"Lo yakin nih, gak mau gue anterin? Rugi loh." Kila mengedipkan mata sipitnya sambil terus menarik ingus di hidungnya.
Belakangan ini memang sedang viral yang namanya penyakit pilek, tapi menurut Naisa, Kila tidak sedang pilek. Kila ingusan.
"Gak. Gue ada urusan, biasalah orang penting,"
Naisa menggesek hidungnya dengan telunjuk.
Belakangan ini Naisa juga mengidap penyakit aneh dan gaje suka menggaruk hidung.
"Sebahagia lo aja deh,gak kepo gue dengan urusan gak penting lo," kata Kila lagi.
"Ya udah diem aja," Naisa mengisap es sanghai cincai jablainya sampai habis, sampai sedotannya juga bisa kehisap kalau aja bisa, lalu bersendawa selama mungkin.
"Bayarin ya raa..." dan Kila mulai memasang muka sok imutnya yang menurut Naisa malah keliatan mirip muka pocong kelaparan. Kila memutar bola mata malas.
"Gue muluk. Sekali-sekali kek elu," Naisa menoyor kepala Kila yang bersandar di pundaknya.
"Dasar pelit!" ujar Kila malas, hilang deh muka sok imutnya.
"Heh, kalo gue pelit,selama ini lu makan bayarnya gimana? Ngutang? Ya kali sama Mang Ujang aja ngutang? parah lu, udah jelek bokek pula,"
"Ssstt. jangan keras-keras ih, ketauan nanti gue banyak utang,"
"Biarin, woi Kila banyak utang woi!"
"Katanya kalo utangnya kagak kebayar dia bakal kawin sama Mang Ujang, sourvenirnya bakso sebiji!" Seru Naisa nyaring sambil tertawa keras.
Kila kini harus mati-matian menabok kepala Naisa agar diam.
Kebetulan sekarang mereka lagi makan di warungnya Mang Ujang lagi, Mamang berkumis aduhai itu tampak malu-malu.
Setelah ngerumpi dan bergosip tentang banyak hal dengan Mang Ujang yang tiba-tiba terlihat sok ganteng itu, Kila akhirnya meninggalkan Naisa dengan sedikit paksaan oleh Naisa.
Biasanya Naisa selalu dijemput, tapi lupakan itu saat ini.
Naisa punya tujuan untuk bolos. Tujuannya adalah menyelamatkan dunia dari serangan Dragon Ball.
Oke, mari abaikan kegajean Naisa yang garing.
Cewek yang sebenarnya cantik itu berjalan santai meninggalkan area warung Mamang kumisan, untung baru jam 4 sore, jadi matahari agak menyamping dan tidak terlalu hot.
Naisaterhenti saat melihat sosok cowok tinggi yang melangkah tenang tepat di depannya. Mata Naisa berbinar.
Alva? Itu Alva! Terlihat dari gaya jalannya yang lebih persis mirip zombie kelaparan.
Astaga, ternyata benar jodoh gak kemana!
"Al." Panggil Naisa sumingah dengan senyum jahilnya yang menawan.
Naisa menghampirinya dengan kedua tangan di belakang.
"Jodoh ya emang,"
"Ngapain lo disini? Ngawasin gue dari jauh?"
"Ato lagi ngukur jalan sambil nangkap nyamuk?"cerocos Alva sembarang hanya diam tanpa ekspresi, menatapnya malas.
Dari mana lagi munculnya makhluk menyebalkan macam ini. Apakah dunia emang udah sesempit ini?
"Garing ya? Oke lupakan,"
"Lo mau kemana?" tanya Naisa lagi menyadari kebodohannua.
Alva tidak bersuara.
"Al gue lagi ngomong sama lo nih," ucap Naisa.
"Allll!"
"Apa?"
"Mau kemana??"
"Lo gak peru tau," kata Alva dingin, lalu melanjutkan langkah,dan memasang topi
jaketnya.
"Gue tau lo bakal ngomong apa," kata Naisa yang masih berjalan di samping Alva, mengekorinya.
"Ngapain lo?" Alva menatapnya tak suka. Naisa
tersenyum polos.
"Ngikutin alva lah!" kata Naisa sekenanya.
