Satu jam yang lalu Alva melakukan aktivitasnya seperti biasa, merokok sendirian di depan tangga ditemani sebuah gitar tuanya. la melihat beberapa orang sekitar lima orang yang melangkah terburu buru melewatinya.
Awalnya Alva tidak peduli,tapi setelah mengingat kembali bahwa ia pernah melihat wajah-wajah orang itu beberapa kali, Alva segera membuntuti mereka diam-diam.
Dan ternyata benar,mereka menghajar habis-habisan sahabatnya, yang baru pulang membeli rokok dari sebuah warung kecit.
Melihat hal itu Alva tidak tinggal diam, Alva menghajar mereka semua hingga bonyok memberi bogem-bogem mentahnya kepada orang orang brengsek adalah kebiasaan Alva dari kecil, sejak ibubya selingkuh dan saat ayahnya.
"Al?" panggil Ardana menyadarkan Alva dari pikiran kosongnya.
Alva tersadar, dia segera menopang Ardana berjalan dengan mengalungkan tangan Regal di lehernya.
"Gue udah pernah bilang ke bos bodoh lo, untuk jangan coba-coba ngirim pasukan gak berguna buat nyerang teman gue," ucap Alva lantang.
"Cabut lo sekarang!" seru Alva geram sambi menunjuk arah keluar jalan dan membantu temannya yang bonyok dengan lebam di wajah.
Orang-orangg yang di hajar habis oleh Alva segera kabur dari sana, berlari terbirit-birit.
"Lo oke dan?" Alva membantu temannya yang bernama Ardana itu, dia duduk dengan terengah-engah.
"Gue gak apa-apa. Thanks Al," kata Ardana lelah.
Mereka tiba di depan sebuah rumah tua yang sepi dan gelap.
Rumah itu adalah markas mereka dulu, saat masih membentuk sebuah gangster, tapi sekarang tidak terpakai lagi, dan tempat itu diberikan kepada
Alva, sebagai anak bawangnya mang Ujang. Walau mereka yang lainnya masih bebas untuk bersantai di sana.
Alva membuka pintu lalu menyalakan lampu yang remang kekuningan. Dia duduk di samping Ardana yang segera melangkah mencari kapas.
"Mang ujang nanya kabar lo," ujar Ardana yang kembali duduk sambil membersihkan lukanya.
Alva mendengus lalu meraih bungkusan rokoknya. la membakar ujung rokok itu dan menghisap rokoknya tanpa banyak bicara.
"Kita semua butuh lo. hanya lo yang paling kuat," Ardana membuka bajunya, mencabut sebatang rokok dan membakarnya.
Alva bangkit menuju jendela dan memandang keluar.
"Gue yang paling buruk," kata Alva menikmati rokoknya.
"Gak ada yang tau kenapa lo misahin diri, padahal mang ujang udah nganggap lo kayak anak sendiri," kata Ardana menghembuskan asap rokonya sambil berbaring.
"Justru itu.." Alva membuang rokoknya lewat jendela.
"Gue gak butuh ayah lagi," Alva melangkah keluar, meninggalkan Ardana sendiri di sana.
****
Tiga puluh menit kemudian Naisa sampai di depan halte bus favoritnya ini, untuk yang ketiga kalinya.
Dia melepaskan tasnya dari gendongan dan mengambil hpnya dari sana.
Mengetik chatnya untuk bunda sambil celingak- celinguk,siapa tau ada teroris.
'Bun, Naisa pulang agak lama. Ada urusan sama Kila.'
Kali ini Naisa harus berbohong kepada bunda untuk kedua kalinya, menmanfaatkan waktu les untuk hal-hal yang tidak penting, tapi menurutnya penting.
Setelah itu Naisa kembali memasukkan hpnya kedalam tas dan mulai beranjak dari sana.
Naisa rupanya tidak jera, ia kembali memasuki jalan berlorong tempatnya dengan mudah bertemu Alva biasanya.
