Alva memasuki area kampus tanpa niat sedikitpun. Yap, Alva sekolah SMA tapi juga Kuliah, karena dia diharuskan menjadi CEO di perusahaan papanya.
Kini Alva harus menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang membosankan.
Segala dosen, diktat, dan Shakespeare seakan berlomba membuatnya mabuk dan ingin muntah, Alva tak pernah suka kuliah,ia melakukannya karena terpaksa.
Alvaro melangkah menuju kelasnya.
"Look...who 's coming?our super hero with his bad style. A worn out 7-shirt, black pants,and of course with disorader hair. How dare you come here super hero?"
Terdengar semua orang di kelas tertawa mendengar ocehan memuakkan dari dosen tua berjubah yang sekarang sedang berkacak pinggang menghadangnya sebelum Alva memasuki kelas.
Pak tua ini merasa dirinya paling hebat di kampus, Alva tampak santai menggendong sebelah tasnya tanpa bicara.
"You're late Mr.Antares, lat of thirty minutes. You can leave now." ujar dosen kampret itu dengan sombong.
Sambil berusaha terlihat garang yang sama sekali membuat Alva ingin muntah menyaksikannya.
Memang patut di omongkan.
"Okay, Mr.Batman." sahut Alva dengan tatapan menantang, terdengar semua orang cekikikan mendengar olokan Alva pada dosen tua itu.
"You.." seru dosen itu tapi terhenti, menyadari ada banyak mahasiswa yang berada di kelas.
Alva hanya mendengus sinis dan melangkah meninggalkan kelas sialan itu, ia berjalan menuju taman kampus yang biasanya sepi.
Jangan salah sangka, Alva kesana bukan untuk memandangi bunga-bungaan mekar, Alva melakukan aktivitasnya. Merokok.
Alva merasa beruntung karena datang terlambat,pak tua itu pasti akan mengusirnya, Alva memang membenci pria tua itu,entah kapan dan mengapa. Itulah yang Alva rasakan saat ini, selama ini.
Alva membaringkan diri di atas kursi panjang di bawah Pohon Akasia besar yang memenuhi taman. Alva diam sejenak,lalu merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus rokok dari sana dan menyalakannya. Alva menghisapnya dalam hingga harus menahan batuk.
Alva memandang di depannya dengan hambar dan kosong sambil terus menghisap rokoknya.
Yang Alva pikirkan saat ini adalah Naisa, entah apa yang membuat Naisa muncul di pikirannya,bisa- bisa nya cewek macam itu muncul di kepalanya.
Alva berusaha membuang pikirannya tentang Naisa tapi bayangan gadis itu semakin nyata di otaknya.
Alva memejamkan mata, lalu menyadari bahwa ada yang memanggilnya.
"Al! Lo dicari tuh di belakang kampus." katanya, suara cewek.
Alva menoleh dan mengerutkan dahi mendengar perkataan cewek itu.
Alva mendudukkan diri.
"Siapa?" tanya Alva membuang rokok.
"Gak tau,cowok-cowok." ujar cewek itu lalu melangkah pergi, Alva menatap kepergian cewek itu dengan penasaran.
Alva sudah tidak asing lagi mendapat pesan maut seperti ini,membuatnya harus selalu menyiapkan segala tenaga dan energinya.
Alva melangkah menuju belakang kampus. Dan benar saja.
Alva mendapati sekitar empat orang lelaki yang berperawakan sama dengannya, dua orang tampak lebih berotot dengan tato-tato menyeramkan di tangan mereka. Alva masih santai menggendong sebelah tasnya dan melangkah memberi jarak sekitar tiga meter.
"Ada masalah apa lo nyari gue?" Alva meletakkan tasnya sembarang ke tanah.
"Lo Alva?" seorang maju, wajahnya penuh luka dan lebam.
Alva mendengus.
"Dan lo? Bang napi?" Alva menyalakan rokok.
Alva menghembuskannya dengan tenang, menatap cowok itu dengan tatapan menantang.
"Gede juga nyali lo." ujar seorang lagi, wajahnya lebih parah. Jelek banget.
"Apa masalah lo?" tanya Alva lagi menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Nanti juga lo tau," cowok yang tadi melangkah maju lagi.