"Kemana pun lo pergi harus ada gue!"
"Itu aturan baru tau!" Sangkal Naisa.
Alva berdecak malas. Cewek macam apa yang gak punya urat malu sama sekali?
"Bisa gak, lo gak usah ganggu urusan orang?" kata Alva kesal karena Naisa masih ada di sini, disampingnya, mengekorinya.
"Bisa gak, Alva gak usah larang-larang gue?"
"'Suka-suka gue dong,.yang capek kan gue, bukan kami," balas Naisa sedikit dongkol.
"Lagian gue cuma jadi pengikut setia Alva doang kok, gak semua orang,"
Alva menatapnya geram,ni cewek ngotot banget sumpah.
"Terserah!" kata Alva ketus lalu melanjutkan langkah.
Naisa tersenyum riang di sampingnya dan terus melangkah.
Setelah dua puluh menit berjalan, mereka pun sampai di tempat tinggal alva.
Alva membuka pintu usangnya tanpa memedulikan mulut Naisa yang sudah ternganga selebar jengkol saat itu, tapi Naisa langsung ikutan masuk kedalam rumah Alva.
*****
"Gimana Bar?" tanya Alva berdiri di depan kursi panjang yang di baringi Bara di ruang tamu.
Regal yang duduk di sampingnya ternganga hampir selebar daun salam.
Bukan karena Alva, tapi karena seorang cewek cantik yang mukanya mirip bidadari hidup menurut Regal, yang berdiri dengan senyuman polos di samping alva.
"Lu serius al?" kata Regal tak percaya sambil mengijap-ngijapkan matanya ala boneka berbi.
Alva masih diam lalu menoleh menatap Naisa di sampingnya.
Alva menatap Naisa lama dengan wajah datarnya yang superr jutek.
Sebenarnya Naisa akan menendang muka datar itu kalau aja jelek, sayangnya Alva benar-benar ganteng.
Naisa tersadar, merasakan tatapan datar Alva dan tanda tanya yang besar tergambar di kening Bara dan Regal padanya.
Kila berdehem sok kalem dan Naisa.
"Hai gue Naisa, temen barunya Alva, kemarin kenal di jalan!" sapa Naisa ramah dan pede dengan Senyum yang menawan.
Baru kali ini senyum itu terlihat anggun, biasanya lebih persis cengiran kuda.
"Gue Bara, itu Regal." kata Bara menunjuk Regal dengan dagunya yang tajam, Regal memberi lambaian tangan.
Tunggu-tunggu..ini beneran kunyuk-kunyuk nya Alva? Beda banget coba? Batin Naisa berteriak lebay melihat keramahan Bara dan Regal, sangat beda dengan Alva yang jutek abis.
"Ooh." Naisa ber'oh panjang lalu mendudukkan diri di kursi depan Bara dan menatap Regal heran, mukanya yang cukup ganteng ketutup lebam-lebam biru.
"Itu muka kenapa Gal? Kok kayak karung samsak gitu?" tanya Naisa kepo.
Regal meraba wajahnya.
"Kejedot tembok depan rumah," sahut Regal asal, Naisa dan Bara tertawa barengan.
Ternyata pelawak juga.
"Garing lo, ya kali tembok bisa ngejotos kaki tangan lo."
"Gue tebak, pasti abis berantem kan? Ngaku lo betiga!" kata Naisa menunjuk-nunjuk muka ketiga cowok di depannya ini
"Berisik!" Alva melangkah ke dalam kamar mengambil gitarnya kesana, meninggalkan Naisa yang berwajah masam campur asin, Bara dan Regal tampak biasa aja.
"Eh bry, itu si alva emang udah asalnya begitu ya? Cuek banget sama orang? Ato sama gue aja?" tanya Naisa yang benar-benar penasaran dengan sikap Alva yang sedingin batu es itu.
"Udah dari sononya ra ,biasa emang. Lu di judesin ya? Sabarin aja ya,kita juga kadang di
kacangin," kata Bara menepuk pundak Naisa hangat dengan pasrah.
"Ya itu kan kadang-kadang doang, lah sama gue setiap saat tuh? Padahal niat gue baik kok." kata Naisa cemberut.
"Padahal gue udah suka."