Setelah sepuluh menit berjalan tanpa arah, Naisa akhirnya mendapati sosok Alva. la duduk merokok dan menyandarkan kepalanya lelah di atas tangga yang kemarin diduduki mereka dengan sebuah gitar tua berwarna kecokelatan di sampingnya.
Naisa tersenyum riang lalu segera menghampirinya.
"Alva," panggil Naisa ceria.
Alva menoleh sekilas. Raut wajah nya berubah jutek.
Naisa mendekat dan kali ini keberuntungan berpihak padanya.
Alva tidak tertutup apapun juga, Naisa dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Naisa terdiam kagum melihat wajah Alva yang sangat jelas itu.
Rambutnya acak-acakan seperti tidak pernah disisir dan jatuh di dahinya dengan sempurna, jembatan hidungnya tinggi dan panjang. Bibir bawahnya terbelah, matanya kuning keemasan, bulu matanya sedikit lentik tapi tidak terlihat karena matanya selalu tajam, alisnya yang tebal tampak meruncing mantap ke samping, jakunnya timbul sempurna di leher dengan dagunya yang panjang terbelah.
Gila! Cakep banget ni orang?? Apa dia beneran manusia?? Apa mungkin benar, bahwa dia Dewa?? Aarrgghh, Naisa bisa gila lama lama!!
"Lagi ngapain lo? Sendiri muluk, gak bosen apa?"
"Gue temenin ya!" celetuk Naisa yang sudah duduk di sampingnya.
Alva membuang rokok lalu meraih gitar dan mulai memetiknya santai.
Naisa memandangnya takjub.
Alva juga jago gitar!
"Al nyanyiin dong...Creep!" pinta Naisa bersemangat, berharap Alva akan mengabulkan permintaannya.
Tapi Alva tidak menggubris perkataan Naisa sedikitpun, ia masih fokus dengan permainan gitarnya yang lebih mengarah ke music rock.
"Al..dikit doang...reff nya aja.." rengek Naisa sekali lagi.
"CK, berisik!" ujar Alva sewot, berniat mengambil bungkusan rokoknya tapi secepat mungkin Naisa merebut rokok itu hingga Alva tak kesampaian.
"Gue gak mau kasih kalo lo belum nyanyin!" Naisa mengangkat rokok itu ke atas dengan tangannya.
Alva menghembuskan nafas malas lalu kembali fokus dengan gitarnya.
"Alva," rengek Naisa lagi dengan suara lebih keras.
"Diam!" Alva menoleh dan menatapnya marah, Naisa malah tersenyum manis.
"Makanya nyanyiin.gitarnya aja deh ga usah nyanyi Gue tau lo pelit suara," kata Naisa lagi.
Alva menatapnya sebentar lalu menghembuskan nafas malas, tidak menghiraukan rengekan gadis comel di sampingnya itu.
"Ayo dongg lo kan temen gue yang paling cakep,gada lagi temen gue yg secakep lo."
Alva mendengus malas mendengar Naisa yang mengakunya sebagai teman.
Padahal Alva benar-benar butuh teman saat ini, dari dulu Alva sangat menginginkan seorang teman.
Tapi kehidupan Alva yang keras memaksanya untuk menghindari semua itu.
"Al?" panggil Naisa membuyarkan lamunan Alva.
Alva tersadar namun tidak menyahut, ia masih sibuk dengan gitar tuanya.
"Al,"
"Alva!!"
"Apa?" sahut Alva dingin.
"Gue laper nih,"
"Trus?" katanya sinis.
"Ajak gue makan kek apa gitu" kata Naisa sambil megang perutnya yang keroncongan.
Alva terpaksa menoleh ke samping ke wajah Naisa. Cewek ini sebenar nya manusia atau benda hidup sih??
Entah apa yg buat dia ngomong sesantai jidat gitu aja,tanpa dipikir.
