Share

Bab 4

“Susan! Ayo, kita perlu bicara!”

Susan menoleh, wajahnya berbinar. “Mas Bayu! Ada apa? Kamu mau tahu tentang rencana pernikahan aku sama Mas Beni?”

“Iya, kita perlu membicarakan ini lebih serius. Jangan cuma anggap ini pesta. Kita harus pertimbangkan semuanya.”

Susan mengernyitkan dahi, tetapi dia mengikuti Bayu ke dalam rumah. Arum mempersiapkan diri, merasa tegang.

Arum bicara dalam hati, “Semoga mas Bayu bisa membuat Susan mengerti.”

Bayu pun bicara, “Susan, aku ingin kamu dengarkan aku. Pernikahan itu bukan hanya soal pesta megah. Kita semua harus sadar tentang kondisi kita.” 

Susan mengeluh, “Tapi Mas,ini Cuma sekali seumur hidup. Semua orang ingin merayakan dengan cara yang istimewa.”

“Aku tahu, tapi apakah kamu sudah berpikir tentang konsekuensinya? Kita punya tanggung jawab.”

Susan mulai merendahkan suaranya. “Mas Bayu aku tahu kamu khawatir, tapi mas Beni akan menjamin semuanya. Dia pengusaha sukses! Kita nggak perlu khawatir soal uang dan semuanya akan di ganti sama Mas Beni!”

Bayu merasa sangat prustrasi, “Kamu belum tahu banyak tentang Beni, kan? Kita tidak bisa hanya percaya pada omongan. Apakah kamu sudah bertanya tentang usahanya?”

Susan terdiam. Dia tidak tahu apapun tentang Beni, tapi sudah berani bicara  dengan mulut besar.

***

Hari-hari di kampung itu terasa semakin berat bagi Arum. Setiap kali dia bertemu dengan anggota keluarga Bayu, terutama dengan kakak ipar dan adik iparnya, dia merasakan tatapan sinis dan cemoohan. Arum, yang selalu berusaha untuk bersikap ramah, mulai merasa lelah menghadapi semua itu. Sekarang, setelah setahun lebih menikah, dia ingin merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, terutama ingin segera hamil dan membangun keluarga kecil yang bahagia dengan Bayu.

Arum duduk di dapur, mengaduk sayur untuk makan malam, ketika dia mendengar suara ketukan di pintu. Dia membuka pintu dan melihat kakak iparnya, Riska yang tampak tidak senang.

“Arum mau tanya, kamu sudah bisa masak sayur yang bener belum? Bayu bilang, masakanmu masih jauh dari kata enak.”

Arum tertegun sejenak, berusaha menahan amarahnya. Dia ingin membuktikan bahwa dia bisa jadi istri yang baik, tetapi kali dia berusaha, semua usahanya tampak sia-sia di mata keluarga suaminya. 

Arum berusaha tersenyum, “Oh, aku terus berusaha belajar, Mbak Riska. Semoga saja, suatu hari nanti aku bisa memasak yang lebih enak.”

“Harapannya sih bagus. Tapi ingat, kamu harus cepet-cepet ngasih Bayu anak. Jangan sampai dia nyesel nikah sama kamu!”

“Betul. Udah nggak becus di dapur, jangan sampe nggak becus juga di ranjang,”timpal ibu mertuanya.

Setelah mendengar komentar pedas dari mereka. Arum merasa hatinya perih. Dia sudah berusaha sebaik mungkin, dan keinginan untuk memiliki anak menjadi impian terpendamnya. Dia mengangguk dan berusaha untuk tidak menjawabnya.

“Aku akan berusaha."

Riska berbalik pergi, “Iya berusaha. Semoga aja berhasil.”

Ketika Riska dan ibu mertuanya pergi, Arum merasakan air matanya menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan suaminya. Dia ingin Bayu bangga padanya. Namun, tekanan dari keluarga Bayu membuatnya semakin merasa tertekan.

Bayu yang pulang dari bekerja, terlihat lelah tapi bahagia. Ketika dia masuk ke rumah dan melihat Arum, dia tersenyum.

“Hai sayang. Sudah siap, makan malamnya?” 

Arum berusaha tersenyum, “Iya, sudah siap. Cuma sayur dan nasi, nggak ada yang istimewa.”

Bayu mengenggam tangan Arum, “Nggak apa-apa. Yang penting adalah, kita makan bersama. Makan malam denganmu, adalah hal terbaik dalam hariku.”

Arum merasa sedikit lega mendengar kata-kata suaminya. Dia merindukan momen sederhana seperti ini, di mana mereka bisa saling mendukung satu sama lain.

“Mas, apakah kamu sudah mendengar tentang rencana pernikahan Susan? Uang dari BPKB mobil sudah cair, kan?"