Bara dan Regal saling berpandangan.
"Dia suka sama lo juga kali," ujar Bara sembarangan, membuat Alva ingin menyocolkan telunjuknya di luka-luka Bara.
"Dasar tu anak, ngomongnya asal-asalan. Jangan ngaco lo," sahut Alva yang langsung keluar dari kamarnya dengan gitar tua di tangan.
Alva ikutan gabung dengan ketiga orang di ruang tamu. Naisa tampak tersinggung dengan ucapan Alva barusan, tapi bodo amatlah. Naisa tidak begitu peduli, Alva kan memang kasar.
"Lo gak butuh cewek?" celetuk Bara.
"Lo kan gak pernah pacaran al! Jangan sampai kabar gay lo itu keluar al!'" seru Regal membuat Naisa menganga lebar.
"Gila lo!" sahut alva judes.
"Lo gak butuh cewek al??" tanya Bara lagi, Regal dan Naisa ikut menanti.
"Nggak,"
"Astagfirullah alvaroo.. Tobat al tobat," Regal mengusap-usap dadanya prihatin.
"Barti lo gak butuh istri? Gila lo?" celetuk Bara yang tertawa kecil melihat reaksi Naisa barusan.
"Kalau gak penting, kenapa harus?" Alva memetik gitarnya santai tanpa peduli tatapan ketiga orang ini yang seakan berkata 'lo udah gila?'
Alva merasakan tatapan 'gila' mereka bertiga padanya.
Alva menoleh kebingungan menyaksikan tatapan aneh itu.
"Kenapa?" ujar Alva cuek tak mengerti dan tak peduli.
Hhh..membuat Naisa benar-benar akan mengambil balok 4 x 4 dan memangkong kepala Alva supaya telminya yang bodoh itu hilang.
"Udah deh lupain. Ngomong sama lu betiga tu buat gue makin bodob tau gak?" Naisa membetulkan ikatan rambutnya dengan santai, Bara dan Regal menatap kagum kecantikan Naisa saat itu.
Seolah bertanya, darimana kah Alva dapat malaikat cantik begini??
Berbeda dengan Alva yang malah membuang muka ke arah jendela sambil terus memetik gitarnya. Tampak tidak tertarik.
"'Gue gak pernah minta lo kesini," sahut alva dingin tanpa memandang Naisa.
Naisa menoleh, omongan Alva memang singkat, padat dan sederhana tapi maknanya bisa memunculkan seribu tusukan... sate.
"Emang. Kan gue yang ngotot pengen kesini," tapi bukan Naisa namanya kalau langsung menyerah di setiap keadaan.
Naisa bodo amatlah dengan ucapan kasar Alva. Alva cuma diam.
"Btw, ini emang rumah lo ya al?" Naisa bangkit dari tempat duduknya sambil memandang segala barang yang bisa di jangkau oleh matanya.
Alva tidak menyahut,sibuk dengan gitarnya. Naisa hanya merangut-rangut karena Alva tidak meresponnya, Bara pun ikut cekikikan.
"Gue seneng banget loh bisa kesini!"
"Apalagi ketemu Bara sama Regal!!"
"lya clar kite juga seneng hehe," Bara nyengir, diikuti anggukan dari Regal.
"Gue lebih seneng karna diajak Alva!"
"Uhuk!" Bara terbatuk heboh.
"Gue gak ngajak lo," sahut alva sinis.
"Eh iya lupa, kan gue yang ngotot,"
"Kan gue pendamping dewa Yunani,"
"Jadi kalo dewa Alva kemana mana, pendampingnya harus selalu ikut,"
"Gue bukan dewa lo," Alva berdiri dari duduknya, meraih sebungkus rokok yang ada di samping Bara.
Alva berniat menyalakan rokok itu tapi detik berikutnya Alva menghentikan niatnya lalu menoleh ke Naisa.
"Ngapain lo masih disini?" Tanya Alva dingin kepada Naisa yang lagi mondar-mandir bingung mau ngapain, bingung cari topik.
"Gue belum mau pulang,lagian belum sore sore amat," sahut Naisa berjalan menuju jendela yang sering di tempat Alva biasanya, merasakan hembusan angin segar dari luar jendela. Sejuk hawanya.
