"Ni bajunya gue pake nih al?" ujar Naisa keras dari luar kearah pintu kamar Alva yang terbuka sedikit.
Alva tak bersuara, Naisa mencibir sambil meneliti besarnya kemeja hitam itu. Besar banget ya, sampai ke atas lutut beberapa senti lengannya seakan mampu menyaingi panjang kedua tangan Naisa.
Naisa menuju kamar mandi dan kembali dari sana setelah sepuluh menit. Naisa agak risih karena kemeja ini sedikit tipis, untungnya hitam. Naisa menaruh seragamnya ke atas tas.
"Al?" pangsgil Naisa dari ruang tamu yang lumayan gelap itu, hanya ada cahaya-cahaya kecil yang masuk dari pentilasi. Tapi gelapnya versi siang.
Alva tak menyahut. Naisa menajamkan pendengarannya agar tau apa yang lagi Alva buat.
"Gue ke kamar lo ya?" Naisa memicingkan telinganya lebar-lebar dan mengintip isi kamar Alva.
"Nggak usah!" sahut Alva kemudian dengan suara super berat dan dengan tegas dia mengatakannya.
Alva tidak peduli,bkata jangan membuat Naisa semakin ingin me
Pintu dengan kenop usang berkarat itu terbuka dengan keras hingga berbunyi keras mengenai dinding. Muncul seorang cowok tinggi sekitar 180 cm, berjaket hitam kulit dengan topi jaket yang menutupi kepalanya, kedua tangannya di dalam saku.Alva menghempaskan diri ke atas kasur,ia mendapati beberapa lembar uang dan pakaian di sana.Pasti Mang Ujang, pikirnya.Alva menduduki diri di samping kasur,menumpu kedua sikunya ke atas lutut, tangannya menutup sebagian wajahnya.Seharian ini begitu membuatnya lelah,ia harus melepaskan penat.Alv merogoh sesuatu di dalam sakunya, mengeluarkan sebuah bungkus rokok dan mengambil sebatang darinya, ia menyalakan korek lalu membakar ujung rokok tersebut, menghisap dengan kuat hingga dadanya sesak.Satu hal yang harus membuat Alva merokok. Alva harus menenangkan pikirannya dari segala emosi dan hal-hal buruk di kepalanya.
Naisa mengambil tas pinknya dan menuruni tangga dengan tegesa-gesa, lalu memakai jaketnya.Naisa melihat bunda sedang duduk di meja makan dengan memegang kipas kesayangannya.Tak ada ayah di sana, biasanya ayah selalu menemani bunda duduk dan saat Naisa akan bepergian, ayah yang akan menjadi paling pertama yang menginterogasinya.Ayah begitu protective dan garang, segala pergaulan Naisa harus selalu terkontrol. Untung saja Naisa menolak saat ayahnya meminta bodyguard untuk mengawasi Raisa setiap saat."Bun, aku berangkat ya!!" Naisa mencium punggung tangan bunda yang terlihat sedang makan cemilan sambil menonton tv. Bunda mengerutkan dahi."Loh? Tumben sendirian?""Udah terbiasa sendiri ya??""Apaan sih bun, sebentar lagi anak bunda ini bakal..""Bakal apa?? Apa?? Ayo cepet kasi tau, bunda kepo loh." ujar bunda excited."Udah deh ntar aja,bye bun!""Diantar Pak Bobo cla???" kata bunda menyarankan."Gak usah
Satu jam yang lalu Alva melakukan aktivitasnya seperti biasa, merokok sendirian di depan tangga ditemani sebuah gitar tuanya. la melihat beberapa orang sekitar lima orang yang melangkah terburu buru melewatinya.Awalnya Alva tidak peduli,tapi setelah mengingat kembali bahwa ia pernah melihat wajah-wajah orang itu beberapa kali, Alva segera membuntuti mereka diam-diam.Dan ternyata benar,mereka menghajar habis-habisan sahabatnya, yang baru pulang membeli rokok dari sebuah warung kecit.Melihat hal itu Alva tidak tinggal diam, Alva menghajar mereka semua hingga bonyok memberi bogem-bogem mentahnya kepada orang orang brengsek adalah kebiasaan Alva dari kecil, sejak ibubya selingkuh dan saat ayahnya."Al?" panggil Ardana menyadarkan Alva dari pikiran kosongnya.Alva tersadar, dia segera menopang Ardana berjalan dengan mengalungkan tangan Regal di lehernya."Gue udah pernah bilang ke bos bodoh lo, untuk jangan coba-coba ngirim pasukan
Sudah lima belas menit mereka berjalan, dan dari tadi Naisa mengoceh terus dengan kecepatan ngomongnya yang berhasil ngalahin Eminem.Alva terpaksa menahan penderitaannya mendengar omongan Naisa yang sama sekali gak jelas itu.Naisa mencari-cari taksi di daerah sini, tapi masih belum muncul. Yaiyalah, disini kan daerah perumahan kecil, banyak pedagang kaki lima, jarang ada taksi yg lewat dan berkeluyuran, apalagi malam."Al,""Gue capek nih,""Al.. Gue capek." rengek Naisa."Trus?" sahut Alva malas."Gendong dong..""Jangan gila lo!" tukas Alva jutek."Ihh kejam banget sih, istirahat aja dulu ya, gue capek,""Terserah." Jawab Alva ketus.Naisa duluan duduk di pinggiran jalan yang kebetulan ada tempat duduk kayu,pas buat dua orang. Sementara Alva hanya berdiri sambil terus diam."Al duduk sini!" Naisa menepuk sisa tempat duduk di sampingnya."Nggak!" kata Alva jutek masih fokus kedepan.