Alva kembali mengalihkan fokus ke gitarnya, Naisa terlihat cemberut.
"Ayooo!" tiba-tiba Naisa mengalungkan tangannya
di lengan Alva, lalu menariknya.
Alva tampak kaget.
Ini cewek atau baja sih?
"Nggak!" Alva menepis tangan Naisa dari lengannya. Lalu melangkah pergi.
"Alva mau kemanaa?? Kita makan ajaa!" Naisa ikutan berlari mengejarnya.
"Alvar!"
"Al va alva!!"
"Bisa diam gak!" kuping Alva terasa akan pecah mendengar cewek ini terus mengoceh di dekatnya. Kepalanya pusing.
"Gak bisa Al.. Gue kayaknya bakal diam kalo lo mau temenin gue cari makan,"
"Terserah," Alva melanjutkan langkah dengan sangat cepat.
Entah kemana dia akan pergi, yang penting dijauhi dari cewek berisik ini.
"Terserah?? Barti mau? Yesss mauu! Alva mau??? Beneran??"
"Yesss alvaro mauuu!!"
"Nggak!" seru Alva tajam.
"Ihh Alva jahat banget sih, bentar doanggg..ayo dong all.. alva!"
"Gue belum makan dari kemarin tau,"
"Gue sengaja gak makan buat nungguin lo, nungguin makan sama lo. Sweet banget kan gue?? lya gak Al?? Iyakan?"
Sumpah demi apa pun Alva bakal menendang tubuh Naisa kalau aja dia cowok.
"Lo bisa pergi gak?"
"Gak bisa al, gue tu bawaannya pengen di dekat lo terus,gimana dong??" Naisa mengedipkan mata.
Ya Tuhan,mungkin ini cobaan terburuk yg pernah kau janjikan pada Alva.
"Alvao calon..." langkah Naisa terhenti karna Alva tiba-tiba berhenti dengan wajah yang benar-benar dingin menatap matanya.
"Al?? Kenapa lo??"
"Lo bisa diam gak?"
"Nggak bisa," Naisa menggeleng polos.
"Lo sadar gak lo itu mengganggu! Kepala gue sakit dengar bacotan lo dari tadi!" bentak Alva benar benar marah, membuat Naisa menganga kaget.
Naisa terdiam, Alva sekejam ini.
"Kok..lo bentak gue sih al." ujar Naisa bersungut sungut sambil menunduk.
"Gue kan cuma ngajak makan," Lirih Naisa lagi.
"Kalau gue mati kelaparan gimana!?" Adu Naisa.
"Masa lo tega liat gue terkapar gitu aja," kata Naisa lemah sambil tambah menunduk.
Alva menghela nafas.
Hening.
Alva bukannya pergi tapi masih berdiri di situ dalam diam.
"Al?" Naisa memberanikan diri menatapnya sambil mendongak.
"Alva kok diam?"
"All!!"
"Apa?" jawabnya jutek tanpa menatapnya.
"Mau ya??" kata Alva berhati-hati.
"Temenin gue makan ya?? Ya????" Pinta Naisa.
"Hm," ujar Alva datar dan terpaksa mungkin karna udah capek dengar ocehan cewek gila ini dari tadi.
"Hah??? Beneran??? Ini gak mimpi kan???? Omgeg!!" seru Naisa heboh lagi.
"Gak usah berisik!" ujar Alva jutek.
"lya iyaaa gue janji gak bakal berisik asalkan lo lau ma.."
"Diam!" Alva melangkah duluan.
Sementara Naisa mengekorinya di belakang, sambil bersorak gembira.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di warung favorit Naisa.
"Ini adalah warung Kerak telor kesukaan gue Al!"
"Lo mau pesen apa, pesen aja biar gue yang bayar!" ujar Naisa mencari posisi duduk yang nyaman.
"Gue punya duit," kata Alva ketus.
"Oke deh, jadi lo yang bayar nih?" kata Naisa sumringah.
