Pintu dengan kenop usang berkarat itu terbuka dengan keras hingga berbunyi keras mengenai dinding. Muncul seorang cowok tinggi sekitar 180 cm, berjaket hitam kulit dengan topi jaket yang menutupi kepalanya, kedua tangannya di dalam saku.
Alva menghempaskan diri ke atas kasur,ia mendapati beberapa lembar uang dan pakaian di sana.
Pasti Mang Ujang, pikirnya.
Alva menduduki diri di samping kasur,menumpu kedua sikunya ke atas lutut, tangannya menutup sebagian wajahnya.
Seharian ini begitu membuatnya lelah,ia harus melepaskan penat.
Alv merogoh sesuatu di dalam sakunya, mengeluarkan sebuah bungkus rokok dan mengambil sebatang darinya, ia menyalakan korek lalu membakar ujung rokok tersebut, menghisap dengan kuat hingga dadanya sesak.
Satu hal yang harus membuat Alva merokok. Alva harus menenangkan pikirannya dari segala emosi dan hal-hal buruk di kepalanya.
****
Gadis berambut sebahu itu menghentikan larinya dan menetralkan nafasnya yang ngos-ngosan setelah berlari cukup kencang menuju halte bus. Dia adalah Naisa.
Naisa menatap jam tangan putihnya. Pukul 19.16 malam.
Hari sudah malam, dan Naisa tidak menyadari bahwa hari sudah mulai gelap saat dirinya tidur di perpustakaan kota tadi.
Dan lebih sialnya lagi, Naisa lupa membawa hp. Mampus dah gue. Naisa merutuki diri.
Naisa memandang sekelilingnya, ada sebuah jalan berlorong disana!
Naisa memandangnya berbinar lalu dengan cepat melangkah kesana,dan kembali memandang halte bus yang tadi disinggahinya.
Tak ada tanda-tanda bus akan sampai kesana. Naisa melanjutkan langkah menyusuri lorong dengan sangat mantap, entah apa dia tau atau tidak kemana arah jalan itu.
Hanya tebak-tebakan saja, siapa tahu lorong itu tembus ke rumahnya.
Naisa menggenggam tali tasnya erat,jalan tikus ini sangat sempit, ukurannya hanya 1,5 meter, lampunya remang kekuningan dan sangat sepi.
Suara jangkrik dan beberapa binatang lainnya ikut memecah kesunyian di jalan itu.
Dan beberapa menit berikutnya Naisa di kenai kesialan yang parah lagi.
Muncul dua sosok cowok di depannya dengan tatapan yang tidak enak.
Mengetahui ada hal buruk yang akan terjadi, Naisa memutar arah jalannya ke simpang kanan dengan langkah cepat.
Benar saja, kedua sosok mengerikan itu rupanya sedang berjalan di belakang Naisa dengan langkah yang tak kalah cepat.
Karena sangat ketakutan, Naisa berlari sekencang dan secepat yang ia mampu sambil menangis sekuat tenaga, hingga tak sadar dia menubruk sesuatu dan terjatuh.
Naisa mendongak, seseorang!
Seorang cowok tinggi berjaket.
Naisa semakin ketakutan dan berteriak.
"Tolonggg!"
"Tolongin saya mas!!"
"Ada orang jahat yang kayaknya mau perkosa saya!!!"
Cowok itu tidak bergerak, masih menatap Naisa yang berteriak gak jelas.
Cowok itu mengalihkan pandangan ke dua orang yg ada di belakang Naisa, keduanya terlihat marah dan seakan menyuruhnya minggir.
"Masss tolongin saya pliss!!"
"Saya masih muda masih 18 tahun masa udah gak pw lagi sih!" tangis Naisa pecah.
Hahahah ngakak parah.
"Ck, berisik!" ujar cowok misterius di depannya itu la melangkah mendekati kedua sosok yang tadi mengejar Naisa dan dapat terdengar oleh gadis itu.
Suara gebukan heboh di belakangnya. Saat Naisa menoleh, kedua orang tadi rupanya sudah menghilang.
Cowok jutek tadilah yang menggebuk mereka, ia terlihat kembali melanjutkan langkah meninggalkan Naisa.
Dengan cepat gadis itu bangkit sambil menghapus air matanya lalu berlari mengejar cowok misterius.
"Hei!! Makasih ya atas bantuan lo tadi!!"