Alva menatapnya secara tak bersahabat. la menghembuskan asap rokoknya dengan sengaja tepat di depan wajah cowok yang hitam legam itu.
"Gue tau," ujar Alva tenang.
"Brisik!" seru cowok itu geram dan maju berniat mengarahkan jotosannya ke wajah Alva.
Tapi dengan secepat mungkin Alva menahan tangan busuk itu, memelintir tangan penuh tato itu ke belakang dengan kuat hingga cowok itu meringis keras.
Lalu Alva mencabut rokok yang ada di mulutnya, mematikan rokoknya tepat di tengkuk cowok itu hingga ia berteriak kesakitan.
"Lo semua emang gak berguna!" kata Alva sinis,membuat ketiga orang itu geram dan maju untuk menyerang Alva , tapi masih dengan mudah untuk Alva habisi.
***
Alva membanting pintunya dengan sekuat tenaga hingga berbunyi bentur di dinding.
Alva meletakkan tasnya sembarang di atas lantai lalu menghempaskan diri ke atas kasur hitamnya yang berantakan, ia memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Alva bangkit lagi dari kasur setelah lima menit berbaring di sana. Dia menghadap cermin usang yang tegantung di dinding kamarnya, menatap dirinya yang brengsek di sana. Sangat berantakan.
Rambutnya acaka acakan, di samping bibirnya terdapat bekas luka yang kemarin baru saja terbuka tadi.
Alva mengepalkan tangan, mengingat bahwa ia telah mematahkan beberapa tangan mereka walau sempat mendapat satu pukulan ringan di wajahnya.
Ternyata orang-orang yang menyerang Alva tadi adalah suruhan Gerald. Si bodoh itu rupanya segera mengirim pasukan keduanya yang tidak berguna untuk menghabisi Alva, karena malam itu Alva berhasil menghajar habis pasukan tidak bergunanya yang menyerang Regal.
Memang benar-benar pengecut, beraninya hanya mengirim budak-budaknya untuk melawan Alva yang tangguhnya bisa melawan sepuluh orang sekaligus.
****
Alva meremas rambutnya yang mulai memanjang ke tengkuk yang terlihat basah itu, kepalanya nyut-nyutan.
"Tumben al? Mimpi apa lu ngaca segala? Mimpi basah?" celetuk Regal yang baru saja masuk dengan santai ke kamar Alva, dikuti Bara di belakangnya, mereka duduk di kasur.
Alvaro memutar bola matanya malas mendengar ocehan mesum Regal barusan.
"Palingan juga mimpi basah bareng elu, Alva kan anti perempuan!" timpal Bara yang langsung ditoyor oleh Regal hingga terbaring bebas di kasur. Alva mendengus kecil.
"Gue gak butuh," sahut Alva meraih bungkusan rokoknya lalu membaringkan diri di atas kursi
panjang di samping kasur.la menyalakan rokok.
"Pastilah butuh al! Buat muasin nafsu!" kata Regal jenaka diikuti tawa Bara yang keras.
"Bodoh!" Alva melempar bungkus rokok itu ke wajah Bara sambil tertawa kecil, lalu menikmati rokoknya.
Bara segera meraih bungkusan rokok itu dan mengeluarkan sebatang darinya, dikuti Regal yang juga menarik sebatang dari sana. Mereka menikmati setiap hisapan rokok dalam diam.
Regal memandang Alva yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
"Ada masalah al?" tanyanya mendudukkan diri. Regal masih sibuk membaca majalah orang dewasa.
"Bukan urusan lo," sahut Alva santai dengan hembusan asap rokoknya yang tebal.
Regal dan Bara saling berpandangan lalu mengangkat bahu masing-masing. Begitulah
Alvaro, semua masalah yang dilaluinya tidak akan pernah dia bocorkan ke siapa saja. Alva membuang puntung rokoknya.
"Bawa pulang majalah jelek lo ntar dan, gue gak doyan." kata Alva membuka baju.
"Heh gilaa, lo juga sering baca kali!" sahut Bara tak sabaran sambil melempar Alva dengan
celana boxer yang entah di dapatnya dari mana saja, Alva langsung menepis lemparan Regal.