"Bayar sendiri," sahut Alva tak berperasaan membuat Naisa berwajah masam sekarang.
Naisa sibuk memandangi Alva yang mukanya bak dewa Yunani yang bernama Alva Darmawangsa. Naisa berpikir lagi, ohh pantas aja ini bocah kasar banget, kan namanya Alva. Dewa Alva di mitologi Yunani kan emang kasar.
Alva memasang wajah tanpa ekspresinya untuk menutupi segala ekspresi yang ada di wajahnya. Alva benar-benar ahli.
"Selamat makan.." ujar Naisa membuyarkan terawangan Alva sambil menyerahkan nasi dan es tehnya ke depan Alva, dan mulai makan dengan lahap.
Alva ikut makan dalam diam.
"Al, kenapa sih lo jutek banget??"
"Apa sih rahasianya biar irit ngomong?? Lo pake dukun ya?? Ato jimat??" omel Naisa menghisap tehnya sedap.
Alva masih fokus makan sampai selesai lalu menghisap tehnya tanpa menanggapi celotehan Naisa barusan.
"Tuhkan, gue dikacangin lagi," ujar Naisa sebal.
"Kacang harganya berapa sih al?? Lo suka makan kacang ya??
Hobi banget ngacangin orang.. herman gue."
Heran Naisa, dasar.
Naisa menghabiskan nasinya.
"Al,"
"Apa?" jawab Alva jutek.
"Kok lo ganteng banget sih? Lo bukan titisan Dewa kan Al??"
"Hm," jawab Alva lagi malas.
"Tau gak?"
"Gak."
"Ya iyalah orang belum di kasi tauu. HAHAHAHA!!!" Tawa garing Naisa berhenti perlahan melihat Alva yang sama sekali diam.
"Al,"
"Apa lagi?" jawab Alva malas dan lelah.
"Kalau gue ngeliat cowok ganteng kayak lo gini tuh bawaannya.." Naisa sengaja menggantung kalimatnya menunggu reaksi Alva.
Tapi percuma,dia tetap datar dan tenang.
"Bawaannya pengen memiliki!" lanjut Naisa riang tak peduli Alva yang masih cuek.
Alva yang sama sekali gak peduli dengan ocehan Naisa yang garing itu bangkit berdiri menuju meja Mamang Ujang.
"Semuanya.." ia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.
Lalu melangkah pergi meninggalkan Naisa yang shock di meja sana.
****
Setelah makan di warung Kerak Telornya Mamang, Alva dengan terpaksa mengikuti perjalanan Naisa yang tidak jelas.
Sudah sepuluh menit mereka berjalan bersama tapi Alva masih menutup rapat mulutnya membuat Naisa di sampingnya risih.
Kenapa cowok ini susah banget ngomong duluan?
"Al," panggil Naisa memecah kesunyian.
"Alvaa," panggil Naisa lagi.
"Apa?" jawab Alva dingin.
"Kita mau kemana?"
"Gak tau,"
"Barti sekarang lo ngikut gue aja nih??"
"Lo beneran ngikutin perjalanan gue al?? Ya ampunnn sweet banget sihhh!"
"Jangan jadi sempurna banget dong di mata gue.."
"Ntar gue jadi makin suka!!"
"Jangan mimpi lo!" ujar Alva yang memutar haluan langkahnya ke kanan jalan, karena mereka sedang berada di persimpangan jalan.
"Al lo mau kemanaa???"
"Gue ikut ya!"
"Nggak!" bentak Alva marah, yang malah bikin Naisa dengan semangat mengejarnya.
"Al tau gak? Gue gak pernah loh keluar malam gini, apalagi sama cowok ganteng,"
"Biasanya gue disuruh belajar, les, makan,tidur, nonton drakor,"
"Oh iya drakor kesukaan gue sekarang tu yg lagi tayang itu loh, apa sih judulnya."
"Oh iyaaa, Crash Landing On You!!!"