"Berkat lo gue masih pw,"
"Lagian tu orang gak liat apa, gue masih kecil, masih imut-imut gini."
"Eh tapi kayaknya muka lo ganteng deh," celoteh Naisa sambil terus mengejar wajah cowok misterius itu.
"Kenalan yuk!!" ajak Naisa bersemangat.
Entah kenapa rasa takutnya tadi udah langsung hilang.
"Nama gue Naisa!" la mengulurkan tangan dengan senyum sumringah.
"Panggilannya sayang!" seru Naisa lagi mengulurkan tangan yang tidak dihiraukan oleh cowok itu.
Dia tetap melangkah tanpa bersuara dan mempedulikan uluran tangan Naisa.
"Hei! Cowok jutek tapi ganteng!"
"Gue belum tau nama lo!" seru Naisa yang masih mengejar langkahnya.
"Hei tunggu!"
"'Gue gak tau jalan!"
Akhirnya Naisa berhasil menjejeri langkahnya disamping cowok itu dengan nafas ngos-ngosan untuk yang ketiga kalinya.
Cowok itu berhenti sejenak.
"Lo pasti tau jalan di daerah sini kan??"
"Tolongin gue dong, anterin gue ke-"
"Nggak!" kata Alva dingin.
la melanjutkan langkah yang masih di ikuti Naisa.
Cowok itu tetap acuh tak acuh.
"Ayo dong...plisss."
"Cuma lo yang bisa bantuin gue." ujar Naisa.
Cowok itu masih tidak mempedulikannya, ia tetap melangkah cepat tanpa menoleh.
Dengan geram Naisa menyambar lengannya dan menariknya hingga cowok itu berhenti dan menghadap ke Naisa. Naisa mendongak.
"Kalau lawan bicara lagi ngomong tuh direspon dong," omel Naisa yang sedikit bersyukur karena hujan sudah agak reda.
Cowok itu diam saja, mulutnya masih tertutup rapat.
"Astagaaa, lo beneran budek ya?"
"Atau emang bisu?" ujar Naisa tak sabaran.
"Masa ganteng-ganteng bisu sih?"
"Berisik!"
Akhirnya suara berat khas perokok miliknya keluar juga dari mulut cowok itu. Da menepis tangan Naisa dengan kasar.
"Wah.. Bahkan suaranya aja berat banget!" pekik Naisa mengaguminya.
Cowok itu gak peduli, lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkan Naisa.
"Ehh.mau kemana?? Tungguin!" naisa segera mengejar langkah cowok itu dengan semangat.
"Oke fine! Kalo lo gak mau kasih tau nama lo ke gue gapapa,"
"It's Okay. Tapi lo harus tau nama gue,nama gue.."
"Gak penting." potong cowok itu malas mendengarkan ocehan Naisa disampingnya.
Naisa masih belum jera.
"Nama lo siapa sih?? Jutek amat," ujar Naaisa sewot.
"Lo udah nolongin gue kemarin, jadi sekarang lo temen gue."
"Masa gue gak tau nama temen gue sendiri sih?" ujar gadis itu santai.
"Lo bukan teman gue," balas cowok itu tak berperasaan.
"Jutek banget sih?"
"Masih syukur ya gue mau bilang makasih," sindir gadis itu.
"Gue gak butuh!" tukas cowok itu tak peduli, membuat Naisa tersinggung.
"Ihh... Jahat banget sih. Tinggal bilang aja kok, gak susah,"
"Emang nama lo berapa kata sih??"
"Panjang ya?"
"Sepanjang pidato pak RT??"
"Apa sepanjang rel kereta??"
"Bisa diam gak!" bentaknya dengan suara yang lebih seram.
Naisa sampai dibuat merinding, la mengijapkan mata saat mendengarnya.
"Ayoo dong kasi tau nama lo doangg, gue penasaran nihh."
"Kalo lo gak kasi tau, gue bakal berisik terus," ancam Naisa.
"Emang lo mau denger gu--"
"Alva," potongnya cepat.
Alva merasa terpaksa memberitahu namanya ke Naisa karna dari tadi kepalanya pusing dengar ocehan cewek gak jelas ini.
"Hahh?! Apa Lo bilang? Alva?" Ucap Naisa dengan nada terkejut.
Namun cowok jutek yang bernama Alva itu tidak mempedulikannya.
"Al! Mau kemana?" seru Naisa mengejarnya lagi karna Alva sudah dari tadi pergi.
