Share

Ambil Saja  Uangmu, Mas
Ambil Saja Uangmu, Mas
Penulis: Author Rina

Bab 1

Ku Kembalikan Uang Suamiku

"Bu sepatu Aida sobek, Aida malu Bu," adu anakku yang masih 2 SD . Wajar saja dia malu, sepatunya sobek seperti mulut buaya di depan. Bukannya aku tak peduli dengan anakku, tapi, mau bagaimana lagi aku hanya IRT yang tak punya kerjaan. Dulu aku kerja bantu-bantu tetangga tapi, begitu suami dan mertuaku tahu, pulangnya aku kena marah dan parahnya lagi orang yang memperkerjakan aku dilabrak habis-habisan oleh mertuaku.

"Maaf Murni, bukannya ibu gak mau bantu kamu lagi, tapi ibu malu. Kemarin mertua kamu datang ke sini dan memaki ibu, katanya ibu syok kaya padahal hutang ibu banyak. Ibu berlagak katanya sok-sokan nyari pembantu. Padahal kamu tahu, ibu sebenarnya juga gak begitu membutuhkan tenaga kamu, hanya karena ibu kasihan makanya ibu ajak kamu bantu-bantu di sini," ujar Bu Sintia dengan wajah sendu. Aku tahu sifat mertuaku pasti dia telah bicara macam-macam pada Bu Sintia.

Kutarik napas dalam lalu setelah kejadian itu tak lagi kerja di tempat Bu Sintia.

"Bu."

Kutoleh anakku yang masih menatap penuh harap.

"Nanti ibu bilang ke papa kamu ya," jawabku. Mas Dirga suamiku bekerja di sebuah pabrik, gajinya sebenarnya lumayan jika dia tak pelit dengan kami, tapi itulah mas Dirga dia tak pernah memperdulikan kami, baginya kami ini hanyalah beban dan ibu serta Kakaknya lah yang paling utama.

"Benar ya Bu. Aida malu kalau sampai besok gak ada sepatu baru." Gadis kecilku menunduk sedih.

_______

"Mas, aku minta uang lebih ya untuk beli sepatu Aida," ujarku pada Mas Dirga saat dia pulang kerja. Seperti biasa dia main ponsel sambil duduk santai di sofa.

Aku berdiri sambil menunggu jawaban dari Mas Dirga dan berharap agar lelaki yang telah delapan tahun menjadi imamku itu memberikan uang untuk membeli sepatu, gak tega rasanya melihat anakku bersedih seperti itu.

Drt, drt

Ponsel Mas Dirga berbunyi dan suamiku segera mengangkat ponsel itu tanpa memperdulikan permintaan aku tadi.

"Hallo," sapa Mas Dirga dan aku pun melangkah ke dapur untuk membuatkan cemilan buat dia, nanti saja aku bicara lagi dengan suamiku soal sepatu Aida. Dari dapur ku dengar pembicaraan Mas Dirga dengan kakaknya lewat telepon. Suamiku selalu menghidupkan mikrofon jika ada yang telepon.

Dia malas jika harus menempelkan HP itu di telinga katanya telinganya panas jika telepon lama, dengan begitu aku bisa mendengar jelas pembicaraan mereka karena memang jarak dapur ke ruang tamu tak begitu jauh.

"Dirga kamu bisa kan kirim uang, besok Galang harus pergi ikut pariwisata dan dia harus membayar iuran satu juta. Kalau nggak, nggak bisa ikut." terdengar suara cempreng Kakak Mas Dirga yang bernama Mely. Dia memang selalu meminta uang kepada Mas Dirga, suaminya dulunya bekerja tapi sudah 1 tahun ini terkena PHK karena malas, sehingga setiap kebutuhan Mbak Mely suamiku yang mencukupinya. Setiap bulan dia akan mengirimkan uang untuk mereka.