"Gue suka banget sama oppa Hyun Bin,"
"Walaupun dia cocoknya jadi papa gue, abis masih Kayak brondong."
"Eh gak kok, Alva tetep ganteng nya ngalahin oppa- oppa gue!!"
"Al,"
"Alva dengerin gue gak sih?"
"Nggak."
"Yaudah gue lanjut cerita lagi ya.."
"Bisa diam gak?? Kepala gue sakit!"
"Lo sakit??? Yaudah kita ke rumah sakit aja!" seru Naisa polos.
Alva menatapnya dengan geram, bingung maudiapain ni cewek. Telmi, banyak omong, berisik lagi.
"Kenapa? Gak sakit lagi?"
"Kok bisa sakit?"
"Muak dengar omongan lo!" Ketus Alva.
Naisa terdiam mendengar nada bicara Alva yang meninggi, ia kembali menundukkan kepala
dengan lemah.
"Gue...berisik ya??"
"lya!" jawab Alva judes.
"Yaudah deh gue pulang aja kalo gitu,biar lo gak sakit lagi."
"Ntar kalo lo sakit,siapa dong yang jadi dewa Yunani gue??"
"Gak ada kan?"
"Makanya gue harus pulang
"Tapi... Alva anterin pulang ya??" kata Naisa lagi mendongak ke wajah Alva.
"Nggak!"
"Kok gitu sih al, gue takut pulang sendiri,"
"Nggak!"
"Gak ada taksi di sekitar sini Al,"
"All ayo dongg!"
"Gue bilang nggak!"
"Trus ngapain lo masih disini??"
"Mau nganterin gue kan??"
"Jangan ngarap lo!" Alva melanjutkan langkah, meninggalkan Naisa yg terdiam.
"Bye Al, besok ketemu lagi," ucap Naisa mengecil dengan senyum terpaksa.
Naisa melangkah letoy ke depan, dengan tatapann kosong. Padahal gak tau mau kemana. Keliatan banget dia lelah.
Alva yang tadinya lanjutin langkah terhenti,melihat gadis itu pergi.
Di daerah ini memang susah ada taksi yang lewat,dan pastinya rawan bahaya.
Dengan sangat malas Alva terpaksa membalikkan tubuh.
"Itu jalan buntu!" seru Alva jutek.
Naisa menoleh dengan girang, lalu dengan senang berlari ke arah Alva.
"Alva mau nganterin gue pulang???"
Alva tidak menyahutinya.
"Beneran al??? Gak bohong kan?? Jujur? Anterin gue???"
"Al!"
"lyaa! Puas?" sindir Alva dingin.
"lya puas!! Jadi nih??"
"Hm,"
"Yeayyyy!!"
Alva udah duluan jalan meninggal kan Naisa yang masih bergembira.
Gadis itu mengejarnya,mencoba menyamai langkah Alva yang cepat dan besar-besar.
Sudah lima belas menit mereka berjalan, dan dari tadi Naisa mengoceh terus dengan kecepatan ngomongnya yang berhasil ngalahin Eminem.Alva terpaksa menahan penderitaannya mendengar omongan Naisa yang sama sekali gak jelas itu.Naisa mencari-cari taksi di daerah sini, tapi masih belum muncul. Yaiyalah, disini kan daerah perumahan kecil, banyak pedagang kaki lima, jarang ada taksi yg lewat dan berkeluyuran, apalagi malam."Al,""Gue capek nih,""Al.. Gue capek." rengek Naisa."Trus?" sahut Alva malas."Gendong dong..""Jangan gila lo!" tukas Alva jutek."Ihh kejam banget sih, istirahat aja dulu ya, gue capek,""Terserah." Jawab Alva ketus.Naisa duluan duduk di pinggiran jalan yang kebetulan ada tempat duduk kayu,pas buat dua orang. Sementara Alva hanya berdiri sambil terus diam."Al duduk sini!" Naisa menepuk sisa tempat duduk di sampingnya."Nggak!" kata Alva jutek masih fokus kedepan.