Naisa mengambil tas pinknya dan menuruni tangga dengan tegesa-gesa, lalu memakai jaketnya.Naisa melihat bunda sedang duduk di meja makan dengan memegang kipas kesayangannya.Tak ada ayah di sana, biasanya ayah selalu menemani bunda duduk dan saat Naisa akan bepergian, ayah yang akan menjadi paling pertama yang menginterogasinya.Ayah begitu protective dan garang, segala pergaulan Naisa harus selalu terkontrol. Untung saja Naisa menolak saat ayahnya meminta bodyguard untuk mengawasi Raisa setiap saat."Bun, aku berangkat ya!!" Naisa mencium punggung tangan bunda yang terlihat sedang makan cemilan sambil menonton tv. Bunda mengerutkan dahi."Loh? Tumben sendirian?""Udah terbiasa sendiri ya??""Apaan sih bun, sebentar lagi anak bunda ini bakal..""Bakal apa?? Apa?? Ayo cepet kasi tau, bunda kepo loh." ujar bunda excited."Udah deh ntar aja,bye bun!""Diantar Pak Bobo cla???" kata bunda menyarankan."Gak usah
Satu jam yang lalu Alva melakukan aktivitasnya seperti biasa, merokok sendirian di depan tangga ditemani sebuah gitar tuanya. la melihat beberapa orang sekitar lima orang yang melangkah terburu buru melewatinya.Awalnya Alva tidak peduli,tapi setelah mengingat kembali bahwa ia pernah melihat wajah-wajah orang itu beberapa kali, Alva segera membuntuti mereka diam-diam.Dan ternyata benar,mereka menghajar habis-habisan sahabatnya, yang baru pulang membeli rokok dari sebuah warung kecit.Melihat hal itu Alva tidak tinggal diam, Alva menghajar mereka semua hingga bonyok memberi bogem-bogem mentahnya kepada orang orang brengsek adalah kebiasaan Alva dari kecil, sejak ibubya selingkuh dan saat ayahnya."Al?" panggil Ardana menyadarkan Alva dari pikiran kosongnya.Alva tersadar, dia segera menopang Ardana berjalan dengan mengalungkan tangan Regal di lehernya."Gue udah pernah bilang ke bos bodoh lo, untuk jangan coba-coba ngirim pasukan
Sudah lima belas menit mereka berjalan, dan dari tadi Naisa mengoceh terus dengan kecepatan ngomongnya yang berhasil ngalahin Eminem.Alva terpaksa menahan penderitaannya mendengar omongan Naisa yang sama sekali gak jelas itu.Naisa mencari-cari taksi di daerah sini, tapi masih belum muncul. Yaiyalah, disini kan daerah perumahan kecil, banyak pedagang kaki lima, jarang ada taksi yg lewat dan berkeluyuran, apalagi malam."Al,""Gue capek nih,""Al.. Gue capek." rengek Naisa."Trus?" sahut Alva malas."Gendong dong..""Jangan gila lo!" tukas Alva jutek."Ihh kejam banget sih, istirahat aja dulu ya, gue capek,""Terserah." Jawab Alva ketus.Naisa duluan duduk di pinggiran jalan yang kebetulan ada tempat duduk kayu,pas buat dua orang. Sementara Alva hanya berdiri sambil terus diam."Al duduk sini!" Naisa menepuk sisa tempat duduk di sampingnya."Nggak!" kata Alva jutek masih fokus kedepan.