"Iya mbak, udah aku transfer kok 2 juta sekalian sama jatahnya Mbak,"jawab Mas Dirga yang membuatku menghentikan aktivitasku.

"Jatah Mbak kamu tambahin dong Dirga, masak cuman satu juta Kamu kan tahu bulan ini kebutuhan Mbak banyak. Lagi pula Mbak juga mau beli sesuatu,"ucap Mbak Mely merayu suamiku.

"Ya sudah Mbak nanti aku tambahin satu juta."

Begitulah suamiku sangat royal dengan kakaknya, berapapun yang dia minta pasti dikasih. Beda kalau kami yang minta.

_________

"Mas, bagaimana?"tanyaku setelah selesai membuat kopi dan juga cemilan untuknya. Aku minta kepastian karena dari tadi Mas Dirga tidak menjawab pertanyaanku.

"Bagaimana apanya?"tanya Mas Dirga jutek.

"Aku minta uang , Mas. Sepatunya Aida sobek sudah seperti mulut buaya. Tadi juga pulang nangis-nangis katanya ditertawakan oleh teman-temannya,"jawabku.

"Alah zaman dulu aku sekolah juga nggak pakai sepatu, biasa aja,"jawab Mas Dirga datar. Tangannya meraih cemilan dan menyeruput kopi.

"Mas itu kan zaman kamu sekolah. Sekarang zaman sudah berubah, masa iya kamu tega membiarkan anak kamu jalan kaki sementara untuk keponakanmu saja kamu royal. Kemarin kamu baru berikan Galang sepatu baru kan?"

Dia menoleh dan menatapku dengan tatapan mata tak suka.

"Memangnya kenapa kalau aku memberikan sesuatu kepada ponakanku, urusannya apa denganmu, dia keponakanku, anak dari kakakku. Ada darahku yang mengalir dalam darahnya, beda dengan kalian. Kalian kan cuman orang asing yang jadi beban dalam hidupku, ngerti!"

Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikiran suamiku, bagaimana bisa berkata seperti itu padahal sebenarnya kami ini adalah tanggung jawabnya.

"Mas, apa nggak kebalik aku ini istrimu dan Aida itu anakku. Jadi kamilah tanggung jawabmu sementara Galang, dia itu ada Ayah dan Ibunya itu tanggung jawab mereka Mas bukan, tanggung jawab kamu!" tegasku yang sudah mulai kesal dengan sikap Mas Dirga. Sudah beberapa kali dia bersikap seperti ini, memberikan uang kepada keponakannya sementara anaknya dia tidak peduli.

Mas Dirga menatapku tajam, tampaknya tersinggung dengan ucapanku. Tangan mas Dirga bat yang ada di atas meja lalu mengeluarkan uang seratus ribu.

"Nih dasar pengemis," dilempar uang itu ke wajahku," Makanya jadi perempuan itu kerja , cari duit jangan sukanya mengemis pada laki-laki!" caci suamiku yang membuat emosiku tersulut seketika.

"Aku bukan pengemis, mas!" bantahku tak terima dengan ucapannya.

"Halah apa bedanya kamu dengan pengemis," cemooh suamiku.

Ku ambil uang rp100.000 yang jatuh tepat di depan kakiku tadi, lalu aku berjalan mendekat.

"Ini, ambil uang kamu, aku tak butuh lagi!" Kulempar uang itu tepat ke wajahnya. Aku tak sudi diperlakukan seperti itu.

Wajah Mas Dirga berubah, dadanya bergelombang dan giginya gemelatuk, tangannya terlihat mengepal.

"Kurang ajar!" geramnya, Suaranya gemetar menahan amarah.

Aku tak peduli walaupun dia terlihat marah, segera aku berjalan menuju kamar dan mengambil hp android yang sudah ketinggalan model, lalu menelpon sebuah nomor yang telah lama aku lupakan.

"Hallo Pa, aku butuh uang, tolong transfer uang seratus juta sekarang juga ke rekeningku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status