Bel tanda pang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun Alva dan teman-temannya belum juga meninggalkan sekolah. Mereka justru memilih untuk tetap tinggal di dalam kelas. Entah kenapa hari ini mereka melakukan hal itu. Padahal biasanya mereka selalu mendahului pulang.Alva menghela napas, kemudian menyenderkan tubuhnya ke dinding di belakang kelas seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abunya. Laki-laki itu memakai earphone berwarna hitam. Sepertinya warna hitam adalah warna kesukaan Alva. Karena itulah barang-barang yang dia punya hampir semuanya berwarna hitam.Alva memejamkan matanya, menikmati lagu Let it be milik The Beatles. Lagu itu adalah salah satu lagu favoritnya. Alva tidak tahu bagaimana pandangan orang lain tentang lagu itu. Hanya saja bagi Alva lagu itu sangatlah menenangkan. Setiap kali dia mendengarkan lagu dia merasa bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dia merasa bahwa dia akan menemukan jalan keluar untuk setiap masalahnya. Ya, wa
Alva memasuki area kampus tanpa niat sedikitpun. Yap, Alva sekolah SMA tapi juga Kuliah, karena dia diharuskan menjadi CEO di perusahaan papanya.Kini Alva harus menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang membosankan.Segala dosen, diktat, dan Shakespeare seakan berlomba membuatnya mabuk dan ingin muntah, Alva tak pernah suka kuliah,ia melakukannya karena terpaksa.Alvaro melangkah menuju kelasnya."Look...who 's coming?our super hero with his bad style. A worn out 7-shirt, black pants,and of course with disorader hair. How dare you come here super hero?"Terdengar semua orang di kelas tertawa mendengar ocehan memuakkan dari dosen tua berjubah yang sekarang sedang berkacak pinggang menghadangnya sebelum Alva memasuki kelas.Pak tua ini merasa dirinya paling hebat di kampus, Alva tampak santai menggendong sebelah tasnya tanpa bicara."You're late Mr.Antares, lat of thirty minutes. You c
Alva meremas rambut ikalnya yang basah karena peluh hingga menetes ke bawah dagunya, bajunya sedikit basah, karena kebetulan baju yang dipakainya berbahan tipis jadi tubuhnya tampak transparan.Setelah kepulangan Bara dan Regal dari rumahnya, Alva hanya menghabiskan waktunya seharian untuk tidur.Alva sangat capek setengah hari ini, mengingat tadi di kampus sudah melakukan aktivitas rutinnya.Merokok, Berkelahi, Dan diusir dari kelas.Pukul 17.31 WIB.Alva mendudukkan diri di tepi ranjang, ekor matanya tidak sengaja menangkap foto keluarga yang ada di atas lemari pakaiannya.Alva merasakan nafaasnya yang ketika itu juga menderu sangat cepat,tangannya mengepal keras seakan sedang meremukkan ribuan kerikil di sana.Alva berdiri dengan tatapan ganas lalu meraih foto itu dan memandangnya lama. Alva membenci pria yang tersenyum dengan wajah tak bersalah.Alva membenci perempuan berkebaya merah yang juga tersenyum sok tulus di sana.