Bayu mengangguk, “Iya, ibu sudah bilang. Aku memang tidak mau Susan merasa tidak bahagia. Tapi sebenarnya, aku juga berusaha mempertimbangkan kebutuhan kita, sayang.”

Arum menghela napas, “Aku ingin kita memiliki anak, mas. Tapi, dengan semua tekanan dari keluargamu, aku merasa seperti jauh untuk memiliki anak.”

Bayu mendekat, “Sayang, kamu tidak perlu merasa terbebani. Kita akan bisa mengatasi semuanya. Aku juga akan berusaha untuk bicara dengan keluargaku.”

Arum kembali sedih, “Sebetulnya. Aku hanya berharap bisa mendapatkan dukungan dari mereka. Aku hanya ingin hidup tenang, dan membangun keluarga kecil kita. Tapi, aku mengerti kalau kamu begitu lemah dengan keluargamu,”

“Aku bukannya lemah. Tapi, aku tidak bisa melawan mereka. Aku merasa mereka keluargaku dan aku harus berbakti.”

Beberapa hari kemudian, rencana pernikahan Susan makin terlihat jelas. Pesta akan digelar dalam waktu dekat. Di tengah persiapan yang dilakukan, Arum berusaha untuk tetap bersikap positif. Namun, cemoohan dari keluarga Bayu kembali menghantuinya.

“Arum itu seharusnya belajar dari Susan. Lihat betapa cantiknya dia sekarang, semoga kamu tidak mengecewakan Bayu dengan kemandulan,” ucap ibu mertuanya yang bicara tanpa hati.

Arum hanya bisa menahan napas, berusaha untuk tidak melawan. Dia tahu, setiap perkataan bisa jadi senjata yang melukai hatinya. Namun, kali ini, dia merasa ingin mengungkapkan isi hatinya.

“Bu, saya berharap bisa memiliki anak. Tapi saya juga berharap dukungan dari keluarga, agar bisa merasa lebih baik.” pinta Arum dengan hati-hati pada ibu mertuanya.

Ibu mertuanya tu menatap Arum tajam, “Dukungan? Hanya anak saya yang bisa menjadikan kamu berharga di mata keluarga ini. Cepet-cepet hamil biar nggak di usir.”

Arum menahan airmatanya, “Saya akan berusaha, bu.”

Hari berlalu dengan persiapan pernikahan Susan yang semakin matang Arum merasa terasing di rumahnya sendiri, seolah-olah semua orang menganggap dia hanya sebagai beban.

“Sayang, kamu baik-baik saja? Aku melihatmu semakin pendiam. Kamu tidak perlu merasa terbebani dengan semua ini, Yang.”

“Aku hanya lelah, mas. Rasanya semua orang mengharapkan hal yang tidak bisa aku berikan. Aku ingin menjadi istri dan ibu yang baik,” ucapnya, lirih.

Bayu memeluk istrinya, sayang. “Kamu sudah menjadi istri yang hebat. Dan kita akan memiliki anak, ketika saatnya tiba. Jangan biarkan mereka mengubah cara pandangmu.”

Arum merasakan hangat pelukan suaminya. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, rasa cemas terus menghantuinya.

Beberapa minggu kemudian, saat hari pernikahan Susan tiba, suasana di rumah menjadi sangat sibuk. Semua orang tampak bersemangat, kecuali Arum yang merasa terasing.

Susan menghampiri Arum. “Ayo, mbak Arum! Ini adalah hari besarku! Kita akan bersenang-senang.”

Arum tersenyum pahit. “Tentu, Susan. Semoga semua berjalan lancar.”

Kakak iparnya mulai mengomentari, “Arum! Jangan jadi penghalang kebahagiaan adik iparmu. Cobalah tersenyum sedikit!”

Arum hanya bisa mengangguk, berusaha untuk bersikap baik. Namun, saat melihat mereka semua kebahagiaan di sekitar, hatinya terasa perih. Dia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang orang lain, dia ingin dihargai. 

“Lihat! Betapa cantiknya Susan. Beruntung sekali, Beni mendapatkan Susan yang begitu cantik seperti bidadari. Arum? Dia hanya bisa memasak sayur!”

Semua orang menertawakan, Arum berusaha untuk tidak mendengarnya. Dia berjalan menjauh, mencari ketenangan di sudut rumah. Di sanalah, dia berjumpa dengan Bayu.

“Sayang, kenapa kamu tidak ikut pesta. Dan kenapa kamu menangis?”

“Tidak apa, Mas. Tolong, jangan ganggu aku sekarang!” pinta Arum berlari pergi meninggalkan Bayu disana tanpa jawaban.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status