Bel tanda pang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun Alva dan teman-temannya belum juga meninggalkan sekolah. Mereka justru memilih untuk tetap tinggal di dalam kelas. Entah kenapa hari ini mereka melakukan hal itu. Padahal biasanya mereka selalu mendahului pulang.Alva menghela napas, kemudian menyenderkan tubuhnya ke dinding di belakang kelas seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abunya. Laki-laki itu memakai earphone berwarna hitam. Sepertinya warna hitam adalah warna kesukaan Alva. Karena itulah barang-barang yang dia punya hampir semuanya berwarna hitam.Alva memejamkan matanya, menikmati lagu Let it be milik The Beatles. Lagu itu adalah salah satu lagu favoritnya. Alva tidak tahu bagaimana pandangan orang lain tentang lagu itu. Hanya saja bagi Alva lagu itu sangatlah menenangkan. Setiap kali dia mendengarkan lagu dia merasa bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dia merasa bahwa dia akan menemukan jalan keluar untuk setiap masalahnya. Ya, wa
Alva memasuki area kampus tanpa niat sedikitpun. Yap, Alva sekolah SMA tapi juga Kuliah, karena dia diharuskan menjadi CEO di perusahaan papanya.Kini Alva harus menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang membosankan.Segala dosen, diktat, dan Shakespeare seakan berlomba membuatnya mabuk dan ingin muntah, Alva tak pernah suka kuliah,ia melakukannya karena terpaksa.Alvaro melangkah menuju kelasnya."Look...who 's coming?our super hero with his bad style. A worn out 7-shirt, black pants,and of course with disorader hair. How dare you come here super hero?"Terdengar semua orang di kelas tertawa mendengar ocehan memuakkan dari dosen tua berjubah yang sekarang sedang berkacak pinggang menghadangnya sebelum Alva memasuki kelas.Pak tua ini merasa dirinya paling hebat di kampus, Alva tampak santai menggendong sebelah tasnya tanpa bicara."You're late Mr.Antares, lat of thirty minutes. You c
Alva meremas rambut ikalnya yang basah karena peluh hingga menetes ke bawah dagunya, bajunya sedikit basah, karena kebetulan baju yang dipakainya berbahan tipis jadi tubuhnya tampak transparan.Setelah kepulangan Bara dan Regal dari rumahnya, Alva hanya menghabiskan waktunya seharian untuk tidur.Alva sangat capek setengah hari ini, mengingat tadi di kampus sudah melakukan aktivitas rutinnya.Merokok, Berkelahi, Dan diusir dari kelas.Pukul 17.31 WIB.Alva mendudukkan diri di tepi ranjang, ekor matanya tidak sengaja menangkap foto keluarga yang ada di atas lemari pakaiannya.Alva merasakan nafaasnya yang ketika itu juga menderu sangat cepat,tangannya mengepal keras seakan sedang meremukkan ribuan kerikil di sana.Alva berdiri dengan tatapan ganas lalu meraih foto itu dan memandangnya lama. Alva membenci pria yang tersenyum dengan wajah tak bersalah.Alva membenci perempuan berkebaya merah yang juga tersenyum sok tulus di sana.
"Lo yakin nih, gak mau gue anterin? Rugi loh." Kila mengedipkan mata sipitnya sambil terus menarik ingus di hidungnya.Belakangan ini memang sedang viral yang namanya penyakit pilek, tapi menurut Naisa, Kila tidak sedang pilek. Kila ingusan."Gak. Gue ada urusan, biasalah orang penting,"Naisa menggesek hidungnya dengan telunjuk.Belakangan ini Naisa juga mengidap penyakit aneh dan gaje suka menggaruk hidung."Sebahagia lo aja deh,gak kepo gue dengan urusan gak penting lo," kata Kila lagi."Ya udah diem aja," Naisa mengisap es sanghai cincai jablainya sampai habis, sampai sedotannya juga bisa kehisap kalau aja bisa, lalu bersendawa selama mungkin."Bayarin ya raa..." dan Kila mulai memasang muka sok imutnya yang menurut Naisa malah keliatan mirip muka pocong kelaparan. Kila memutar bola mata malas."Gue muluk. Sekali-sekali kek elu," Naisa menoyor kepala Kila yang bersandar di pundaknya."Dasar pelit!" ujar Kila malas, h