"Lo yakin nih, gak mau gue anterin? Rugi loh." Kila mengedipkan mata sipitnya sambil terus menarik ingus di hidungnya.Belakangan ini memang sedang viral yang namanya penyakit pilek, tapi menurut Naisa, Kila tidak sedang pilek. Kila ingusan."Gak. Gue ada urusan, biasalah orang penting,"Naisa menggesek hidungnya dengan telunjuk.Belakangan ini Naisa juga mengidap penyakit aneh dan gaje suka menggaruk hidung."Sebahagia lo aja deh,gak kepo gue dengan urusan gak penting lo," kata Kila lagi."Ya udah diem aja," Naisa mengisap es sanghai cincai jablainya sampai habis, sampai sedotannya juga bisa kehisap kalau aja bisa, lalu bersendawa selama mungkin."Bayarin ya raa..." dan Kila mulai memasang muka sok imutnya yang menurut Naisa malah keliatan mirip muka pocong kelaparan. Kila memutar bola mata malas."Gue muluk. Sekali-sekali kek elu," Naisa menoyor kepala Kila yang bersandar di pundaknya."Dasar pelit!" ujar Kila malas, h
"Maksud dia itu..." kata Bara melirik Alva yang kini sudah melangkah keluar meninggal kan pembicaraan Bara dengan Naisa yang sama sekali tidaak penting."Ntar lo kena asap rokok kalo lo disini terus," lanjut Bara.Naisa ngerti? Boro-boro."Bodo ah!" kata Naisa yang makin gak ngerti dengan perkataan Bara barusan.Dasar bodoh, Naisa.Naisa melangkan keluar menyusul Alva dengan senyum sok imutnya yang menjijikan--menurut sahabatnya sih.Alva duduk di kaki tangga sedang menikmati rokoknya, kakinya ditekuk sebelah, tanganKanannya yang memegang rokok menumpu disana, sebelah tangannya menahan sandarannya di samping.Naisa langsung duduk di sampingnya dengan santai tanpa peduli asap rokok."Al," panggi Naisa selembut mungkin."Gue temenin ya??""Nggak perlu,""Tapi gue pengen temanin loo, gimana dongg???"Naisa menduduki diri dengan posisi nyaman.
"Ooh...di Jl.Imam Bonjol. No 5.Blok M. Kenapa? Lo mau---""Nggak!" potong Alva singkat.Alva merasa pernah mendengar alamat itu. tapi kapan?Naisa sampai di daerah kawasan perumahan elitnya, rumahnya masih agak jauh, tapi Alva bilang dia cuma mau antar sampai sini.Setelah 7 menit berjalan Naisa sampai di depan rumahnya. Ada mobil ayah di sana.Astaga! Gawat!Naisa segera berlari masuk. Mereka sudah berkumpul di ruang tamu,ayah yang masihberjas, bunda yang berbaju biasa dengan sanggulan rambut yang cetar dan Ray adiknya sanggulan rambut yang cetar,dan Ray adiknya Raisa yang Sibuk main game di samping ayah."Ck, geser dikit sana!" Naisa berusaha duduk di tengah-tengah Ray dan ayah.Ray memukul pundak Naisa kesal,dibalas toyoran keras dari Naisa di keningnya."Kata Ray, dia liat kamu waktu itu makan di warung kaki lima itu dengan cowok," kata ayah sebaga pembukaan.Naisa menoleh ke Ray yang udah duluan kabur
"Woi woi! Barusan ada tawuran antar sekolah!" seru seorang teman sekelas Raisa dengan muka super heboh, membuat semua orang di kelas mengerumuninya termasuk Kila."Sekolah mana sih?Banyak yang luka gak? Ketangkap polisi?Ada yang lempar batu sembunyi tangan?" sambar Kila berantusias dengan keras sampai yang lain pada menutup telinga."Ngomong gak pake kuah juga kali," celetuk yang lain sambil membersihkan muka."Untungnya kagak,mereka kabur semua, katanya sih penyebabnya gara-gara masalah pribadi," lanjutnya dengan kening berkerut seperti Detekti Kampret."Tau amat lo,emang lo liat sendiri?" tanya yang lain gak yakin."Kagak sih," katanya nyengir.Kila berancang-ancang menoyor kepalanya."Huuu." Seru mereka sebal lalu bubaran dari kerumunan itu.Kia kembali ke mejanya dengan Naisa,cewek itu lagi baca buku Komik."Udah puas kepoin anak kuliahan?" katanaisa sewot."Gue gak kepo ya,cuma mau tau doang," kalih K