"Gue suka yang asli, bukan bacaan." kata Bara lagi mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai,entah apa yang membuatnya ingin mengumpulkan semua itu.
"Ya udah lu cari aja tuh yang sering mangkal di tepi-tepi jalan, murah,dapet diskon." timpal Bara yang segera menghabisi rokoknya disusul tawa menggelegar dari Regal.
"Gak pake cara yang begitu, perempuan ituu dihormati bukan di lecehkan sembarangan," kata Alva yang membuat Bara dan Regal terdiam lalu kembali tertawa.
"Pale lu Al, lo di kasih belahan aja udah nelan liur kali..HAHAHA" seru Regal tertawa lepas, membuat Alva juga ikutan tertawa. Kampret memang punya teman sebego dan secabul ini.
"Tapi gue masih bisa nafas," ralat Alva yang mulai tertular mesum oleh Regal dan Bara. Mereka tertawa konyol bersama.
"Eh den, gue denger cerita dari si Gaga kan ya, katanya ada cewek yang ngebet banget ngajakin dia gituan, katanya udah ga tahan.Ya udah lah,si Bonar terima. Cowok mana ada yang nolak selama itu tawaran HAHAHA!" seru Bara bercerita tentang sebuah topik cabulnya.
Alva hanya menggelengkan kepala mendengar penuturan Bara, Alva tidak terlalu suka yang begituan.
"Gila aja kalo gaga nolak, gue sih udah pasti mau." kata Regal tak sabaran.
Bara memandang ke Alva yang sedang sibuk mengumpulkan pakaian yang tampak tak berniat ikut obrolan mereka.
"Elu al?" tanya Bara penasaran. Alva menoleh sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya.
"Gue gak gila kayak lo berdua," sahut Alva tenang dengan keranjang biru yang penuh pakaian di tangannya.
Bara menutup mulutnya, Regal melangkah menuju jendela dan memandang keluar sana,di daerah ini banyak rumah usang, aiden baru sadar bahwa rumah Alva juga usang.
Tapi entah mengapa Regal selalu merasa bahwa ini bukan kehidupan Alva yang sebenarnya, Regal merasa...
"Al, tadi lo berantem di kampus kan?pasti keparat itu lagi," celetuk Regal memecahkan keheningan di ruangan itu, membuat Bara menoleh dengan sedikit terkejut.
"Banci semuanya, gak susah." sahut Alva tenang, mengangkat semua bawaannya tadi menuju kamar mandi.
Padahal Alva belum tau itu pakaian kotor atau kering. la kembali ke kamar.
"Emang bukan tandingan elo sih sebenarnya, tapi ngapain mereka nyerang lo segala? Emang lo ada buat masalah sama mereka?" tanya Bara lagi membuat Regal melangkah mendekat.
"Gue gak pernah cari masalah duluan," kata Alva lagi menghempaskan tubuh ke atas kasur.
"Pasti karna lo nolongin gue waktu itu," timpal Bara percaya diri dengan sedikit rasa bersalahnya.
"Mungkin.Udahlah, gak usah dibahas, gak penting."
Alva berusaha memejamkan matanya. Kepalanya pening.
"Ya juga sih, tapi kalo mereka nyerang yang lagi gimana?" tanya Bara lagi masih panik.
"Habisin sampai mampus," kata Alva tenang.
Alva meremas rambut ikalnya yang basah karena peluh hingga menetes ke bawah dagunya, bajunya sedikit basah, karena kebetulan baju yang dipakainya berbahan tipis jadi tubuhnya tampak transparan.Setelah kepulangan Bara dan Regal dari rumahnya, Alva hanya menghabiskan waktunya seharian untuk tidur.Alva sangat capek setengah hari ini, mengingat tadi di kampus sudah melakukan aktivitas rutinnya.Merokok, Berkelahi, Dan diusir dari kelas.Pukul 17.31 WIB.Alva mendudukkan diri di tepi ranjang, ekor matanya tidak sengaja menangkap foto keluarga yang ada di atas lemari pakaiannya.Alva merasakan nafaasnya yang ketika itu juga menderu sangat cepat,tangannya mengepal keras seakan sedang meremukkan ribuan kerikil di sana.Alva berdiri dengan tatapan ganas lalu meraih foto itu dan memandangnya lama. Alva membenci pria yang tersenyum dengan wajah tak bersalah.Alva membenci perempuan berkebaya merah yang juga tersenyum sok tulus di sana.