"Seger banget disini!"
"Guepun jadi pengen cari rumah disini! Biar bisa ketemu Alva terus!"
Bara dan Regal memandangnya pasrah.
"Pergi sekarang," usir Alva tak senang, membuat Bara yang terbatuk-batuk karena tiba-tiba asap rokoknya salah jalur masuk lubang telinga.
Regal yang tanpa sepengetahuan mereka sudah tidur pun tampak sedikit bergoyang. Apalagi Naisa yang sedang menikmati angin sejuk di jendela. Dia menatap Alva yang tatapannya lebih horror dari tatapan Valak.
"Bentar doang sih? Gue gak bakal ganggu kok, janji." Naisa mengangkat dua jarinya
membentuk huruf v sambil mengijap-ngijapkan matanya polos ala berbie.
"Gue bakal diem seribu bahasa,"
"Gue bakal tutup mulut rapat buat Alva."
"Gue bakal.."
"Lo ganggu!" ujar Alva lagi tak peduli muka imutnya Naisa.
"Ganggu apanya."
"Pulang sekarang," potong Alva lagi.
"Gak mau,orang dari tadi gue diem aja kok," sahut Naisa tak mau kalah. Cewek selalu berjuang.
Emang gue ganggu apa sih?? Tanya Naisa dalam hati.
"Gue kan gak minta makan kayak anak kecil al."
"Kasi tau dulu gue ganggu kalian ngapain?" kata Naisa bersikeras.
"Lo gak ganggu kok Raa.. Tenang aja," sahut Bara.
"Ini..." Naisa mengangkat sebatang rokok yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Itu..." kata Naisa lagi menunjuk asap rokok Bara yang beterbangan memenuhi ruangan, hampir mirip kabut yang dari tadi di hindarkan Naisa dari hidungnya.
"Trus?" tanya Bara.
Bengong. Ya Bara hanya bengong. Jangan tanya Bara yang bingungnya lebih parah dari Naisa.
Bisa disimpulkan bahwa saat ini kedua orang diajak Alva ngomong tampak sangat bodoh, sekarang Naisa benar-benar memasang tampang gobloknya yang memalukan.
"Di sini sempit. Lo ganggu asap rokok gue keluar," ujar Alva membuat tanda tanya besar terpampang jelas di otak Naisa yang pas-pasan.
Bara? jangan tanya, Bara sih udah paham sekarang, dia hanya mengulum senyum menyaksikan seorang putri goblok yang sedang diajarin oleh pangeran dinginnya.
"Elah al, tinggal bilang aja apa susahnya sih? Kan gue bisa geser dari tadi," kata Naisa yang sok-sok an paham dengan omongan Alva, lalu bergeser dari jendela yang dari tadi di tutupinya.
Detik berikutnya Naisa sadar yang tadi itu gak nyambung sama Alva yang makin
horror. Berasa nonton film hantu.
Alva yang tampak sudah menyerah dengan ke-pas- pasanan otak Naisa meremas rambutnya geram, sebenarnya tadi Alva mau melempar Naisa lewat jendela, tapi tubuhnya terlalu imut untuk disiksa tak layak begituan.
Bara melangkah ke jendela tadi, membuang rokoknya sambil tersenyum jahil kepada Alva yang lebih dulu menatapnya tajam, Naisa melihat senyuman jahil Bara dengan bingung.
"Maksud dia itu..." kata Bara melirik Alva yang kini sudah melangkah keluar meninggal kan
pembicaraan Bara dengan Naisa yang sama sekali tidaak penting.
"Maksud dia itu..." kata Bara melirik Alva yang kini sudah melangkah keluar meninggal kan pembicaraan Bara dengan Naisa yang sama sekali tidaak penting."Ntar lo kena asap rokok kalo lo disini terus," lanjut Bara.Naisa ngerti? Boro-boro."Bodo ah!" kata Naisa yang makin gak ngerti dengan perkataan Bara barusan.Dasar bodoh, Naisa.Naisa melangkan keluar menyusul Alva dengan senyum sok imutnya yang menjijikan--menurut sahabatnya sih.Alva duduk di kaki tangga sedang menikmati rokoknya, kakinya ditekuk sebelah, tanganKanannya yang memegang rokok menumpu disana, sebelah tangannya menahan sandarannya di samping.Naisa langsung duduk di sampingnya dengan santai tanpa peduli asap rokok."Al," panggi Naisa selembut mungkin."Gue temenin ya??""Nggak perlu,""Tapi gue pengen temanin loo, gimana dongg???"Naisa menduduki diri dengan posisi nyaman.