Bel tanda pang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun Alva dan teman-temannya belum juga meninggalkan sekolah. Mereka justru memilih untuk tetap tinggal di dalam kelas. Entah kenapa hari ini mereka melakukan hal itu. Padahal biasanya mereka selalu mendahului pulang.Alva menghela napas, kemudian menyenderkan tubuhnya ke dinding di belakang kelas seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abunya. Laki-laki itu memakai earphone berwarna hitam. Sepertinya warna hitam adalah warna kesukaan Alva. Karena itulah barang-barang yang dia punya hampir semuanya berwarna hitam.Alva memejamkan matanya, menikmati lagu Let it be milik The Beatles. Lagu itu adalah salah satu lagu favoritnya. Alva tidak tahu bagaimana pandangan orang lain tentang lagu itu. Hanya saja bagi Alva lagu itu sangatlah menenangkan. Setiap kali dia mendengarkan lagu dia merasa bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dia merasa bahwa dia akan menemukan jalan keluar untuk setiap masalahnya. Ya, wa
Alva memasuki area kampus tanpa niat sedikitpun. Yap, Alva sekolah SMA tapi juga Kuliah, karena dia diharuskan menjadi CEO di perusahaan papanya.Kini Alva harus menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang membosankan.Segala dosen, diktat, dan Shakespeare seakan berlomba membuatnya mabuk dan ingin muntah, Alva tak pernah suka kuliah,ia melakukannya karena terpaksa.Alvaro melangkah menuju kelasnya."Look...who 's coming?our super hero with his bad style. A worn out 7-shirt, black pants,and of course with disorader hair. How dare you come here super hero?"Terdengar semua orang di kelas tertawa mendengar ocehan memuakkan dari dosen tua berjubah yang sekarang sedang berkacak pinggang menghadangnya sebelum Alva memasuki kelas.Pak tua ini merasa dirinya paling hebat di kampus, Alva tampak santai menggendong sebelah tasnya tanpa bicara."You're late Mr.Antares, lat of thirty minutes. You c
Alva meremas rambut ikalnya yang basah karena peluh hingga menetes ke bawah dagunya, bajunya sedikit basah, karena kebetulan baju yang dipakainya berbahan tipis jadi tubuhnya tampak transparan.Setelah kepulangan Bara dan Regal dari rumahnya, Alva hanya menghabiskan waktunya seharian untuk tidur.Alva sangat capek setengah hari ini, mengingat tadi di kampus sudah melakukan aktivitas rutinnya.Merokok, Berkelahi, Dan diusir dari kelas.Pukul 17.31 WIB.Alva mendudukkan diri di tepi ranjang, ekor matanya tidak sengaja menangkap foto keluarga yang ada di atas lemari pakaiannya.Alva merasakan nafaasnya yang ketika itu juga menderu sangat cepat,tangannya mengepal keras seakan sedang meremukkan ribuan kerikil di sana.Alva berdiri dengan tatapan ganas lalu meraih foto itu dan memandangnya lama. Alva membenci pria yang tersenyum dengan wajah tak bersalah.Alva membenci perempuan berkebaya merah yang juga tersenyum sok tulus di sana.
"Lo yakin nih, gak mau gue anterin? Rugi loh." Kila mengedipkan mata sipitnya sambil terus menarik ingus di hidungnya.Belakangan ini memang sedang viral yang namanya penyakit pilek, tapi menurut Naisa, Kila tidak sedang pilek. Kila ingusan."Gak. Gue ada urusan, biasalah orang penting,"Naisa menggesek hidungnya dengan telunjuk.Belakangan ini Naisa juga mengidap penyakit aneh dan gaje suka menggaruk hidung."Sebahagia lo aja deh,gak kepo gue dengan urusan gak penting lo," kata Kila lagi."Ya udah diem aja," Naisa mengisap es sanghai cincai jablainya sampai habis, sampai sedotannya juga bisa kehisap kalau aja bisa, lalu bersendawa selama mungkin."Bayarin ya raa..." dan Kila mulai memasang muka sok imutnya yang menurut Naisa malah keliatan mirip muka pocong kelaparan. Kila memutar bola mata malas."Gue muluk. Sekali-sekali kek elu," Naisa menoyor kepala Kila yang bersandar di pundaknya."Dasar pelit!" ujar Kila malas, h
"Maksud dia itu..." kata Bara melirik Alva yang kini sudah melangkah keluar meninggal kan pembicaraan Bara dengan Naisa yang sama sekali tidaak penting."Ntar lo kena asap rokok kalo lo disini terus," lanjut Bara.Naisa ngerti? Boro-boro."Bodo ah!" kata Naisa yang makin gak ngerti dengan perkataan Bara barusan.Dasar bodoh, Naisa.Naisa melangkan keluar menyusul Alva dengan senyum sok imutnya yang menjijikan--menurut sahabatnya sih.Alva duduk di kaki tangga sedang menikmati rokoknya, kakinya ditekuk sebelah, tanganKanannya yang memegang rokok menumpu disana, sebelah tangannya menahan sandarannya di samping.Naisa langsung duduk di sampingnya dengan santai tanpa peduli asap rokok."Al," panggi Naisa selembut mungkin."Gue temenin ya??""Nggak perlu,""Tapi gue pengen temanin loo, gimana dongg???"Naisa menduduki diri dengan posisi nyaman.