"Lo yakin nih, gak mau gue anterin? Rugi loh." Kila mengedipkan mata sipitnya sambil terus menarik ingus di hidungnya.Belakangan ini memang sedang viral yang namanya penyakit pilek, tapi menurut Naisa, Kila tidak sedang pilek. Kila ingusan."Gak. Gue ada urusan, biasalah orang penting,"Naisa menggesek hidungnya dengan telunjuk.Belakangan ini Naisa juga mengidap penyakit aneh dan gaje suka menggaruk hidung."Sebahagia lo aja deh,gak kepo gue dengan urusan gak penting lo," kata Kila lagi."Ya udah diem aja," Naisa mengisap es sanghai cincai jablainya sampai habis, sampai sedotannya juga bisa kehisap kalau aja bisa, lalu bersendawa selama mungkin."Bayarin ya raa..." dan Kila mulai memasang muka sok imutnya yang menurut Naisa malah keliatan mirip muka pocong kelaparan. Kila memutar bola mata malas."Gue muluk. Sekali-sekali kek elu," Naisa menoyor kepala Kila yang bersandar di pundaknya."Dasar pelit!" ujar Kila malas, h
"Maksud dia itu..." kata Bara melirik Alva yang kini sudah melangkah keluar meninggal kan pembicaraan Bara dengan Naisa yang sama sekali tidaak penting."Ntar lo kena asap rokok kalo lo disini terus," lanjut Bara.Naisa ngerti? Boro-boro."Bodo ah!" kata Naisa yang makin gak ngerti dengan perkataan Bara barusan.Dasar bodoh, Naisa.Naisa melangkan keluar menyusul Alva dengan senyum sok imutnya yang menjijikan--menurut sahabatnya sih.Alva duduk di kaki tangga sedang menikmati rokoknya, kakinya ditekuk sebelah, tanganKanannya yang memegang rokok menumpu disana, sebelah tangannya menahan sandarannya di samping.Naisa langsung duduk di sampingnya dengan santai tanpa peduli asap rokok."Al," panggi Naisa selembut mungkin."Gue temenin ya??""Nggak perlu,""Tapi gue pengen temanin loo, gimana dongg???"Naisa menduduki diri dengan posisi nyaman.
"Ooh...di Jl.Imam Bonjol. No 5.Blok M. Kenapa? Lo mau---""Nggak!" potong Alva singkat.Alva merasa pernah mendengar alamat itu. tapi kapan?Naisa sampai di daerah kawasan perumahan elitnya, rumahnya masih agak jauh, tapi Alva bilang dia cuma mau antar sampai sini.Setelah 7 menit berjalan Naisa sampai di depan rumahnya. Ada mobil ayah di sana.Astaga! Gawat!Naisa segera berlari masuk. Mereka sudah berkumpul di ruang tamu,ayah yang masihberjas, bunda yang berbaju biasa dengan sanggulan rambut yang cetar dan Ray adiknya sanggulan rambut yang cetar,dan Ray adiknya Raisa yang Sibuk main game di samping ayah."Ck, geser dikit sana!" Naisa berusaha duduk di tengah-tengah Ray dan ayah.Ray memukul pundak Naisa kesal,dibalas toyoran keras dari Naisa di keningnya."Kata Ray, dia liat kamu waktu itu makan di warung kaki lima itu dengan cowok," kata ayah sebaga pembukaan.Naisa menoleh ke Ray yang udah duluan kabur
"Woi woi! Barusan ada tawuran antar sekolah!" seru seorang teman sekelas Raisa dengan muka super heboh, membuat semua orang di kelas mengerumuninya termasuk Kila."Sekolah mana sih?Banyak yang luka gak? Ketangkap polisi?Ada yang lempar batu sembunyi tangan?" sambar Kila berantusias dengan keras sampai yang lain pada menutup telinga."Ngomong gak pake kuah juga kali," celetuk yang lain sambil membersihkan muka."Untungnya kagak,mereka kabur semua, katanya sih penyebabnya gara-gara masalah pribadi," lanjutnya dengan kening berkerut seperti Detekti Kampret."Tau amat lo,emang lo liat sendiri?" tanya yang lain gak yakin."Kagak sih," katanya nyengir.Kila berancang-ancang menoyor kepalanya."Huuu." Seru mereka sebal lalu bubaran dari kerumunan itu.Kia kembali ke mejanya dengan Naisa,cewek itu lagi baca buku Komik."Udah puas kepoin anak kuliahan?" katanaisa sewot."Gue gak kepo ya,cuma mau tau doang," kalih K