"Ooh...di Jl.Imam Bonjol. No 5.Blok M. Kenapa? Lo mau---""Nggak!" potong Alva singkat.Alva merasa pernah mendengar alamat itu. tapi kapan?Naisa sampai di daerah kawasan perumahan elitnya, rumahnya masih agak jauh, tapi Alva bilang dia cuma mau antar sampai sini.Setelah 7 menit berjalan Naisa sampai di depan rumahnya. Ada mobil ayah di sana.Astaga! Gawat!Naisa segera berlari masuk. Mereka sudah berkumpul di ruang tamu,ayah yang masihberjas, bunda yang berbaju biasa dengan sanggulan rambut yang cetar dan Ray adiknya sanggulan rambut yang cetar,dan Ray adiknya Raisa yang Sibuk main game di samping ayah."Ck, geser dikit sana!" Naisa berusaha duduk di tengah-tengah Ray dan ayah.Ray memukul pundak Naisa kesal,dibalas toyoran keras dari Naisa di keningnya."Kata Ray, dia liat kamu waktu itu makan di warung kaki lima itu dengan cowok," kata ayah sebaga pembukaan.Naisa menoleh ke Ray yang udah duluan kabur
"Woi woi! Barusan ada tawuran antar sekolah!" seru seorang teman sekelas Raisa dengan muka super heboh, membuat semua orang di kelas mengerumuninya termasuk Kila."Sekolah mana sih?Banyak yang luka gak? Ketangkap polisi?Ada yang lempar batu sembunyi tangan?" sambar Kila berantusias dengan keras sampai yang lain pada menutup telinga."Ngomong gak pake kuah juga kali," celetuk yang lain sambil membersihkan muka."Untungnya kagak,mereka kabur semua, katanya sih penyebabnya gara-gara masalah pribadi," lanjutnya dengan kening berkerut seperti Detekti Kampret."Tau amat lo,emang lo liat sendiri?" tanya yang lain gak yakin."Kagak sih," katanya nyengir.Kila berancang-ancang menoyor kepalanya."Huuu." Seru mereka sebal lalu bubaran dari kerumunan itu.Kia kembali ke mejanya dengan Naisa,cewek itu lagi baca buku Komik."Udah puas kepoin anak kuliahan?" katanaisa sewot."Gue gak kepo ya,cuma mau tau doang," kalih K
Bara yang dari tadi sudah menghabiskan beberapa batang rokok tampak heran melihat Alva yang cuma sibuk dengan gitar milik Bara.Tanpa berniat merokok.Bara yang sudah hanyut dalam game di hpnya pun terlihat heran. Mereka saling berpandangan.Dua pertanyaan yang sama: Alva gak merokok?Emang sedikit janggal kalau lihat Alva gak megang rokok sama sekali seperti ini,biasanya Bara baru dua batang Alva udah empat.Bara yang masih penasaran itu mendekatinya duduk di atas kursi sambil membuang puntung rokoknya yang udah habis."Kalo lagi bokek bilang aja Mas," Bara menaruh sebungkus rokoknya tadi ke atas pangkuan Alva sembarang hingga bungkusan itu jatuh ke lantai."Gue bisa beli sendiri kalau gue mau," ujar Alva memungut kembali bungkusan itu dari lantai, meletakkannya ke atas meja dan kembali sibuk dengan gitar baru milik Bara."Lo emang gak niat ato apa Al?" timpal Bara dari pojok, masih sibuk dengan hp nya."Gak usah banyak
"Alva?"sapa Bu Sinta.Guru killer yang saat ini tengah mengajar di depan kelas sebelum Alva membuka lebar pintu kelasnya.Hari ini wanita tua itu nampaknya tidak terlalu bersahabat untuk mengajar, dengan bibir tebalnya yang penuh lipstik merah,dan kerutan di wajahnya yang berhasil tersamarkan oleh bedak apalah itu, percayalah mukanya tampak setebal papan.Di tambah lagi kesialan Alva yang malah bangun telat dan datang terlambat satu jam hari ini. Benar, satu jam.Sekarang sudah jam kedua untuk kelas Bu Sinta,dan itu musibah buruk baginya."Jagoan kita Alva. Sata baru tau ya al, kelas saya sekarang dimulai jam sepuluh,terima kasih banyak karena kamu sudah ingat dan datang tepat waktu," ujarnya dingin sambil merapikan anak rambutnya yang keluar-keluar tanpa berniat memuji keberanian Alva.Semua yang ada di kelas tampak herning, suara air liur ketelan juga mungkin bisa terdengar,tak ada yang berani ribut atau sekadar ngupil barang kali.
