi. Jangan buat perjanjian yang merugikan kita." "Iya, Mbak. Mira juga tak mengajukan persyara