Bara yang dari tadi sudah menghabiskan beberapa batang rokok tampak heran melihat Alva yang cuma sibuk dengan gitar milik Bara.Tanpa berniat merokok.Bara yang sudah hanyut dalam game di hpnya pun terlihat heran. Mereka saling berpandangan.Dua pertanyaan yang sama: Alva gak merokok?Emang sedikit janggal kalau lihat Alva gak megang rokok sama sekali seperti ini,biasanya Bara baru dua batang Alva udah empat.Bara yang masih penasaran itu mendekatinya duduk di atas kursi sambil membuang puntung rokoknya yang udah habis."Kalo lagi bokek bilang aja Mas," Bara menaruh sebungkus rokoknya tadi ke atas pangkuan Alva sembarang hingga bungkusan itu jatuh ke lantai."Gue bisa beli sendiri kalau gue mau," ujar Alva memungut kembali bungkusan itu dari lantai, meletakkannya ke atas meja dan kembali sibuk dengan gitar baru milik Bara."Lo emang gak niat ato apa Al?" timpal Bara dari pojok, masih sibuk dengan hp nya."Gak usah banyak
"Alva?"sapa Bu Sinta.Guru killer yang saat ini tengah mengajar di depan kelas sebelum Alva membuka lebar pintu kelasnya.Hari ini wanita tua itu nampaknya tidak terlalu bersahabat untuk mengajar, dengan bibir tebalnya yang penuh lipstik merah,dan kerutan di wajahnya yang berhasil tersamarkan oleh bedak apalah itu, percayalah mukanya tampak setebal papan.Di tambah lagi kesialan Alva yang malah bangun telat dan datang terlambat satu jam hari ini. Benar, satu jam.Sekarang sudah jam kedua untuk kelas Bu Sinta,dan itu musibah buruk baginya."Jagoan kita Alva. Sata baru tau ya al, kelas saya sekarang dimulai jam sepuluh,terima kasih banyak karena kamu sudah ingat dan datang tepat waktu," ujarnya dingin sambil merapikan anak rambutnya yang keluar-keluar tanpa berniat memuji keberanian Alva.Semua yang ada di kelas tampak herning, suara air liur ketelan juga mungkin bisa terdengar,tak ada yang berani ribut atau sekadar ngupil barang kali.
"Kata bunda, cowok gak boleh kasar sama cewek,""Kalo cowok kasar ke cewek, katanya cowok itu banci.""Hah?" sahut Alva tak mengerti."Ayo donggg, kan kita bolos bareng,""Nggak! Gue pengen--""Sendiri? Udah deh,gak ada waktu buat jomblo muluk, mending lu ikut gue!" dan sekarang Naisa berhasil menarik paksa Alva untuk berjalan dengannya.Alva memutar bola mata malas dan terpaksa jalan ikut Naisa yang membawanya entah kemana.Entah ada kekuatan apa sehingga Alva selalu saja berhasil di paksa oleh Naisa."Kita kemana dulu ya?" tanya Naisa ngomong sendiri, Alva cuma diam sambil melirik malascewek di sebelahnya ini yang jelas jelas bukan manusia.Naisa melihat jauh di depannya sana lagi ada pameran dan bazaar. Ramai."Sana yuk, liat pameran!" tanpa menunggu persetujuan Alva, Naisa langsung menarik lengannya yang dari tadi di pegangnya.Alva nurut aja dengan terpaksa. Mereka tiba di keramaian itu, ada ba