"Kata bunda, cowok gak boleh kasar sama cewek,""Kalo cowok kasar ke cewek, katanya cowok itu banci.""Hah?" sahut Alva tak mengerti."Ayo donggg, kan kita bolos bareng,""Nggak! Gue pengen--""Sendiri? Udah deh,gak ada waktu buat jomblo muluk, mending lu ikut gue!" dan sekarang Naisa berhasil menarik paksa Alva untuk berjalan dengannya.Alva memutar bola mata malas dan terpaksa jalan ikut Naisa yang membawanya entah kemana.Entah ada kekuatan apa sehingga Alva selalu saja berhasil di paksa oleh Naisa."Kita kemana dulu ya?" tanya Naisa ngomong sendiri, Alva cuma diam sambil melirik malascewek di sebelahnya ini yang jelas jelas bukan manusia.Naisa melihat jauh di depannya sana lagi ada pameran dan bazaar. Ramai."Sana yuk, liat pameran!" tanpa menunggu persetujuan Alva, Naisa langsung menarik lengannya yang dari tadi di pegangnya.Alva nurut aja dengan terpaksa. Mereka tiba di keramaian itu, ada ba
"Ni bajunya gue pake nih al?" ujar Naisa keras dari luar kearah pintu kamar Alva yang terbuka sedikit.Alva tak bersuara, Naisa mencibir sambil meneliti besarnya kemeja hitam itu. Besar banget ya, sampai ke atas lutut beberapa senti lengannya seakan mampu menyaingi panjang kedua tangan Naisa.Naisa menuju kamar mandi dan kembali dari sana setelah sepuluh menit. Naisa agak risih karena kemeja ini sedikit tipis, untungnya hitam. Naisa menaruh seragamnya ke atas tas."Al?" pangsgil Naisa dari ruang tamu yang lumayan gelap itu, hanya ada cahaya-cahaya kecil yang masuk dari pentilasi. Tapi gelapnya versi siang.Alva tak menyahut. Naisa menajamkan pendengarannya agar tau apa yang lagi Alva buat."Gue ke kamar lo ya?" Naisa memicingkan telinganya lebar-lebar dan mengintip isi kamar Alva."Nggak usah!" sahut Alva kemudian dengan suara super berat dan dengan tegas dia mengatakannya.Alva tidak peduli,bkata jangan membuat Naisa semakin ingin me
Pintu dengan kenop usang berkarat itu terbuka dengan keras hingga berbunyi keras mengenai dinding. Muncul seorang cowok tinggi sekitar 180 cm, berjaket hitam kulit dengan topi jaket yang menutupi kepalanya, kedua tangannya di dalam saku.Alva menghempaskan diri ke atas kasur,ia mendapati beberapa lembar uang dan pakaian di sana.Pasti Mang Ujang, pikirnya.Alva menduduki diri di samping kasur,menumpu kedua sikunya ke atas lutut, tangannya menutup sebagian wajahnya.Seharian ini begitu membuatnya lelah,ia harus melepaskan penat.Alv merogoh sesuatu di dalam sakunya, mengeluarkan sebuah bungkus rokok dan mengambil sebatang darinya, ia menyalakan korek lalu membakar ujung rokok tersebut, menghisap dengan kuat hingga dadanya sesak.Satu hal yang harus membuat Alva merokok. Alva harus menenangkan pikirannya dari segala emosi dan hal-hal buruk di kepalanya.